Sabtu, 30 November 2013

Belum Baptis, Dimakamkan secara Katolik ?

Belum Baptis, Dimakamkan secara Katolik

Ada seorang Bapak yang simpatisan Katolik, tetapi juga kadang-kadang berdoa di Kelenteng. Dia sendiri tidak pernah mengikuti perayaan Ekaristi di Gereja, tetapi jika berdoa secara pribadi di rumah, dia menggunakan doa-doa Katolik di buku Puji Syukur. Istri dan ketiga anaknya memeluk agama Katolik, juga atas dorongan Bapak ini. Tetapi, ibu kandung Bapak ini beragama Konghucu. Ketika Bapak ini meninggal, anak-anaknya meminta agar upacara penutupan peti dan pemakaman dilakukan secara Katolik. Apakah diperbolehkan? Apakah selama jenazah belum dimakamkan, anak-anak yang beragama Katolik boleh mendoakan secara Katolik dan dipimpin oleh imam? Apakah teman-teman Konghucu boleh mendoakan di depan jenazah secara Konghucu?
Theresia Maria Agustyarini, Malang


Pertama, dalam upacara penutupan peti dan pemakaman berlakulah prinsip bahwa perayaan keagamaan yang digunakan haruslah sesuai dengan agama yang dipeluk oleh orang yang meninggal. Sikap Gereja Katolik ini mengalir dari sikap yang sangat menghormati kebebasan beragama setiap manusia dan juga sikap Gereja yang tidak mau merebut anggota agama lain. Tentu orang yang meninggal ingin agar upacara penutupan peti dan pemakaman dilakukan sesuai dengan agama yang dipeluknya.

Kedua, dalam kasus di atas, nampaknya sulit menentukan agama mana yang dianut oleh Bapak itu. Maka, perlu ditanyakan kepada anak-anaknya, sekiranya Bapaknya hidup dan bisa memilih, apakah dia akan memilih dimakamkan secara Katolik atau secara Konghucu. Jadi, sebelum menerima permintaan anak-anaknya, perlu ditemukan dasar yang cukup kuat bahwa upacara secara Katolik memang dikehendaki, atau setidak-tidaknya, tidak bertentangan dengan kehendak Bapak yang meninggal.

Karena Bapak itu kadang- kadang juga berdoa di kelenteng, kiranya juga perlu ditanyakan apakah Bapak itu juga secara resmi anggota kelenteng. Hal ini perlu untuk menghindari kesan yang salah bahwa pelayanan Gereja Katolik seolah merebut anggota agama lain (bdk. Statuta Keuskupan Regio Jawa, Pasal 133 1. b: “Pemakaman orang Kristen bukan- Katolik dilayani atas permintaan keluarganya.”

Ketiga, jika memang ada dasar untuk dilakukan penutupan peti dan pemakaman secara Katolik, maka upacara yang dilakukan itu lebih sederhana daripada upacara untuk orang Katolik pada umumnya. Artinya, liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi dilewati. Sesudah tanda salib dan salam, langsung menyusul pemberkatan jenazah. Doa dalam pemberkatan jenazah juga diubah menjadi lebih umum. Upacara pemercikan air suci, pendupaan dan penandaan dengan salib ditiadakan. Upacara pemberkatan bunga dan penaburan bunga tetap dilakukan. Untuk menunjukkan perbedaan upacara dengan orang Katolik, sebaiknya upacara ini tidak dipimpin oleh imam atau diakon, tetapi oleh asisten imam atau petugas lainnya. (bdk. Komisi Liturgi KWI, Upacara Pemakaman, No. 78-80, Jakarta: Obor, 2011).

Keempat, kita boleh mendoakan siapa saja, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, baik yang beragama Katolik maupun yang bukan Katolik. Tentu kalau kita berdoa, kita akan menggunakan cara Katolik. Demikian pula, orang-orang yang beragama lain akan menggunakan cara agama masing-masing. Jadi, anak-anak yang beragama Katolik boleh mendoakan secara Katolik untuk orang tuanya atau siapa saja, meskipun yang meninggal itu tidak beragama Katolik. Tentu juga anak-anak yang beragama Konghucu boleh mendoakan secara Konghucu untuk orangtua mereka yang Katolik.

Doa yang dimaksudkan di sini mencakup doa pribadi maupun ibadat resmi yang dipimpin oleh petugas tak tertahbis maupun tertahbis. Doa yang demikian boleh dilakukan ketika jenazah belum dimakamkan, asalkan suasana dan tempat pelaksanaannya cukup pantas untuk ibadat arwah maupun perayaan Ekaristi. Hendaknya ibadat arwah dan perayaan Ekaristi tidak dirayakan di tengah hiruk pikuk atau keramaian ibadat agama lain, yang bisa mengurangi kekhidmatan dan keluhuran ibadat kita.

Penulis : Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Selasa, 19 November 2013 11:00 WIB.

Api Penyucian, Adakah Dasar Biblisnya ?


Mana yang benar, api penyucian atau api pencucian? Di mana dasar biblis dari ajaran ini? Apakah suasana api penyucian sangat seram, menakutkan dan menyedihkan? Berapa lama harus dijalani tahap ini? Sampai kapan kita mendoakan arwah-arwah itu?
Veronica Gunawan, Malang

Pertama, yang benar ialah api penyucian karena berasal dari kata “suci” dan bukan “cuci.” Dalam bahasa Latin, purgatorium yang berasal dari kata kerja purgare artinya membersihkan, menyucikan.

Kedua, api penyucian ialah keadaan pemurnian dari segala noda dosa, hukuman dosa dan segala bentuk keterlekatan duniawi yang harus dilalui oleh arwah-arwah sebelum masuk ke dalam kebahagiaan kekal. Keburukan manusia sekecil apapun pasti nampak di hadapan kemuliaan Allah yang mahasuci. Hanya orang yang benar-benar suci hatinya, yang akan melihat Allah (Mat 5:8). Kitab Wahyu mengajarkan dengan jelas bahwa di hadirat Allah “tidak akan masuk ke dalamnya sesuatu yang najis, atau orang yang melakukan kekejian atau dusta ...” (Why 21:27). Katekismus mengajarkan: “Siapa yang mati dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah, namun belum disucikan sepenuhnya, memang sudah pasti akan keselamatan abadinya, tetapi ia masih harus menjalankan satu penyucian untuk memperoleh kekudusan yang perlu, supaya dapat masuk ke dalam kegembiraan surga.” (KGK 1030; bdk juga 1031-1032).

Ketiga, tidak ada teks kitab suci yang eksplisit mengatakan tentang api penyucian. Ajaran tentang api penyucian ini bisa ditemukan secara implisit, jika membaca beberapa teks biblis. Misalnya, 2Mak 12: 38-45. Doa untuk keselamatan para prajurit yang gugur dimungkinkan karena mereka belum masuk surga, tetapi juga tidak masuk neraka. Kurban silih untuk orang-orang mati itu dilakukan “supaya mereka dibebaskan dari dosa-dosanya” (ay 45). Mereka berada di mana? “Tempat” itulah yang disebut api penyucian.

Pengandaian tentang api penyucian juga bisa dibaca dalam kata-kata Yesus: “Apabila seorang mengucapkan sesuatu menentang Anak Manusia, ia akan diampuni, tetapi jika ia menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datang pun tidak” (Mat 21:31). Yang dimaksud dengan “dunia yang akan datang” ialah api penyucian ini.

Juga dalam doa Paulus untuk Onesiforus, “Kiranya Tuhan menunjukkan rahmat-Nya kepadanya pada hari-Nya” (2Tim 1:18) mengindikasikan Onesiforus sudah meninggal dan memohonkan rahmat Tuhan pada hari terakhir kelak. 2Tim 4:19 meneguhkan bahwa Onesiforus sudah meninggal karena Paulus menyampaikan salam untuk keluarga Onesiforus tanpa menyebut salam untuk Onesiforus. Doa Paulus ini mengandaikan bahwa Onesiforus masih berada pada tahap pemurnian, yaitu di api penyucian.

Keempat, mereka yang masuk ke api penyucian sudah mengetahui bahwa mereka tidak masuk neraka dan mereka pasti akan masuk ke surga. Keberadaan mereka di api penyucian adalah persiapan untuk masuk ke surga. Karena itu, mereka sudah mengalami kegembiraan dan sukacita meskipun belum penuh.Tidak bisa dihindari juga ada rasa sakit selama tahap pemurnian tetapi rasa sakit itu perlu untuk menyiapkan mereka memasuki kebahagiaan kekal. Karena itu rasa sakit itu pasti hanya akan menambah kebahagiaan yang mendekat.

Kelima, sesudah kematian, arwah kita tidak lagi tergantung pada waktu. Karena itu sulit ditentukan berapa lama masa pemurnian itu harus dijalankan. Secara umum bisa dikatakan bahwa masing-masing orang harus menjalani masa pemurnian sebanding dengan jumlah dan beratnya kesalahan yang belum ditebus. Beberapa santo atau santa menggambarkannya dengan “puluhan tahun” atau bahkan bisa “berabad-abad”.

Keenam, doa kita untuk para arwah boleh dilakukan selama hidup kita tanpa memperhitungkan apa arwah itu “sudah” atau “belum” menyelesaikan masa pemurnian. Doa-doa kita akan dilihat oleh Allah yang tidak tergantung pada waktu tetapi hidup dalam kekekalan, termasuk doa-doa yang mungkin masih akan dilakukan pada waktu yang akan datang. Semua doa itu diperhitungkan Allah untuk keselamatan arwah yang kita doakan..

Penulis : Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Jumat, 29 November 2013 16:22 WIB.

Senin, 25 November 2013

Perbedaan Tuhan dan Allah Dalam Jati Diri Yesus.

Perbedaan Tuhan dan Allah

Menindaklanjuti penjelasan di Mingguan HIDUP No 33, 13 Agustus 2006, apakah ucapan Yesus ”Aku Tuhan dan Gurumu” (Yoh 13:13-14) tidak menunjukkan bahwa Yesus adalah Allah? Tentu bagi orang non Kristen, pernyataan Yesus adalah Tuhan dan Yesus adalah Allah mempunyai makna sama. Kedua kalimat itu mengandung makna Yesus sebagai Pencipta kehidupan dan kepada-Nya kita harus menyembah. Karena itu, kita dapat dengan tegas mengatakan kepada orang non Kristen yang bertanya bahwa pengakuan Yesus ”Aku ini Allah” memang tidak ada dalam Alkitab, tetapi kita bisa menunjuk pengakuan Yesus ”Aku ini Tuhan.” Mohon penjelasan apa perbedaan arti kata Tuhan dan Allah?

Rudi Markus Singgih, Makassar


Pertama, dalam Bahasa Indonesia, kata ”Tuhan” diartikan sesuatu yang diyakini, dipuja, disembah oleh manusia sebagai yang Maha Kuasa, Maha Perkasa, Pencipta kehidupan dan alam semesta. Jadi, kata ”Tuhan” sinonim dengan kata ”Allah.”


Perlu dicatat bahwa dalam banyak bahasa Eropa, kata ”Tuhan” dan ”tuan” dikatakan hanya dengan satu kata, misalnya Lord (Inggris), Seigneur (Perancis), Signore (Italia), Kyrios (Yun), Dominus (Latin). Kata ”tuan” berarti ”orang tempat mengabdi, sebagai lawan kata hamba” atau juga ”yang memberi pekerjaan, majikan.”

Seringkali kata ”tuan” digunakan dalam arti bapak, yang terkasih, yang terhormat, gusti. Konteks kalimat akan menjelaskan pengertian mana yang dirujuk, apakah Tuhan (arti absolut) atau tuan (arti relatif). Jadi, kata lord tidak langsung sinonim dengan God.


Kedua, dalam Perjanjian Lama, pada zaman para Bapa bangsa, Allah Israel mempunyai nama diri, yaitu Yahweh-Elohim. Seringkali Yahweh-Elohim dirujuk dengan nama ”Allah Abraham” (Kej 24:12) atau ”Allah ayah-mu (-ku)” (Kej 26:3,24; 28:13; 31:5,29; 32:9; 46:3). Karena menghormati nama Yahweh, maka nama Yahweh diganti dengan Adonai.

Saat itu, Israel masih menganut monolatria (menyembah satu Allah) dan belum monoteisme (percaya hanya ada satu Allah) yang ketat. Baru pada zaman deutero-Yesaya, muncullah monoteisme yang eksplisit dan ilah-ilah yang lain diyakini tidak ada (41:21-24; 44:6; 45:20-24). Dalam masa penerjemahan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani, Yahweh-Elohim (Adonai) diterjemahkan menjadi Kyrios (Yun) atau Tuhan (Ind) (bdk Kel 3:13-15).

Sebelum masa deutero-Yesaya, Tuhan adalah nama diri dari Allah Israel, sedang kata ”Allah” adalah kata jenis. Ingat bahwa ada banyak ilah-ilah dari bangsa Kanaan. Karena itu, kata Tuhan tidak sinonim dengan Allah.

Sejak deutero-Yesaya, ketika monoteisme lebih tegas, Israel percaya bahwa tiada Allah lain selain Yahweh atau Tuhan. Maka, Tuhan tidak lagi hanya nama diri tetapi menjadi sinonim dengan kata Allah. Maka, juga muatan arti ”Tuhan” identik dengan ”Allah.”

Ketiga, dalam Perjanjian Baru, kata Kyrios (Tuhan) adalah gelar yang paling sering dipakai untuk Yesus (bdk St. Darmawijaya Pr, Gelar-gelar Yesus, Yogyakarta: Kanisius, 1987). Bisa diandaikan bahwa gelar Kyrios untuk Yesus sebelum kebangkitan (Yesus historis) mempunyai arti relatif seperti ”tuan” atau yang terkasih atau yang terhormat (Luk 7:13; 10:39-41; 11:1.39; 12:41.42; 13:15.23, dll.).

Sedangkan untuk Yesus sesudah kebangkitan (Kristus) Kyrios mempunyai arti absolut, yaitu Tuhan, Allah (Kis 2:36; 4:26; 7:59; 11:20; 16:31; 28:31). Sesudah kebangkitan, sebutan Kyrios yang biasa diterapkan untuk Yahweh-Elohim diterapkan untuk Yesus dalam arti absolut. Jawaban Thomas ”Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yoh 20:28) jelas menunjukkan arti absolut.

Ini menunjukkan perkembangan pengertian para murid atas Yesus yang bangkit, yaitu dari tuan, gusti, junjungan, yang terhormat (arti relatif) berubah menjadi (karena kebangkitan) Tuhan (arti absolut). Diterapkan pada Yesus yang bangkit dan dimuliakan, gelar Kyrios jelas mempunyai arti Ilahi, sinonim dengan Allah atau Yahweh-Elohim.

Harus dicatat, semua kata Kyrios untuk Yesus dalam Perjanjian Baru diterjemahkan dengan kata ”Tuhan” baik sebelum maupun sesudah kebangkitan. Ini merupakan pengungkapan iman akan identitas Yesus yang sesungguhnya sesudah kebangkitan. Mungkin saja pada kejadian aslinya, kata itu masih dalam arti relatif yaitu ”tuan.” Misalnya, Yoh 6:23.68, 8:11; 9:36.38.

Keempat, menjawab pertanyaan Saudara Rudi, pernyataan Yesus dalam Yoh 13:13-14 pasti dimengerti oleh para murid-Nya dalam arti relatif (tuan), belum dalam arti absolut (Tuhan). Hanya dalam iman pada Yesus yang bangkit, para murid mengerti ucapan Yesus itu dalam arti absolut (Tuhan).

Jika kita memberi penjelasan kepada orang non Kristen, Yoh 13:13-14 bisa saja digunakan untuk mengatakan identitas Yesus sebagai Tuhan atau Allah. Tetapi, bagi orang yang mengerti bahasa dan gelar-gelar Yesus dalam Perjanjian Baru, tentu pembuktian itu dinyatakan tidak benar.

Penulis : Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Rabu, 9 Oktober 2013 14:19 WIB.

Sabtu, 23 November 2013

Apa Ada Kesucian Seksualitas?

Telanjang Tapi Tak Malu

Telanjang Tapi Tak Malu

Pada Majalah HIDUP, No 40, 2 Oktober 2011 dan No 28, 14 Juli 2013, Romo memaparkan tentang kesucian seksualitas. Romo menjelaskan, “telanjang tapi tidak malu” melulu dalam kaitan dengan Allah. Apakah rasa malu itu tidak terutama diarahkan kepada sesama manusia? Saya pribadi merasa bahwa seksualitas dan kesucian itu dua hal yang saling bertentangan. Apa mungkin ada kesucian seksualitas?
Alisha Yasukawati, Jakarta

Pertama, baik kalau kita terlebih dahulu melihat makna seksualitas dalam kisah penciptaan, karena pengertian ini bisa menjadi latar belakang mencerna ungkapan “telanjang tapi tidak malu”. Ketika Adam memberi nama binatang-binatang (Kej 2:19-20), Adam menyadari keberadaannya yang berbeda dengan binatang-binatang itu. Adam merasakan kesendirian. Ia tak menjumpai
sesamanya (ay 21: “penolong yang sepadan”). Karena kata “Adam” sebenarnya berarti manusia, yang mencakup pria dan wanita, maka harus dikatakan, kesendirian ini dialami baik pria maupun wanita. Kesendirian inilah yang mendorong manusia mencari dan terarah kepada sesamanya. Paus Yohanes Paulus II dalam Teologi Tubuh menyebut hal ini sebagai “kesendirian asali” (original solitude).

Kedua, melihat manusia sendiri, Allah berkomentar, “Tidak baik, manusia itu seorang diri saja” (Kej 2:18). Karena kata “Adam” pertama-tama berarti manusia (bukan pria saja), maka komentar Allah harus pertama-tama ditafsirkan sebagai merujuk ke kebutuhan manusia akan hidup bersama, yaitu antara sesama pribadi manusia. Demikian pula, kekaguman Adam terhadap Hawa, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej 2:23) adalah kekaguman manusia yang menemukan sesama sebagai pribadi, sesudah pengalaman kesendirian.

Pada tingkatan kedua, komentar Allah (Kej 2:18) itu merujuk pada kebersamaan antara pria dan wanita dalam perkawinan sebagai perwujudan yang umum dari kebutuhan akan hidup bersama. Dalam konteks ini, kekaguman dan minta Adam pada Hawa (Kej 2:23) bisa ditafsirkan sebagai ketertarikan seksual antara pria dan wanita. Allah menciptakan dorongan seksual sebagai kekuatan mencintai dan memberikan diri agar membentuk persekutuan. “Menjadi satu daging” (ay 24) berarti persetubuhan dan juga persekutuan antara pribadi. Persekutuan antara pribadi ini juga mencerminkan manusia sebagai citra Allah. Paus Yohanes Paulus II menyebut kebutuhan akan kebersamaan ini sebagai “kesatuan asali” (original unity).

Ketiga, dalam konteks persekutuan antar-pribadi inilah muncul ungkapan, keduanya “telanjang tapi tidak malu” (Kej 2:25). Ungkapan ini oleh Paus Yohanes Paulus II dinamakan “ketelanjangan asali” (original nakedness), dan ditegaskan sebagai “kunci” untuk mengerti arti seksualitas dan rencana asali Allah untuk hidup manusia. “Malu” di sini merupakan bentuk pertahanan diri ketika manusia diperlakukan bukan sebagai pribadi, tetapi obyek dalam relasi dengan sesama. Ketika manusia memperlakukan satu sama lain dengan bebas, tulus, dan terdorong untuk memberikan diri secara total, bukan sebagai obyek, maka manusia “telanjang tapi tidak malu.” Cinta dan pemberian diri ini digambarkan secara konkret dalam persekutuan antara pria dan wanita. “Pengobyekan” manusia juga menjadi lebih jelas dalam relasi pria dan wanita ketika pihak lain diperlakukan hanya sebagai obyek dari nafsu seksual.

Sebelum manusia jatuh dalam dosa, manusia menghargai sesama sebagai pribadi, bukan sebagai obyek, sehingga manusia menjadi “anugerah” satu sama lain. Inilah rencana asali Allah. Jadi, seksualitas merupakan panggilan manusia sebagai citra Allah, yaitu untuk mencintai dan untuk membentuk persekutuan. Tubuh kita adalah tanda sekaligus sarana untuk mewujudkan panggilan mencinta dan membentuk persekutuan. Seksualitas kita (bukan hanya alat kelamin) yang diungkapkan melalui tubuh adalah sarana dari Allah untuk mewujudkan secara penuh ke-citra-an kita dengan Allah.

Penulis : Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Jumat, 25 Oktober 2013 14:38 WIB.

Perihal Manusia Jatuh dalam Dosa.

Manusia Jatuh dalam Dosa

Apakah Taman Firdaus itu benar-benar ada? Seandainya manusia pertama tidak jatuh ke dalam dosa, apakah wanita tidak akan mengalami sakit bersalin dan ular tidak akan merayap di bumi? Apa artinya makan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat?
Markus Yung, Jakarta

Pertama, kisah penciptaan dan kejatuhan manusia ke dalam dosa tidak boleh ditafsirkan sebagai laporan sejarah, tetapi harus ditafsirkan sebagai kesaksian iman dari penulis suci dalam bimbingan ilahi. Bahasa simbolis dalam kisah ini perlu ditafsirkan secara hati-hati dalam terang Perjanjian Baru dan tradisi otentik (KGK 375).(bdk. HIDUP no 31, 3 Agustus 2008 dan no 39, 25 September 2011).

Kedua, kata “Eden” secara harafiah berarti “padang belantara”. Bunyi yang sama tapi beda tekanan dari kata “Eden” berarti kenikmatan, kemakmuran.
Arti kedua inilah yang dimaksud penulis untuk mengungkapkan keindahan, kebahagiaan, dan kemakmuran taman itu. Kata itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani (paradeisos) dan menjadi paradise (Ing), Firdaus (Ind).

Taman Eden adalah gambaran penulis suci tentang keadaan ideal yang diciptakan Allah sebelum manusia berdosa. Keadaan bahagia dan sejahtera ini hilang dan berubah secara drastis akibat dosa manusia pertama. Keadaan di Taman Firdaus (Kej 2:4-25) merupakan kebalikan dari keadaan konkrit manusia sesudah jatuh ke dalam dosa (Kej 3:4-24). Melalui kisah tentang Taman Firdaus ini, Allah mewahyukan ajaran iman bahwa keadaan manusia sekarang ini bukanlah keadaan yang dikehendaki oleh dan berasal dari Allah,
tetapi adalah akibat dari dosa manusia pertama. Keadaan yang memprihatinkan ini adalah keadaan sementara sebagai hukuman dari dosa manusia. Kejelekan dan keburukan ini tidak berasal dari Allah. Kisah Taman Firdaus hendak membangkitkan kerinduan akan keadaan manusia yang bebas dari dosa dan hidup bahagia dan sejahtera bersama Allah.

Ketiga, lukisan rinci tentang keadaan setelah manusia jatuh ke dalam dosa, bertujuan menunjukkan kerusakan-kerusakan yang terjadi karena dosa. Kerusakan itu bisa dibedakan menjadi empat bidang relasi manusia.
  1. relasi kasih dengan Allah yang menyejukkan rusak menjadi relasi yang menakutkan: “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada di taman itu, aku menjadi takut...” (Kej 3:10). Kehadiran Allah menakutkan karena manusia takut akan hukuman-Nya.
  2. relasi intim dengan sesama manusia menjadi rusak, yaitu manusia tidak mau bertanggungjawab atas perbuatannya, dan melemparkan tanggung jawab atas kesalahannya kepada sesamanya (3:12-13). Relasi suami istri yang indah berubah menjadi relasi yang mendominasi dan mengobyekkan. Hal ini diungkapkan dengan kata “telanjang” (3:10.11) Kehadiran anak yang seharusnya menjadi ungkapan kebahagiaan menjadi sebab susah payah dan kesakitan (3:16).
  3. relasi dengan diri sendiri juga dirusak, artinya manusia tidak kuasa menahan dorongan-dorongan dari dalam (nafsu) meskipun akibatnya jelas menyakitkan (3:16 “engkau akan birahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu”).
  4. relasi manusia dengan alam semesta juga dirusak: manusia harus bekerja keras mencari nafkah (3:17-19). Binatang-binatang, yang termasuk alam semesta, bermusuhan dengan manusia dan menjadi ancaman atas hidup manusia (3:15). Relasi selaras manusia menjadi rusak pada setiap bagiannya, karena dosa.

Keempat, makan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat adalah ungkapan simbolis yang berarti bahwa manusia dengan kebebasannya mau menentukan sendiri kriteria moral, lepas dari apa yang telah ditentukan oleh Allah. Dalam arti itu, manusia mengambil alih kedudukan Allah (“kamu akan menjadi seperti Allah”) sebagai penentu baik dan buruk. Inilah inti dosa yang sampai sekarang masih terus terjadi. Manusia tidak mau mengikuti kriteria baik-buruk yang ditetapkan oleh Allah, tidak mau mengikuti kehendak Allah (taat), tetapi mau mengatur dirinya sendiri lepas dari Allah. Maka dosa juga berarti bahwa manusia mau mewujudkan diri di luar Allah.

Penulis : Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Jumat, 11 Oktober 2013 16:23 WIB

Kamis, 14 November 2013

Allah dalam Teori Evolusi

Allah dalam Teori Evolusi

Apakah teori evolusi diakui Gereja? Apakah Gereja masih tetap mengajarkan kisah penciptaan yang terjadi selama enam hari? Apakah iman kita bisa dipertahankan jika berhadapan dengan ilmu pengetahuan?
Lina Mariantika, Malang

  • Pertama, kisah penciptaan dan teori evolusi tidaklah bertentangan atau saling menyangkal. Gereja tetap mengajarkan kisah penciptaan dan sekaligus tak menyangkal proses historis kejadian segala sesuatu. Teori evolusi menyadarkan kita, bahwa kisah penciptaan (Kej 1-2) tidak bermaksud menyajikan proses penciptaan alam semesta, tetapi menyajikan ajaran-ajaran iman tentang manusia dan Allah. Karena itu, ungkapan penciptaan dalam enam hari tidak boleh dimengerti secara harafiah, tapi harus dimengerti sebagai gaya simbolis penulis suci menyampaikan ajarannya.

  • Kedua, ada kesatuan antara kisah penciptaan dan teori evolusi, antara iman dan akal budi. Iman tetap bisa dan harus dipertahankan ketika berhadapan dengan akal budi. Dalam ensiklik Fides et Ratio, Paus Yohanes Paulus II menjelaskan, iman dan akal budi itu bagaikan dua sayap bagi manusia untuk terbang kepada kontemplasi tentang kebenaran, kebenaran hidup manusia, dan kebenaran iman akan Allah. Dalam terang iman Katolik, iman dan ilmu tak boleh dipandang sebagai dua dunia manusia yang saling bertentangan dan tidak dapat direkonsiliasikan, tetapi keduanya merupakan pendekatan yang berbeda yang menghasilkan kebenaran masing-masing dari kenyataan yang satu dan sama.

  • Ketiga, teori evolusi yang dilahirkan ilmu pengetahuan menjelaskan proses pembentukkan alam semesta (kosmogenesis), kehidupan (biogenesis), serta manusia (antropogenesis). Teori evolusi menegaskan, segala sesuatu yang ada di dunia ini bukanlah sesuatu yang sudah jadi dan selesai, tapi sesuatu yang hidup, tumbuh dan berkembang. Teori evolusi menjawab pertanyaan “bagaimana” (how). Di lain pihak, kisah penciptaan (Kej 1) tidak bermaksud menjelaskan tentang proses ini, tapi mengajarkan tentang Allah, manusia, dan alam semesta. Ajaran iman ini adalah jawaban atas pertanyaan tentang siapa, apa, dan mengapa (who, what, why) yang tidak bisa dijawab teori evolusi. “Proyek” apa yang terkandung dalam alam semesta dan diri manusia tidak bisa dijelaskan teori evolusi, tapi menjadi jelas dalam kisah penciptaan. Dalam arti ini kisah penciptaan dan teori evolusi justru tidak bertentangan, tapi bersifat saling melengkapi.

  • Keempat, teori evolusi yang ditolak Gereja ialah teori evolusi ideologis atau materialistis, yaitu yang mengajarkan bahwa segala sesuatu (termasuk kehidupan dan manusia) itu berasal dari materia yang kekal yang di dalamnya sudah ada sebab-sebab yang mencukupi sehingga teori evolusi materialistis ini menolak ajaran tentang penciptaan dan adanya Allah. Evolusi materialistis menolak sebab apa pun yang mengatasi materia. Keseluruhan diri manusia berasal dari materia. Jiwa adalah hasil reaksi kimiawi dari materi-materi, demikian juga roh manusia. Karena itu, sifat transenden manusia disangkal. Keberadaan Allah ditolak. Teori penciptaan ditolak.

  • Kelima, Kardinal Ratzinger (pada 1986) menunjukkan kemungkinan peran Allah dalam teori evolusi. Munculnya kehidupan dan juga manusia oleh teori evolusi dipandang sebagai proses kebetulan, dan kemungkinan matematis terjadinya hampir mendekati nol, yaitu bahwa hanya terjadi satu kali. Ratzinger mengatakan bahwa hal itu bukanlah kebetulan, melainkan di sinilah tampak campur tangan Allah. Kehidupan dan manusia muncul karena memang dikehendaki oleh kebebasan dan kasih Allah. Struktur organisme yang muncul menyiratkan adanya rencana, proyek besar dan konstruksi yang tidak bisa terjadi kebetulan saja, acak dan tidak beraturan, tapi haruslah sesuatu yang sudah dipikirkan dan direncanakan secara masak. Hal ini menunjuk kepada adanya akal budi atau intelligence yang mencipta di balik peristiwa ini. Itulah Allah Sang Pencipta.

Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Kamis, 17 Oktober 2013 15:34 WIB.

Minggu, 10 November 2013

Memperkenalkan : My PC Defender 2014, Dari Indonesia untuk Indonesia dan Dunia.


Today is November 10, 2013, our nation celebrated hero Indonesia, the day that we use to honor our current fighters repel invaders from Indonesia. On that day our ancestors struggled between life and death to defend the independence of Indonesia.
Hari ini tanggal 10 November 2013, kami Bangsa Indonesia merayakan hari pahlawan, hari yang kami gunakan untuk menghormati para pejuang kami saat mengusir penjajah dari Indonesia. Pada hari itu nenek moyang kami berjuang antara hidup dan mati untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. 

We are now the proud grandson with the independence struggle of their results by creating sophisticated combat equipment "My PC Defender 2014" to free your computer from various types of malware that occupation must have been very detrimental to you.
Kini kami para cucunya dengan bangga mengisi kemerdekaan hasil perjuangan mereka dengan menciptakan peralatan tempur canggih "My PC Defender 2014" untuk membebaskan komputer anda dari penjajahan aneka jenis malware yang pasti sangat merugikan anda.

We dedicate our work to the heroes of our nation Indonesia and around the world for you.
Please join us, we freed our computers from invaders, we eradicated them up by the roots, and eventually independence belongs to the whole world !
Free download and use, visit this site for download:
http://mypcdefender.blogspot.com/
Karya kami ini kami dedikasikan untuk para pahlawan bangsa kami Indonesia dan untuk anda di seluruh dunia. Mari bergabung bersama kami, kita bebaskan komputer kita dari penjajah, kita basmi mereka sampai ke akar-akarnya, dan akhirnya kemerdekaan ini menjadi milik seluruh dunia.


Gratis download dan digunakan, kunjungi situs ini untuk download :
http://mypcdefender.blogspot.com/

Anda perlu baca juga :

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...