Kamis, 27 November 2014

Bagaimana Pendapat Gereja Tentang Kematian Maria ?


Bunda Maria dikandung tanpa dosa dan pada akhir hidupnya Bunda Maria diangkat ke surga. Apakah Bunda Maria juga mengalami kematian seperti kita? Bukankah kematian itu adalah akibat dosa, sedangkan Bunda Maria tidak berdosa?
Theresia Maria Vale-ely, Manado


Pertama, ada dua pendapat yang berlawanan tentang kematian Maria. Di satu sisi dikatakan, bahwa Maria tidak terkena dosa asal dan karena kematian adalah akibat dosa, maka Maria tidak mengalami kematian. Sebelum mengalami kematian, Maria mengalami keadaan tertidur dan kemudian diangkat ke surga.

Pendapat yang lain mengatakan, bahwa Maria pasti tidak akan meninggikan dirinya mengatasi Yesus Putranya. Yesus juga wafat, meskipun tidak mengenal dosa. Maria yang menyatukan diri sedemikian erat dengan Yesus, pastilah Maria mengalami kematian seperti yang dialami Yesus. Memang kematian Maria bukanlah karena keharusan seperti kita yang terkena dosa asal. Maria mengalami kematian karena alasan-alasan lain.

Belum ada ajaran resmi Gereja tentang kematian Maria ini. Namun demikian, banyak Paus maupun teolog yang cenderung pada pendapat kedua, yaitu yang menyatakan bahwa Maria mengalami kematian. Dogma Maria diangkat ke surga tidak secara khusus membahas butir ini dan membiarkan butir ini tetap terbuka untuk didiskusikan (bdk HIDUP No 43, 17 Agustus 2008).

Kedua, para Bapa Gereja baik dari Barat (Ambrosius, Agustinus) maupun dari Timur (Efrem, Epifanius, Yohanes Damascenus) menyatakan, bahwa Maria mengalamikematian. Yang dirasakan sebagai kesulitan untuk menerima bahwa Maria mengalami kematian ialah soal pembusukan badan Maria. Pembusukan merupakan akibat dosa, maka dipandang kurang sesuai dengan kesucian Maria. Karena itu, sejak pasca Konsili Efesus (431) muncul tulisan apokrif (Transitus Mariae) yang menyatakan secara lebih halus dan dapat diterima bahwa Maria tidak mengalami kematian (yaitu, kehancuran dan pembusukan tubuh), tetapi hanya ”transit” saja. Ungkapan ini juga sering disebut sebagai ”dormitio.”

Ketiga, alasan-alasan yang mendukung pendapat tentang kematian Maria ialah; 1) Maria menyesuaikan diri dengan Kristus. Karena kerendahhatian Maria, pastilah Maria menolak jika dia tidak mengalami kematian. Maria tidak mau lebih tinggi dibandingkan Putranya. Jika Sang Sabda secara sukarela mengenakan keinsanian yang fana dan dapat mati demi menebus kita, tentulah sebagai ibu, Maria akan juga mengenakan keinsanian yang fana dan dapat mati. Jadi, Maria mengalami kematian bukan karena hukuman dosa tetapi karena sifat keinsanian itu sendiri. Pastilah Maria menerima kematiannya secara sukarela. 2) Maria berperan sebagai rekan-penebus (co-redemptrice), Maria tidak harus mengalami kematian tetapi secara sukarela menerimanya agar dia bisa juga menjadi rekan-penebus bersama Putranya.


Dimana Makam Maria ?

Di manakah makam Bunda Maria yang sesungguhnya, di Yerusalem atau di Efesus? Mengapa ada dua tempat ”dormitio” di Tanah Suci? Di mana Maria mengalami kematiannya?
Theresia Maria Vale-ely, Manado



Menurut tradisi yang sudah sangat kuno, Maria melewatkan masa tuanya di Yerusalem dan wafat di sana. Hal ini dapat dijumpai pada beberapa tulisan apokrif dari abad ke II sampai IV. Meskipun termasuk apokrif, namun tulisan-tulisan itu mempunyai nilai historis untuk menunjukkan tradisi awal yang ada. Tradisi ini diterima oleh para Bapa Gereja dari Timur maupun Barat.

Tidak pernah ada tradisi yang mengaitkan kematian dan makam Maria dengan Kota Efesus sebelum abad V. Tradisi makam di Efesus ini diawali sekitar tahun 431 pada saat Konsili Efesus. Tradisi ini kemudian diikuti oleh Suster Catherine Emmerich (± 1824) dalam meditasi-meditasinya. Jadi, ”tradisi makam Efesus” ini lebih dan kurang mempunyai dasar historis.

Jadi, Maria mengalami kematian atau ”dormitio” atau ”transitus” di Yerusalem dan kemudian dimakamkan di sana. Makamnya menjadi salah satu tempat ziarah di Tanah Suci.

Memang di Tanah Suci ada dua tempat ”dormitio”, yaitu ”dormitio virginis” di Bukit Sion dan ”Basilica of Dormition” di Bukit Zaitun. Menurut tradisi, Maria wafat di ”dormitio virginis” yang di Bukit Sion, dan kemudian dimakamkan di ”Basilica of Dormition” yang di Bukit Zaitun.

Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Jumat, 11 Januari 2013 16:03 WIB.


Makam Maria Menurut Tradisi Gereja.


Menurut tradisi Kristen, St. Maria, Bunda Yesus, wafat dan dimakamkan di kota Jerusalem. Kedua tempat itu diabadikan dengan Basilika Dormitio di Bukit Zion, tidak jauh dari Senakel (Ruangan Perjamuan Terakhir), dan dengan Gereja Makam St. Maria di Lembah Kidron, tidak jauh dari Getsemani. 


BASILIKA DORMITIO ( TERTIDURNYA BUNDA MARIA ).


Basilika ini berdiri di Bukit Sion, tidak jauh dari Senakel. Menurut suatu tradisi yang layak dipercaya, Bunda Maria tinggal di ruangan Senakel hingga hari “tertidurnya” (Latinnya : dormitio). 



Tradisi ini dibenarkan oleh Patriark Sofronius yang menggembalakan umat Yerusalem pada pertengahan abad VII. Dalam sebuah madah yang mengidungkan keagungan “Sion yang Suci” disebutnya batu di mana Bunda Maria istirahat sebelum meninggal dunia. 

Dalam sebuah basilika yang didirikan oleh para pejuang Perang Salib dekat Senakel, peristiwa tertidurnya Bunda Maria dikenang juga. Namun dengan lajunya waktu, basilika itu hancur. Pada tahun 1898 tempat-tempat suci di Israel dikunjungi oleh Kaisar Jerman Wilhelm II. Tempat yang diyakini sebagai tempat tertidurnya Bunda Maria pada kunjungan itu dihadiahkan kepada Kaisar oleh Sultan Abdul Hamid. 

Yayasan Pro Palestina di Koln mulai mengumpulkan dana untuk mendirikan basilika. Pemeliharaan basilika yang diresmikan pada tahun 1910 diserahkan kepada Ordo St. Benediktus (OSB). Basilika ini dibangun menurut rancangan H. Renard. Sebagai bangunan kukuh, basilika ini mirip sebuah benteng Abad Pertengahan. Di dalamnya terdapat banyak mosaik, antara lain tanda-tanda zodiak. Di bawah basilika terdapat kapel, dan di tengahnya dibuat arca Bunda Maria yang sedang tertidur.


Makam Maria sejak semula dihormati oleh jemaah Kristen-Yahudi. Sejak abad V, makam itu diurus oleh orang-orang Kristen bukan Yahudi. Semasa pemerintahan Kaisar Mauritius (582-602), di atas makam itu didirikan sebuah gereja lagi, sehingga makam semula menjadi kapel bawah tersendiri. 

Para pejuang Perang Salib yang telah merenovasi gereja, mempertahankan susunannya dan kedua bagiannya, yaitu atas dan bawah, tetapi menambahkan sebuah biara yang diserahkan kepada Ordo St. Benediktus (OSB). Biara itu mirip benteng, dan reruntuhannya ditemukan dekat gereja pada tahun 1937. 

Pada tahun 1187 biara dan gereja bagian atas dihancurkan oleh tentara Saladin, tetapi bagian bawah luput, karena orang-orang Islam juga menghormati Bunda Maria. Tempat ini selalu menjadi pusat ibadah Kristen di kota suci Jerusalem. Sejak abad XIV hingga XVIII para biarawan OFM mengadakan renovasi besar-besaran di tempat suci ini. Pada waktu itu, tempat ini memang dalam pengurusan mereka. Tetapi pada tahun 1757 mereka disingkirkan dari sini dan pengawasan atas Makam Bunda Maria diserahkan kepada Gereja Ortodoks Yunani dan Armenia. 

Pada masa kini orang-orang Katolik boleh mengadakan ibadah di sini hanya 3 kali setahun, termasuk tgl. 15 Agustus, pada hari raya Maria diangkat ke Surga. Di sebelah kiri kapel makam ini ada altar St. Yoakhim dan Anna, orang tua Bunda Maria. Pada tahun 1161 di sini dimakamkan Ratu Melisenda, putri Baldwin I. Di sebelah kanan ada altar St. Yosef di mana dimakamkan Maria, istri Baldwin III serta Konstantia, ibu Pangeran Antiokhia.


Apa Dasar Dogma Maria Diangkat ke Surga dan Maria Sebagai Ratu Surga


Saya sangat meragukan kebenaran dogma Maria Diangkat ke Surga, karena dalam Kitab Suci tidak ditemukan teks yang mengatakan hal itu. Apa dasar biblis yang digunakan Paus Pius XII ketika mendeklarasikan dogma ini? Apakah dasar gelar Maria sebagai Ratu Surga?
Anastasia Gabriella Giva, Malang


Pertama, baik kalau disadari, tidak semua ajaran Gereja didasarkan pada teks biblis yang secara eksplisit mengatakan ajaran itu. Tugas Gereja harus melampaui kecenderungan “literalisme” (harafiahisme), yaitu kecenderungan hanya membatasi ajaran dalam teks yang secara harafiah mengatakan suatu ajaran. Artinya, Gereja juga harus menarik “arti yang lebih penuh” (Ing. fuller sense) dari teks biblis yang ada. Gereja juga perlu menggali ajaran dari teks-teks yang hanya menyatakan sebuah ajaran secara tersembunyi, dan kemudian Gereja harus berani menyimpulkan dan menyatakan secara eksplisit implikasi dari ajaran itu. 
Apa yang tak ditangkap banyak pencinta Kitab Suci dalam arti harafiah, bisa dieksplisitkan dalam arti alegoris atau metaforis. Dalam hal Maria, refleksi Gereja dalam perjalanan waktu membawa Gereja menemukan ada aspek-aspek dari pribadi Maria yang hanya secara berangsur-angsur menjadi jelas dan pantas dirayakan seluruh Gereja.

Kedua, dasar biblis yang digunakan Paus Pius XII ialah Why 12:1-6. Dalam konteks kitab Wahyu, “wanita yang berselubungkan matahari” itu ialah Umat Allah, Israel baru, mempelai Kristus, yaitu Gereja yang melahirkan generasi baru orang yang percaya. Tapi jika “dibawa lari kepada Allah dan ke takhta- Nya” (ay 5) diartikan sebagai kebangkitan dan kenaikan ke surga dari Yesus, maka ayat itu merujuk kepada Yesus historis. Jika demikian, maka “wanita” itu juga adalah wanita historis, yang terdiri dari jiwa dan raga, yaitu Maria yang adalah Bunda dari Umat Allah di surga.

Penafsiran ini diteguhkan penafsiran Kej 3:15. Jika wanita itu dan keturunannya akan menang terhadap setan, maka bukan hanya Yesus yang bersinar cemerlang di surga dengan jiwa dan raga-Nya, tapi juga “wanita” itu dimuliakan dalam kepenuhan jiwa dan raganya. Tanpa pengangkatan Maria ke surga dengan jiwa dan raga, kemenangan atas setan tidaklah lengkap. Inilah dasar-dasar pernyataan dogma Maria Diangkat ke Surga oleh Paus Pius XII dalam surat Munificentissimus Deus.

Ketiga, tidak sulit juga untuk mengerti bahwa karena Yesus adalah Allah-manusia yang menderita, wafat dan bangkit kembali untuk keselamatan kita, Dia naik ke surga dengan jiwa dan raganya. Demikian pula Maria, yang menyertai dan bersatu dengan Yesus dalam karya keselamatan-Nya, akan menikmati kemuliaan jiwa dan raga di surga, seperti dikatakan St Paulus dalam 1 Kor 15:22-26 (bdk. 2 Tim 2: 11-12a; Rm 6:8). Kedekatan dan persatuan Maria dengan Yesus memberikan petunjuk bahwa Yesus pasti mengikutsertakan Ibu-Nya dalam kemuliaan di surga, dengan jiwa dan raganya. Maria dimuliakan karena kesucian, yaitu bahwa dia selalu siap melakukan kehendak- Nya (bdk. Mat 12: 49-50).

Keempat, tak ada pernyataan dogma tentang Maria sebagai Ratu Surga. Ajaran Maria sebagai Ratu Surga merupakan konsekuensi dari dogma Maria Diangkat ke Surga, karena seperti Yesus Kristus yang naik ke surga dan ikut Pemerintah bersama Bapa (duduk di sebelah kanan Bapa), demikian pula Maria yang diangkat ke surga dan turut memerintah bersama Putranya (bdk. 2 Tim 2:11-12a). Tetapi sadar akan ketidaksetaraan antara Yesus dan Maria, kita tetap bisa mengatakan ada kesejajaran antara Maria dengan Yesus. Apa yang dikatakan tentang Yesus dapat dikatakan secara analog tentang Maria. Yesus menjadi Tuhan, supaya “segala makhluk... bertekuk lutut di hadapan Nama Yesus” (Flp 2:10). Demikian pula Maria dimuliakan dengan pengangkatannya ke surga untuk menjadi Ratu Semesta Alam. Penggelaran Maria ini adalah buah dari kesetiaan dan ketaatan Maria pada misi yang dipercayakan Tuhan kepada dia.

Penulis : RP Petrus Maria Handoko CM
Sumber :  http://www.hidupkatolik.com/, Senin, 24 November 2014 11:07 WIB.

Selasa, 25 November 2014

Sejarah Panjang Hari Guru Nasional : 25 Nopember.


25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Hal itu ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994.

Namun, ada sejarah panjang hingga akhirnya 25 November terpilih sebagai Hari Guru Nasional. Selain Hari Guru Nasional, 25 November 1945 juga ditetapkan sebagai hari lahir Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

PGRI diawali dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) pada 1912. Organisasi ini bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri dari para guru bantu, guru desa, kepala sekolah, dan pemilik sekolah. Dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda mereka umumnya bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat Angka Dua. Sejalan dengan keadaan itu, maka selain PGHB berkembang pula organisasi guru bercorak keagamaan, kebangsaan, dan sebagainya.

Dua dekade berselang, nama PGHB diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan ini mengejutkan pemerintah Belanda, karena kata “Indonesia” yang mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak disenangi oleh Belanda. Sebaliknya, kata “Indonesia” ini sangat didambakan oleh guru dan bangsa Indonesia.

Kesadaran kebangsaan dan semangat perjuangan yang sejak lama tumbuh mendorong para guru pribumi memperjuangkan persamaan hak dan posisi dengan pihak Belanda. Hasilnya antara lain adalah Kepala HIS yang dulu selalu dijabat orang Belanda, satu per satu pindah ke tangan orang Indonesia.

Semangat perjuangan ini makin berkobar dan memuncak pada kesadaran dan cita-cita kesadaran. Perjuangan guru tidak lagi perjuangan perbaikan nasib, tidak lagi perjuangan kesamaan hak dan posisi dengan Belanda, tetapi telah memuncak menjadi perjuangan nasional dengan teriak “merdeka.”

Sayang, pada zaman pendudukan Jepang segala organisasi dilarang dan sekolah ditutup sehingga PGI tidak dapat lagi melakukan aktivitas. Namun, semangat proklamasi 17 Agustus 1945 menjadi dasar PGI untuk menggelar Kongres Guru Indonesia pada 24–25 November 1945 di Surakarta.

Melalaui kongres ini, segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan suku, sepakat dihapuskan. Mereka adalah guru-guru yang aktif mengajar, pensiunan yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan Republik Indonesia yang baru dibentuk.

Di dalam kongres inilah, tepatnya pada 25 November 1945, PGRI didirikan. Maka, sebagai penghormatan kepada para guru, pemerintah menetapkan hari lahir PGRI tersebut sebagai Hari Guru Nasional dan diperingati setiap tahun.


Penulis : Margaret Puspitarini
Sumber : news.okezone.com, Selasa, 25 November 2014 - 00:05 wib 

Jumat, 21 November 2014

SUKSESI APOSTOLIK DAN SAKRAMEN IMAMAT.


Salah satu sifat gereja adalah apostolik dimana gereja itu harus menunjukkan (menampakkan) ciri-ciri rasuli (lih Ef 2:20) karena dibangun diatas para Rasul dengan Kristus sebagai batu Penjurunya, tentu pula dengan Petrus sebagai kepada dewan para rasul seperti yang Yesus sendiri kehendaki (bdk Mat 16:18-22;Yoh 21:15; Kis 2:14; dll). Konsekuensi dari gereja yang mempertahankan sifat gereja yang Apostolik adalah mempunyai suksesi apostolik, dengan adanya suksesi Apostolik maka kedudukan para rasul dan Petrus sebagai kepala dewan para rasul dapat tergantikan, dengan demikian kelangsungan Gereja dapat terjamin sesuai kehendak Yesus sendiri kepada Gerejanya (bdk Mat 28:20). 

Suksesi apostolik dalam Gereja perdana bisa kita lihat pada misalnya penggantian Yudas Iskariot oleh Matias (Kis 1), Pengangkatan beberapa Pelayan dalam jemaat, dll. caranya itu dilakukan dengan penumpangan tangan (bdk Kis 6:6;Itim 5:22, dll) dan fungsinya adalah menggantikan kedudukan para rasul (bdk Kis 14:23). Suksesi Apostolik dipertahankan oleh Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks, kita percaya bahwa meskipun alkitab tidak secara tegas menyatakan tentang suksesi Apostolik, tetapi alkitab memberikan gambaran tentang hal itu dan juga Tradisi Suci juga menegaskan hal yang sama [penjelasan tentang Tradisi suci lihat artikel Apakah hanya Alkitab dasar iman Kita?]. 

Gereja yang mempertahankan suksesi Apostolik, memiliki ciri-ciri antara lain memiliki kesatuan dalam hal iman, ajaran, tata ibadat, hirarki, dll dimanapun komunitas itu berada, dimana Gereja sekarang sama seperti Gereja para rasul, dimana para jemaat bertekun dalam pengajaran para rasul (lih Kis 2:42). Dimana Gereja yang sekarang sama seperti Gereja pada masa Bapa-Bapa Gereja dan akan tetap sama sampai kepada akhir jaman. Pembahasan mengenai suksesi Apostolik berkaitan erat dengan sakramen Imamat, karena dengan adanya Sakramen ini maka dimungkinkan adanya Suksesi Apostolik dan dengan menerima sakramen Imamat dari mereka yang memiliki Suksesi apostolik yang sah maka penerima akan turut ambil bagian dalam Imamat Kristus (secara khusus) sebagai Imam, karena hal inilah Gereja percaya bahwa Tahbisan Suci itu benar-benar merupakan suatu Sakramen.

Sakramen Tahbisan diberikan oleh Uskup kepada mereka yang telah mendapat tahbisan diakon. Sakramen ini mendapat tempat dalam kitab suci sebagai contoh kita dapat lihat di Kis 14:23 "Di tiap-tiap jemaat rasul-rasul itu menetapkan penatua-penatua bagi jemaat itu dan setelah berdoa dan berpuasa, mereka menyerahkan penatua-penatua itu kepada Tuhan, yang adalah sumber kepercayaan mereka" juga pada Kis 20:17,28. kemudian bila kita perhatikan dalam 1Kor 12:28 "Dan Allah telah menetapkan beberapa orang dalam Jemaat: pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar." 


Jadi disini jelas bahwa dalam Gereja ada pembedaan fungsi dan peran yang masing-masing memiliki jenjang tersendiri. Pentahbisan para pelayan gereja ini juga ditunjukkan dengan penumpangan tangan untuk jelasnya lihat Kis 6:6, Kis 13:3. disini jelaslah bahwa sakramen imamat memiliki dasar kitab suci dan sakramen imamat akan lebih jelas lagi bila Tradisi Suci yang menjelaskannya. berikut komentar Teolog Besar Gereja Katolik "Kristus adalah sumber setiap imamat; karena imam hukum [lama] citranya. Tetapi imam Perjanjian Baru bertindak atas nama Kristus" (Thomas Aquino, s.th 3,22,4) dan Berikut pula beberapa kesaksian Bapa-Bapa Gereja tentang Sakramen Imamat dan Suksesi Apostolik:
  1. "Bapa, Engkau yang mengenal hati, berilah kepada para pelayan-Mu, yang telah Engkau panggil untuk martabat Uskup, supaya ia menggembalakan kawanan-Mu yang kudus dan melaksanakan di hadirat-Mu imamat yang agung ini tanpa cacat, dengan melayani Engkau siang dan malam. Semoga ia tanpa henti-hentinya membuat wajah-Mu menyinarkan belas kasihan dan semoga ia membawakan persembahan Gereja-Mu yang Kudus. Semoga ia berkat roh imamat yang agung ini mempunyai kekuasaan untuk mengampuni dosa sesuai perintah-Mu. Semoga ia membagi-bagikan tugas sesuai dengan aturan-Mu dan membuka ikatan berkat kekuasaan yang telah Engkau berikan kepada para rasul-Mu. Semoga ia berkenan kepada-Mu oleh kelemahlembutan dan oleh hatinya yang murni, waktu ia mempersembahkan kepada-Mu keharuman yang menyegarkan dengan perantaraan Yesus Kristus anak-Mu...." (Hipolitus, trad. ap. 3)
  2. "When I had come to Rome, I [visited] Anicetus, whose deacon was Eleutherus. And after Anicetus [died], Soter succeeded, and after him Eleutherus. In each succession and in each city there is a continuance of that which is proclaimed by the Law, the Prophets, and the Lord" (Hegesippus, Memoirs 4:22:1 [ A.D. 180]).
  3. "It is possible, then, for everyone in every church, who may wish to know the truth, to contemplate the Tradition of the Apostles which has been made known to us throughout the whole world. And we are in a position to enumerate those who were instituted bishops by the apostles and their successors down to our own times, men who neither knew nor taught anything like what these heretics rave about" (Irenaeus dan Lyons, Against Heresies 3:3:1 [A.D. 189]); "But since it would be too long to enumerate in such as volume as this the successions of all the churches, we shall confound all those who, in whatever manner, whether through self-satisfaction or vainglory, or through blindness and wicked opinion, assemble other than where it is proper, by pointing out here the successions of the bishops of the greatest and most ancient church known to all, founded and organized at Rome by the two most glorious Apostles, Peter and Paul--that church which has the Tradition and the with which comes down to us after having been announced to men by the apostles. For with this Church, because if its superior origin, all churches must agree, that is, all the faithful in the whole world. And it is in her that the faithful everywhere have maintained the Apostolic Tradition" (ibid., 3:3:2).
  4. "[The Apostles] founded churches in every city, from which all the other churches, one after another, derived the tradition of the faith, and the seeds of doctrine, and are every day deriving them, that they may become churches. Indeed, it is on this account only that they will be able to deem themselves apostolic, as being the offspring of apostolic churches. Every sort of thing must necessarily revert to its original for its classification. Therefore the churches, although they are so many and so great, comprise but the one primitive church, [founded] by the apostles, from which they all [spring]. In this way all are primitive, and all are apostolic, while they are all proved to be one in unity by their " (Tertulianus, Demurrer Against the Heretics 20 [A.D. 200]).;"[W]hat it was which Christ revealed to them [the apostles] can, as I must here likewise prescribe, properly be proved in no other way than by those very churches which the apostles founded in person, by declaring the gospel to them directly themselves . . . If then these things are so, it is in the same degree manifest that all doctrine which agrees with the apostolic churches--those molds and original sources of the faith must be reckoned for truth, as undoubtedly containing that which the churches received from the apostles, the apostles from Christ, [and] Christ from God. Whereas all doctrine must be prejudged as false which savors of contrariety to the truth of the churches and apostles of Christ and God. It remains, then, that we demonstrate whether this doctrine of ours, of which we have now given the rule, has its origin in the Tradition of the Apostles, and whether all other doctrines do not ipso facto proceed from falsehood" (ibid., 21).;"But if there be any [heresies] which are bold enough to plant [their origin] in the midst of the apostolic age, that they may thereby seem to have been handed down by the apostles, because they existed in the time of the apostles, we can say: Let them produce the original records of their churches; let them unfold the roll of their bishops, running down in due succession from the beginning in such a manner that [their first] bishop shall be able to show for his ordainer and predecessor some one of the apostles or of apostolic men--a man, moreover, who continued steadfast with the apostles. For this is the manner in which the apostolic churches transmit their registers: as the church of Smyrna, which records that Polycarp was placed therein by John; as also the church of Rome, which makes Clement to have been ordained in like manner by Peter" (ibid., 32).  
  5. " I must not omit an account of the conduct also of the heretics--how frivolous it is, how worldly, how merely human, without seriousness, without authority, without discipline, as suits their creed. To begin with, it is doubtful who is a catechumen, and who a believer; they have all access alike, they hear alike, they pray alike--even heathens, if any such happen to come among them. 'That which is holy they will cast to the dogs, and their pearls,' although (to be sure) they are not real ones, 'they will fling to the swine.' Simplicity they will have to consist in the overthrow of discipline, attention to which on our part they call brothelry. Peace also they huddle up anyhow with all comers; for it matters not to them, however different be their treatment of subjects, provided only they can conspire together to storm the citadel of the one only Truth. All are puffed up, all offer you knowledge. Their catechumens are perfect before they are full-taught. The very women of these heretics, how wanton they are! For they are bold enough to teach, to dispute, to enact exorcisms, to undertake cures--it may be even to baptize. Their ordinations, are carelessly. administered, capricious, changeable. At one time they put novices in office; at another time, men who are bound to some secular employment; at another, persons who have apostatized from us, to bind them by vainglory, since they cannot by the truth. Nowhere is promotion easier than in the camp of rebels, where the mere fact of being there is a foremost service. And so it comes to pass that to-day one man is their bishop, to-morrow another; to-day he is a deacon who to-morrow is a reader; to-day he is a presbyter who tomorrow is a layman. For even on laymen do they impose the functions of priesthood." Tertullian,On Prescription Against Heretics,41(c.A.D. 200),in ANF,III:263
  6. "Pejabat yang angkuh harus digolongkan dengan setan. Anugerah Kristus tidak dinodai karena itu;yang mengalir melalui dia, pertahankan kemurniannya;yang disalurkan melalui dia, tinggal bersih dan sampai ke tanah yang subur. ... kekuatan rohani Sakramen adalah serupa dengan terang; siapa yang harus disinari, menerimanya dengan kejernihannya, dan apabila ia harus melewati yang kotor, ia sendiri tidak menjadi kotor" (Agustinus ev. jo 5,15)
  7. "Since therefore I have, in the persons before mentioned, beheld the whole multitude of you in faith and love, I exhort you to study to do all things with a divine harmony, while your bishop presides in the place of God, and your presbyters in the place of the assembly of the apostles, along with your deacons, who are most dear to me, and are entrusted with the ministry of Jesus Christ, who was with the Father before the beginning of time, and in the end was revealed. Do ye all then, imitating the same divine conduct, pay respect to one another, and let no one look upon his neighbour after the flesh, but do ye continually love each other in Jesus Christ. Let nothing exist among you that may divide you ; but be ye united with your bishop, and those that preside over you, as a type and evidence of your immortality." Ignatius of Antioch,Epistle to the Magnesians,6(A.D. 110),in ANF,I:61
  8. Since, according to my opinion, the grades here in the Church, of bishops, presbyters, deacons, are imitations of the angelic glory, and of that economy which, the Scriptures say, awaits those who, following the footsteps of the apostles, have lived in perfection of righteousness according to the Gospel. For these taken up in the clouds, the apostle writes, will first minister [as deacons], then be classed in the presbyterate, by promotion in glory (for glory differs from glory) till they grow into 'a perfect man.' " Clement of Alexandria,Stromata,13(A.D. 202),in ANF,II:505
  9. "Semua orang harus menghormati diaken seperti Yesus Kristus, demikian pula Uskup sebagai citra Bapa, tetapi Presbiter sebagai dewan Allah dan sebagai persekutuan para rasul. Tanpa mereka tidak ada Gereja" (Ignasius dari Antiokia, Trall. 3,1)
  10. "Tuhan telah mengatakan dengan jelas bahwa usaha untuk kawanan-Nya adalah suatu bukti cinta terhadap-Nya" (Yohanes Krisostomos, sac 2,2)
  11. "Through countryside and city [the apostles] preached, and they appointed their earliest converts, testing them by the Spirit, to be the bishops and deacons of future believers. Nor was this a novelty, for bishops and deacons had been written about a long time earlier. . . . Our apostles knew through our Lord Jesus Christ that there would be strife for the office of bishop. For this reason, therefore, having received perfect foreknowledge, they appointed those who have already been mentioned and afterwards added the further provision that, if they should die, other approved men should succeed to their ministry." (Paus Klemens I, Letter to the Corinthians 42:4-5, 44:1-3 [A.D. 80]).
  12. "Beware lest ever like Simon thou come to the dispensers of Baptism in hypocrisy, thy heart the while not seeking the truth. It is ours to protest, but it is thine to secure thyself. If thou standest in faith, blessed art thou; if thou hast fallen in unbelief, from this day forward cast away thine unbelief, and receive full assurance. For, at the season of baptism, when thou art come before the Bishops, or Presbyters, or Deacons,--(forits grace is everywhere, in villages and in cities, on them of low as on them of high degree, on bondsmen and on freemen, for this grace is not of men, but the gift is from God through men,)--approach the Minister of Baptism, but approaching, think not of the face of him thou seest, but remember this Holy Ghost of whom we are now speaking. For He is present in readiness to seal thy soul, and He shall give thee that Seal at which evil spirits tremble, a heavenly and sacred seal, as also it is written, In whom also ye believed, and were sealed with the Holy Spirit of promise." Cyril of Jerusalem,Catechetical Lectures,XVII:35(A.D. 350),in NPNF2,VII:132
  13. "Despise not, therefore, the Divine laver, nor think lightly of it, as a common thing, on account of the use of water. For the power that operates is mighty, and wonderful are the things that are wrought thereby. For this holy altar, too, by which I stand, is stone, ordinary in its nature, nowise different from the other slabs of stone that build our houses and adorn our pavements; but seeing that it was consecrated to the service of God, and received the benediction, it is a holy table, an altar undefiled, no longer touched by the hands of all, but of the priests alone, and that with reverence. The bread again is at first common bread, but when the sacramental action consecrates it, it is called, and becomes, the Body of Christ. So with the sacramental oil; so with the wine: though before the benediction they are of little value, each of them, after the sanctification bestowed by the Spirit, has its several operation. The same power of the word, again, also makes the priest venerable and honourable, separated, by the new blessing bestowed upon him, from his community with the mass of men. While but yesterday he was one of the mass, one of the people, he is suddenly rendered a guide, a president, a teacher of righteousness, an instructor in hidden mysteries; and this he does without being at all changed in body or in form; but, while continuing to be in all appearance the man he was before, being, by some unseen power and grace, transformed in respect of his unseen soul to the higher condition. And so there are many things, which if you consider you will see that their appearance is contemptible, but the things they accomplish are mighty: and this is especially the case when you collect from the ancient history instances cognate and similar to the subject of our inquiry." Gregory of Nyssa,On the Baptism of Christ(ante A.D. 394),in NPNF2,V:519
  14. "As often as GOD's mercy deigns to bring round the day of His gifts to us, there is, dearly-beloved, just and reasonable cause for rejoicing, if only our appointment to the office be referred to the praise of Him who gave it. For though this recognition of GOD may well be found in all His priests, yet I take it to be peculiarly binding on me, who, regarding my own utter insignificance and the greatness of the office undertaken, ought myself also to utter that exclamation of the Prophet,'LORD, I heard Thy speech and was afraid: I considered Thy works and was dismayed.' For what is so unwonted and so dismaying as labour to the frail, exaltation to the humble, dignity to the undeserving? And yet we do not despair nor lose heart, because we put our trust not in ourselves but in Him who works in us. And hence also we have sung with harmonious voice the psalm of David, dearly beloved, not in our own praise, but to the glory of Christ the LORD. For it is He of whom it is prophetically written, 'Thou art a priest for ever after the order of Melchizedeck,' that is, not after the order of Aaron, whose priesthood descending along his own line of offspring was a temporal ministry, and ceased with the law of the Old Testament, but after the order of Melchizedeck, in whom was prefigured the eternal High Priest. And no reference is made to his parentage because in him it is understood that He was portrayed, whose generation cannot be declared. And finally, now that the mystery of this Divine priesthood has descended to human agency, it runs not by the line of birth, nor is that which flesh and blood created, chosen, but without regard to the privilege of paternity and succession by inheritance, those men are received by the Church as its rulers whom the Holy Ghost prepares: so that in the people of GOD's adoption, the whole body of which is priestly and royal, it is not the prerogative of earthly origin which obtains the unction, but the condescension of Divine grace which creates the bishop." Pope Leo the Great[regn. A.D. 440-461],Sermons,3:1(ante A.D. 461),in NPNF2,XII:116
  15. "When a priest is ordained, while the bishop is blesing [him] and holding his hands over his head, let all the priests also, who are present, hold their hands close to the hands of the bishop above his head." Council of Chalcedon,Canon 3(A.D. 451),in DEN,62-63

Sakramen Imamat dipertahankan oleh Gereja yang benar-benar memiliki sifat apostolik dan dengan demikian benar-benar memiliki Suksesi Apostolik yang sah. Sakramen Imamat juga menimbulkan 'cap' yang tidak dapat dihapuskan sama seperti Yesus yang adalah imam untuk selamanya, demikian pula mereka yang ambil bagian dalam imamat khusus Yesus (dengan ditahbiskan) juga memiliki karunia Imamat itu selamanya (lih KGK 1581 & 1582)


SELIBAT


Selibat merupakan suatu aturan tersendiri dalam Ritus Latin. sedangkan dalam Ritus Timur para Imamnya diperbolehkan untuk menikah (sebelum ditahbiskan) tetapi sesudah ditahbiskan mereka tidak boleh menikah, sedangkan para Uskup dipilih dari mereka yang selibat (lihat KGK 1580).

Selibat dalam Ritus Latin sebenarnya memiliki landasan Kitab Suci yang kuat antara lain Matius 19:21 dimana disana jelas dinyatakan bahwa ada orang yang memang selibat karena kerajaan Allah. dan dalam 1 Kor 7:7-38 Paulus membicarakan masalah selibat meskipun ia berbicara pula masalah perkawinan, Paulus menganjurkan agar orang selibat jika memang itu karunianya. dan dalam ayat 32-33 dan 35 Paulus mengatakan bahwa dengan selibat maka orang dapat melayani Tuhan tanpa gangguan. Pada 1 Kor 7:20 dikatakan "baiklah tiap-tiap orang tinggal dalam keadaan, seperti waktu ia dipanggil Allah.", kita tahu bahwa menjadi Imam adalah panggilan Allah sendiri dari sejak awal mula hidup kita didunia ini (lih Yer 1:5)  meskipun kita sendiri dikarunai kehendak bebas. 

Nah  St. Paulus mengatakan bahwa "baiklah tiap-tiap orang tinggal dalam keadaan, seperti waktu ia dipanggil Allah." nah berarti seseorang terpanggil mejadi Imam lebih baik selibat karena menuruti ajuran Paulus ini dan mengingat beberapa hal yang diatas tersebut.

Penulis : Thomas Rudy
Terima Kasih untuk Romo Pidyarto, O.Carm yang membantu mengkoreksi artikel ini

Tahukah Anda Ada Istilah : "Imamat Imam" dan "Imamat Awam", Apakah Maknanya ?


Seorang romo mengatakan, kaum awam ikut mempersembahkan korban dalam Misa. Benarkah itu? Lalu apa beda dengan para romo? Korban apa yang harus dipersembahkan kaum awam?
Elisabet Emmy Ernawati, Surabaya

Pertama, benar tiap murid Yesus yang mengikuti perayaan Ekaristri harus ikut serta mempersembahkan korban rohani, karena tiap orang yang dibaptis adalah imam. Imamat kaum awam tak sama dengan imamat para imam tertahbis. Keduanya mengambil bagian dalam imamat rajawi Yesus Kristus yang satu dan sama, tetapi dengan cara berbeda (LG 10), yaitu kaum awam sebagai bagian dari tubuh (anggota), sedangkan kaum tertahbis sebagai Kepala dan Gembala (pemimpin). Perbedaan ini yang menyebabkan perbedaan fungsi dalam Gereja.

Melalui Sakramen Baptis, umat disaturagakan dengan Yesus Kristus, maka dia diikutsertakan juga dalam hidup dan misi Yesus Kristus, yaitu melalui imamat umum (Ing: common priesthood; bdk 1 Ptr 2:5.9; LG 10; SC 14; AA 3; KGK 1268). Dengan imamat umum, kaum awam juga dipanggil menjalankan fungsi imami, yaitu membawa persembahan umat kepada Allah dan menguduskan hidup dunia ini. Maka, imamat umum bisa disebut sebagai imamat kehidupan.

Di lain pihak, melalui Sakramen Tahbisan, seseorang disaturagakan dengan Yesus Kristus sebagai Kepala dan Gembala Gereja dan menerima imamat pelayanan (Ing: ministerial priesthood) dan ”kuasa suci” (Latin: potestas sacra). Orang yang ditahbiskan menjalankan fungsi imamat sebagai Kepala, Gembala, dan Mempelai. Imam tertahbis adalah pemimpin umat sekaligus mempelai Gereja. Kuasa suci memampukan imam tertahbis merayakan Ekaristi.

Kedua, Konsili Vatikan II mengajarkan, imamat pelayanan (kaum tertahbis) dan imamat umum (kaum awam) berbeda bukan hanya dalam hal derajat, tetapi juga dalam hakikat. Kedua imamat itu tidak berlawanan, keduanya justru saling mengandaikan dan ”saling terarah” satu sama lain. Keduanya mewujudkan imamat Yesus Kristus yang satu dan sama, tapi dengan cara yang berbeda (LG 10).

Sebagai Kepala dan Gembala, imam tertahbis memiliki tugas pastoral memberdayakan imamat umum kaum awam. Pemberdayaan ini termasuk memberitahu tentang imamat umum itu sendiri, karena seringkali umat tidak tahu sama sekali tentang imamat umum yang mereka miliki. Umat juga diarahkan untuk mempersembahkan aneka dimensi kehidupan sebagai kurban rohani. Pengajaran dan peneguhan dari para imam tertahbis sangat dibutuhkan umat.

Tugas kaum awam sebagai imam (LG 34; KGK 901) ialah mempersembahkan kurban rohani yang berasal dari hidup sehari-hari umat. Misal mulai dengan pekerjaan sehari-hari sebagai karyawan, ibu rumah tangga, juga usaha kerasulan dan hidup rohani mereka pada umumnya. 


Keseluruhan hidup umat bisa dipersembahkan kepada Tuhan, termasuk “hidup mereka selaku suami istri dan dalam keluarga,” bahkan segala ”beban hidup bila ditanggung dengan sabar.” Syarat yang terpenting ialah semua kegiatan hidup sehari-hari itu “dijalankan dalam Roh”, dihidupi menurut Roh (Rom 8:1-17). 
Tanpa butir ini, maka semua aspek kehidupan itu tidak akan menjadi kurban rohani. Inilah kurban rohani yang dipersembahkan umat ketika menghadiri perayaan Ekaristi. Proses “membawa kurban rohani” ini tidak tampak, karena itu umat selalu perlu diingatkan supaya persembahan itu dilakukan dalam batin secara sadar. 

Simbol dari persembahan ini ialah roti dan anggur yang dibawa ke altar dan melalui tangan imam, diubah menjadi tubuh dan darah Yesus Kristus dalam peristiwa konsekrasi, dan lalu diterima kembali umat dalam komuni. Inilah berkat, kekuatan rohani, Allah yang merajai diri kita. Demikianlah, para awampun sebagai penyembah Allah, menjalankan fungsi sebagai imam yaitu menguduskan dunia kepada Allah (LG 34)..

Penulis : RP Petrus Maria Handoko CM
Sumber : www.hidupkatolik.com, Senin, 6 Oktober 2014 11:19 WIB.

Senin, 17 November 2014

Apakah Yesus Punya Saudara ?


Apakah rujukan tentang saudara-saudara Yesus (Mat 12:46) bukan tanda bahwa Maria tidak perawan sampai akhir hidupnya? Apakah mereka adalah saudara kandung Yesus? Dengan disebut anak sulung, bukankah berarti bahwa Yesus mempunyai adik?
Elisabet Pasaribu, Pematangsiantar

  • Pertama, dalam menafsirkan Kitab Suci, kita perlu mempertimbangkan bahasa aslinya. Teks tertua dari Injil-injil yang kita miliki tertulis dalam bahasa Yunani. Maka untuk mengerti arti teks dengan baik, kita harus kembali ke bahasa aslinya dan melihat apa artinya kata “saudara.” Baik dalam bahasa Yahudi maupun Yunani, kata “saudara bisa berarti saudara kandung dan juga saudara sepupu. Pengertian ini sangat mirip dengan kata “saudara” dalam bahasa Indonesia, yang tidak selalu berarti saudara kandung, tapi bisa juga diartikan saudara sepupu.
  • Kedua, menurut Tradisi, Yesus adalah anak tunggal. Artinya, Yesus tidak mempunyai adik, baik laki-laki maupun perempuan. Anak Maria satu-satunya adalah Yesus. Memang ada teks-teks yang menyebutkan “saudara-saudara” Yesus (Mat 3:31; 6:3; 12:46; Yoh 2:12, dll.). Namun, tidak pernah mereka ini disebut sebagai “anak Maria” atau “anak Yusuf”. Sebutan itu hanya diarahkan kepada Yesus, misalnya Mat 13:55: “anak tukang kayu” hanya diarahkan kepada Yesus.
  • Ketiga, dalam Mrk 6:3, Yesus disebut sebagai “anak Maria” dengan kata sandang. Dalam bahasa Indonesia hal ini tidak nampak, tetapi dalam bahasa asing, misalnya Inggris, hal ini nampak berbeda, yaitu bukannya “a son of Mary” tetapi “the son of Mary.” Penggunaan kata sandang ini menunjukkan bahwa Yesus adalah anak laki-laki satu-satunya dari Maria.
  • Keempat, juga dikatakan bahwa suatu ketika saudara-saudara Yesus bertindak dengan kewibawaan terhadap Yesus, yaitu hendak mengambil Yesus dari pelayanan di hadapan umum karena dinilai tidak waras lagi (Mrk 3:21) dan menyuruh Yesus memamerkan kuasanya di hadapan umum (Yoh 7:3-4). Karena rasa hormat dari yang muda kepada yang lebih tua dalam budaya Israel, tindakan seperti ini tidak mungkin dilakukan oleh adik-adik terhadap kakaknya. Maka, pastilah saudara-saudara yang dimaksud di sini lebih tua dari Yesus. Padahal Yesus disebut sebagai anak sulung Maria. Dari sini bisa disimpulkan bahwa saudara-saudara yang dimaksud itu adalah saudara sepupu, bukan saudara kandung.
  • Kelima, bahwa Yesus tidak mempunyai saudara kandung juga ditunjukkan oleh peristiwa di bawah salib yaitu penyerahan Maria menjadi Ibu Yohanes (Yoh 19:25-27). Jika Maria mempunyai anak lain sesudah Yesus, tentu Yesus tidak akan menyerahkan Maria kepada Yohanes karena hal itu bertentangan dengan hukum Perjanjian Lama, yaitu tentang kewajiban anak untuk memerhatikan orang tua.
  • Keenam, sebutan “anak sulung” (Mat 1:25) adalah istilah yuridis yang diterapkan untuk anak laki-laki pertama. Menurut hukum Perjanjian Lama, “anak sulung” laki-laki harus ditebus 40 hari sesudah kelahirannya (Kel 34:20). Jadi, sebutan “anak sulung” sudah diberikan sebelum anak itu mempunyai adik. Sebutan “anak sulung” juga menunjukkan suatu keistimewaan atau kedudukan khusus. Misalnya, Daud disebut “anak sulung” (Mzm 89:27) sekalipun ia adalah anak Isai yang kedelapan (1Sam 16). Yesus juga disebut “yang sulung dari segala yang diciptakan” (Kol 1:15), artinya Yesus melebihi semua ciptaan yang lain. Jadi, penggunaan sebutan “anak sulung” pada Yesus tidak bisa diartikan bahwa Maria mempunyai anak lain.


Dari semua alasan itu, kita bisa mengatakan bahwa Maria tidak mempunyai anak lain selain Yesus. Memang sudah sejak zaman para Rasul, Maria dihormati sebagai selalu perawan oleh orang-orang zamannya yang mengenal Maria secara pribadi. Tradisi yang sudah ada sejak awal ini merupakan tambahan bukti kuat bahwa Maria itu selalu perawan sampai akhir hidupnya.

RP Petrus Maria Handoko CM
Sumber : www.hidupkatolik.com, 

Jumat, 14 November 2014

Sungguhkah Bunda Maria Tetap Perawan Sampai Akhir Hidupnya?


Sungguhkah Bunda Maria tetap perawan sampai akhir hidupnya? Bagaimana menjelaskan Mat 1:25 kepada orang-orang lain?
Elisabet Pasaribu, Pematangsiantar

Pertama, pembahasan tentang keperawanan Maria biasanya membedakan adanya tiga keperawanan (virginitas), yaitu keperawanan sebelum melahirkan (ante partum), pada saat melahirkan (in partu) dan sesudah melahirkan (post partum). Keperawanan Maria pada waktu mendapatkan kabar gembira (Luk 1:27. 34-35) tidak pernah diragukan. Maria adalah pemenuhan ramalan Yesaya (Yes 7:14) bahwa seorang perawan akan mengandung. Kepastian tentang keperawanan Maria sebelum melahirkan ini sangat penting karena menyatakan bahwa asal-usul Yesus itu bukan dari benih pria, tetapi dari kuasa ilahi (dari kuasa Roh Kudus).

Kedua, keperawanan Maria pada waktu melahirkan (Mat 1:25) juga tidak diragukan sama sekali karena rujukan biblis yang jelas. Tertullianus menguraikan hal ini secara gamblang. Pengertian keperawanan ini semula tidak mempermasalahkan faktor biologis karena dimengerti lebih sebagai pembaktian diri secara utuh (badan, jiwa dan roh) kepada karya keselamatan Putranya. Baru pada abad IV keperawanan Maria dianggap juga mencakup faktor biologis tersebut, dalam arti proses kelahiran Yesus tidak menyebabkan rasa sakit dan penderitaan. Bahkan kemudian dieksplisitkan bahwa kelahiran Yesus tidak merusak keperawanan (biologis) Maria (DS 368; bdk LG 57). Dalam pengertian modern saat ini, tidak sulit untuk bisa hamil sebagai perawan (melalui inseminasi in fitro) dan juga melahirkan sebagai perawan (melalui operasi cesarian). Kalau bagi manusia sesuatu itu mungkin, pasti Allah juga bisa melakukannya bahkan secara lebih agung.

Ketiga, yang seringkali dipermasalahkan ialah keperawanan Maria sesudah kelahiran Yesus, khususnya bagaimana menafsirkan kata “sampai” dari Mat 1:25, apakah sesudah itu Maria bersetubuh atau tetap tidak bersetubuh. Kemungkinannya ialah 50% - 50%. Tidak ada rujukan biblis eksplisit yang menunjukkan mana yang terjadi. Jawaban yang tersirat bisa dilihat pada sikap religius Yusuf. Sikap Yusuf ini nampak jelas jika kita menerjemahkan ulang secara absah Mat 1:20 (aslinya dalam bahasa Yunani) menjadi “Yusuf anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai istrimu, hanya karena anak yang dikandungnya adalah dari Roh Kudus.” Terjemahan ini mengandaikan bahwa Yusuf sudah mengetahui bahwa anak dalam kandungan Maria itu berasal dari Roh Kudus. Sebagai orang yang benar dan tulus hati, Yusuf justru menghormati karya Roh Kudus ini dan karena itu Yusuf mau mengundurkan diri. Di sinilah nampak sikap hormat yang luar biasa dari Yusuf kepada Allah.

Keempat, sikap hormat ini nampak juga kalau kita membandingkan Mat 2:19-23 dengan Kel 4:20. Jelas bahwa Matius melihat Yesus sebagai Israel baru dan membandingkan kedua peristiwa itu. Jika dalam Kel 4:20 ditemukan ungkapan “istri dan anak-anaknya lelaki”, Matius mengubah ungkapan itu menjadi “Anak itu serta ibu- Nya”. Perubahan ini sangat penting karena Matius menunjukkan bahwa Anak itulah yang menjadi rujukan utama dan penentu hubungan antara Yusuf dan Maria. Matius hendak menunjukkan bahwa wanita itu pertama-tama adalah ibu dari Anak itu, baru kemudian dia adalah istri Yusuf. Rujukan utama kepada Yesus ini menegaskan sikap hormat yang luar biasa dari Yusuf kepada Allah. Di lain pihak, keterbukaan Maria kepada kehendak Allah (Luk 1:38) dan sikapnya yang selalu mencari kehendakNya (Luk 2:19.51) kiranya cukup untuk mengatakan betapa mendalamnya Maria menyatukan diriNya dengan Allah.

Kelima, mempertimbangkan sikap religius Yusuf dan Maria, kiranya paling pantas kalau mereka bersama-sama membaktikan diri secara penuh (badan, jiwa dan roh) kepada Yesus sebagai tanda kehadiran Allah dan tidak lagi membutuhkan hubungan seksual di antara mereka. Dengan demikian, sikap mereka berdua sangat cocok untuk mendukung ajaran keperawanan abadi Maria..

Penulis : RP Petrus Maria Handoko CM
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Senin, 10 November 2014 11:22 WIB.

Senin, 10 November 2014

Saatnya Kita Merenung Arti Kepahlawanan.

NOAH - HERO (Official Video)

Hari ini tanggal 10 Nopember 2014 kita memperingati "Hari Pahlawan", gema kepahlawanan bergaung di seluruh pelosok Indonesia. Kita mengenang jasa mereka yang telah gugur demi kemerdekaan kita dari derita penjajahan. 

Adalah sebuah keprihatinan bagi kita para generasi tua, untuk para generasi muda yang merasa "mereka "belum merdeka". Ya mereka memang belum pernah merasakan bagaimana sengsaranya orang yang "terjajah". Mereka merasa belum merdeka karena adanya pemahaman: Merdeka adalah kebebasan melakukan tindakan yang mereka sukai tanpa larangan, baik dari undang-undang, peraturan adat, kebiasaan disiplin dikeluarga, dan lain-lain. Kemerdekaan adalah kebebasan melakukan aktivitas kehidupan dengan tetap memperhatikan hak dan kewajiban sebagai warga negara, warga masyarakat dalam kerangka dan batasan bertanggungjawab.

Kita sering melihat anaik-anak muda merasa terjajah oleh perasaan "galau" oleh sebab-sebab yang sepele. Dan bagi mereka rasa galau bisa serasa kiamat bagi kehidupan mereka. 

Saatnya kita bangkit, kita berdiri dan memandang masa depan kita ":
  1. Bagi pahlawan kita berdoa semoga arwah mereka diterima disisi Tuhan dan diberikan penghargaan yang layak sesuai amal dan jasanya, 
  2. Bagi pahlawan yang masih hidup kita berikan penghargaan dengan penghormatan atas pengabdiannya terhadap pendirian dan perintisan pembangunan Indonesia.
  3. Bagi anda dan saya jadilah pahlawan masa kini yang menebar kebaikan terhadap sesama melalui karya dan usaha kita dalam memajukan dan mengharumkan nama bangsa.


Terlepas dari semuanya itu hidupkan semangat kepahlawanan sesuai jaman masa kini, dimana kepahlawanan adalah berbuat kebaikan bagi mereka yang membutuhkan. dan perlu kita pahami oleh mereka yang kita bantu kita bisa juga disebut "PAHLAWAN".

Kamis, 06 November 2014

Maria Valtorta dan Puisi Manusia-Allah.

Maria Valtorta (1897-1961)

MARIA VALTORTA - "PENA" YESUS

Maria Valtorta adalah seorang perempuan awam Italia yang luar biasa, seorang mistikus yang kepadanya dianugerahkan serangkaian penglihatan akan kehidupan Tuhan kita, dimulai sebelum kelahiran-Nya, dan berakhir dengan Kenaikan Santa Perawan Maria ke surga.

Tuhan kita memerintahkannya untuk menuliskan penglihatan-penglihatan ini, dan ia dengan penuh kasih taat, meskipun pada waktu itu (dan hingga akhir hayatnya) ia sama sekali tak dapat meninggalkan tempat tidurnya karena cedera tulang belakang, dan menderita hebat akibat komplikasi dari setidaknya dua penyakit serius lainnya. Maria mulai menuliskan penglihatan-penglihatannya pada buku-buku catatan pada tahun 1943 dan terus menuliskannya (bahkan selama perang) hingga tahun 1953. Ketika selesai, penglihatan-penglihatan itu, yang meliputi seluruh kehidupan Tuhan kita, terdiri dari sekitar sepuluh ribu halaman tulisan tangan, yang kemudian disusun dan diterbitkan menjadi sebuah karya besar berjudul "The Poem of the Man-God " ("Puisi Manusia-Allah"), Centro Editoriale Valtortiano srl, 1989.

Bersama dengan karya luar biasa Puisi Manusia-Allah, Maria juga dianugerahi tambahan limaribu halaman tulisan tangan lainnya, yang meliputi penjelasan atas ayat-ayat Kitab Suci yang disampaikan kepadanya oleh malaikat pelindungnya (bernama Azarya), bersama dengan beberapa informasi luar biasa mengenai biografi dan sejarah para martir Kristen pertama (sebagian dari mereka kemartirannya ia lihat dalam penglihatan-penglihatan yang dianugerahkan kepadanya), dan beberapa pelajaran doktrin yang disampaikan kepadanya melalui "suara batin" yang juga dikenal sebagai ungkapan batin [= interior locution]. Sebagian dari karya-karya ini sekarang telah dipublikasikan dengan judul "Maria Valtorta - Buku Catatan" yang diterbitkan dalam beberapa serial buku, dan juga "Kitab Azarya" yang berisi bimbingan rohani dan informasi pencerahan yang disampaikan malaikat pelindungnya.

Maria memiliki kasih yang luar biasa kepada Allah dan kepada jiwa-jiwa. Orang sering datang mengunjunginya agar dikuatkan dan disemangati oleh perkataannya dan senyumnya yang lemah lembut. Sebab dirinya sendiri telah mengalami begitu banyak penderitaan, ia mengerti rasa sakit dan penderitaan mereka, dan dapat membimbing dan mendorong mereka untuk menerima salib hidup sehari-hari. "Kerasulan Rohani" bagi jiwa-jiwa hanyalah sebagian dari hidupnya sebagai jiwa yang berkurban, yang terdiri terutama atas penyerahan penderitaannya yang banyak itu dalam persatuan dengan Yesus sebagai silih bagi para pendosa. Dalam penglihatannya, Yesus sering menyebutnya "Yohanes kecil", mengacu pada Rasul Yohanes yang dikasihi-Nya, ia yang sangat mengasihi Yesus. Hidup Maria Valtorta dapat dibagi menjadi dua tahap: Pertama, dari kelahirannya hingga ke kelumpuhan kedua kakinya pada usia 37 tahun; yang kedua dari masa kelumpuhannya, yang membuatnya sama sekali terbaring di tempat tidur hingga wafatnya pada tahun 1961, 27 tahun kemudian.


PUISI MANUSIA-ALLAH

File: Puisi dari Man Allah cover.jpg
Cover Buku "The Poem of the Man-God" dengan judul asli "Il Poema dell'Uomo-Dio".

Sekitar sepuluh tahun yang lalu, dalam kurun waktu sekitar 6 bulan, saya membaca seluruhnya dari kelima jilid buku "Puisi Manusia-Allah". Sejak itu, saya telah membaca kembali bagian-bagian tertentu beberapa kali. Saya bahkan tak dapat mulai menjelaskan dampak rohani dari karya ini atas diri saya. Betapa suatu rahmat luar biasa bisa membacanya! Orang secara harafiah "dibawa" ke zaman Yesus, berjalan bersama-Nya dan para rasul melintasi jalanan-jalanan dan kota-kota Israel. Bukan hanya orang dapat mengenal Yesus dengan cara yang paling akrab, tetapi juga orang dapat mengenal dan melihat kepribadian dari masing-masing rasul, pula beberapa murid lainnya. Dan lalu, ada Bunda Maria dan St Yosef! Betapa rahmat yang luar biasa dapat mengenal mereka! Dan lalu juga ada Maria Magdalena, Lazarus, Marta dan para murid perempuan lainnya, para gembala ... orang dapat menyebutkannya terus dan terus! Akan tetapi, cukuplah dikatakan, Puisi Manusia-Allah adalah suatu karya yang paling luar biasa. Tentu saja, karya ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan Kitab Suci, tetapi sungguh dapat melengkapinya dengan cara yang paling mengagumkan.

Berikut adalah kutipan dari "Puisi Manusia-Allah" guna memberikan suatu gambaran akan harta rohani dari karya ini:

  • Penyembuhan Seorang Anak Lumpuh

[Yesus baru saja selesai berbicara kepada orang banyak] "... Orang banyak yang berkumpul meneriakkan seruan sukacita dan pujian bagi Mesias. Lalu mereka menjadi tenang dan membuka jalan untuk membiarkan lewat seorang ibu, yang membopong seorang anak yang lumpuh, seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun. Di kaki tangga, ia mengulurkan anak itu, seolah ia mempersembahkannya kepada Yesus.

"Ia adalah salah seorang pelayanku. Anaknya tahun lalu jatuh dari teras dan punggungnya patah. Ia akan terbaring pada punggungnya sepanjang hidupnya," jelas tuan rumah.

"Ia berharap pada-Mu sepanjang bulan-bulan ini ...." tambah nyonya rumah.

"Suruhlah ia datang kepada-Ku."

Tetapi perempuan malang itu begitu gembira, hingga nyaris lumpuh. Seluruh tubuhnya gemetaran; dalam gaun panjangnya ia berjalan mendaki anak-anak tangga yang tinggi dengan anaknya dalam bopongannya.

Maria, penuh kasih, berdiri dan turun ke bawah menyongsongnya. "Mari. Jangan takut. PutraKu mengasihimu. Berikan anakMu kepadaku. Akan lebih mudah bagimu untuk mendaki. Mari, puteriKu. Aku juga seorang Ibu," dan Ia mengambil anak itu, tersenyum ramah kepada si anak, dan lalu naik dengan beban malang dalam bopongannya. Ibu anak itu mengikutiNya sambil menangis.

Maria sekarang ada di hadapan Yesus. Ia berlutut dan berkata: "Nak! Demi Bunda ini!" Tak ada yang lain.
Yesus bahkan tidak mengajukan pertanyaan lazim: "Apakah yang engkau ingin Aku perbuat bagimu? Percayakah kau bahwa Aku dapat melakukannya?" Tidak. Hari ini Ia tersenyum dan mengatakan: "Perempuan, datanglah kemari."

Perempuan itu pergi ke samping Maria. Yesus menumpangkan tangan-Nya ke atas kepala perempuan itu dan hanya mengatakan: "Bergembiralah," dan Ia belum selesai mengucapkan kata-kata-Nya, ketika anak itu, yang sejauh ini terbaring berat dalam bopongan Maria, dengan kaki-kakinya yang menggantung, sekonyong-konyong duduk dan dengan teriakan sukacita: "Mama!", ia berlari untuk berlindung dalam pangkuan ibunya.

Teriakan Hosana tampak menembusi langit yang sekarang seluruhnya merah saat matahari terbenam.

Perempuan itu, mendekapkan puteranya ke dadanya, tak tahu harus berkata apa dan ia bertanya: "Apakah yang harus aku perbuat guna mengatakan kepada-Mu bahwa aku sangat bersyukur?" Dan Yesus, membelainya sekali lagi: "Kau harus baik dan mengasihi Allah dan mengasihi sesama dan membesarkan puteramu dalam kasih ini." Akan tetapi perempuan itu belum puas. Ia ingin ... ia ingin ... dan akhirnya ia memohon: "Kecupan dari-Mu dan dari BundaMu untuk anakku."

Yesus membungkuk dan menciumnya dan Maria melakukan hal yang sama. Dan sementara perempuan itu pergi dengan gembira, dikelilingi oleh teman-teman yang bersorak-sorai, Yesus menjelaskan kepada tuan rumah: "Tak ada lagi yang dibutuhkan. Dia ada dalam pelukan BundaKu. Bahkan tanpa sepatah kata pun Aku akan menyembuhkannya, sebab Ia bahagia apabila Ia dapat melegakan penderitaan dan Aku ingin membuat-Nya bahagia."

Dan Yesus dan Maria saling bertukar pandang yang hanya dia yang telah melihatnya bisa mengerti, tatapan mata yang begitu penuh makna mendalam.


  • Penyembuhan Seorang Buta di Kapernaum

Laki-laki malang itu maju ke depan di antara Yakobus dan Yohanes. Ia memegang sebuah tongkat bantu jalan di tangannya, tetapi tidak menggunakannya saat itu. Ia berjalan lebih baik, ditopang oleh dua orang laki-laki. "Di sini, sobat, Guru ada di depanmu."

Orang buta itu berlutut: "Tuhan-ku! Kasihanilah aku!"

"Apakah kau ingin melihat? Berdirilah. Sudah berapa lama engkau buta?"

Keempat rasul berkumpul sekeliling dua yang lainnya.

"Tujuh tahun, Tuhan. Sebelumnya, ketika aku bisa melihat dengan baik, aku bekerja. Dulu aku seorang pandai besi di Kaisarea di Laut. Usahaku maju. Pelabuhan, perdagangan yang baik, mereka selalu membutuhkanku untuk satu dan lain pekerjaan. Tetapi ketika sedang menempa sepotong besi untuk membuat sebuah jangkar, dan Engkau bisa bayangkan betapa panas membaranya itu agar dapat lentur, suatu serpihan memercik, dan membakar mataku. Mataku sudah sakit karena panas tempaan. Aku kehilangan mata yang terluka, dan juga yang satunya menjadi buta sesudah tiga bulan. Aku sudah menghabiskan seluruh tabunganku, dan sekarang aku hidup dari belas kasihan ...."

"Apakah kau sendirian?"

"Aku menikah dan mempunyai tiga orang anak kecil ... Aku bahkan belum pernah melihat wajah salah seorang pun dari mereka ... dan ada padaku seorang ibu yang sudah lanjut usia. Meski demikian ibu dan isteriku bekerja untuk mendapatkan sedikit roti, dan dengan apa yang mereka peroleh dan sedekah yang dibawa pulang, kami bisa bertahan tidak kelaparan. Andaikan aku sembuh! ... Aku akan kembali bekerja. Yang aku mohon hanyalah aku dapat bekerja seperti seorang Israel yang baik dan dengan demikian memberi makan mereka yang aku cintai."

"Dan kau datang kepada-Ku? Siapa yang menyuruhmu?"

"Seorang penderita kusta yang Engkau sembuhkan di kaki Gunung Tabor, ketika Engkau datang kembali ke danau setelah khotbah-Mu yang indah."

"Apa yang ia katakan kepadamu?"

"Bahwa Engkau dapat melakukan segalanya. Bahwa Engkau adalah kesehatan tubuh dan jiwa. Bahwa Engkau adalah terang bagi jiwa dan badan, sebab Engkau adalah Terang Allah. Dia, meski seorang kusta, berani berbaur dengan khalayak ramai, dengan resiko dirajam batu, sepenuhnya terbalut dalam mantolnya, sebab dia telah melihat-Mu lewat dalam perjalanan ke gunung, dan wajah-Mu telah membangkitkan harapan dalam hatinya. Dia mengatakan kepadaku: "Aku melihat sesuatu di wajah itu yang berbisik kepadaku: 'Ada kesehatan di sana. Pergilah!' Dan aku pun pergi." Kemudian ia mengulangi khotbah-Mu kepadaku dan dia katakan kepadaku bahwa Engkau menyembuhkannya, menjamahnya dengan tangan-Mu, tanpa rasa jijik sama sekali. Dia tengah datang kembali dari imam sesudah pentahirannya. Aku mengenalnya. Aku melakukan beberapa pekerjaan untuknya semasa dia memiliki sebuah toko di Kaisarea. Aku datang, menanyakan Engkau di setiap kota dan desa. Sekarang aku telah menemukan-Mu! ... Kasihanilah aku!"

"Marilah. Terang masih terlalu benderang bagi orang untuk keluar dari kegelapan."

"Jadi, apakah Engkau akan menyembuhkanku?"

Yesus membawanya ke rumah Petrus, dalam cahaya redup dari kebun sayur-mayur dan buah-buahan, Ia menempatkannya di depan-Nya Sendiri, dalam posisi begitu rupa sehingga matanya yang sembuh tidak melihat, sebagai penglihatannya yang pertama, danau yang masih berkilauan dalam cahaya. Laki-laki itu tampak seperti seorang kanak-kanak yang sangat taat; ia patuh tanpa mengajukan pertanyaan.

"Bapa! Terang-Mu bagi putera-Mu ini!" Yesus telah mengulurkan kedua tangan-Nya di atas kepala laki-laki yang berlutut itu. Ia tetap dalam sikap itu sementara waktu. Ia lalu membasahi ujung-ujung jari-jari-Nya dengan ludah dan dengan tangan kanan-Nya Ia menyentuh lembut kedua mata yang terbuka, namun mati.

Sesaat. Lalu orang itu mengejapkan matanya, menggosok kelopak matanya seolah ia baru bangun dari tidur, dan matanya kabur.

"Apakah yang kau lihat?"

"Oh! ... oh! ... oh! ... Allah yang kekal! Aku pikir ... aku pikir ... oh! bahwa aku bisa melihat ... Aku melihat mantol-Mu ... warnanya merah, bukan? Dan tangan yang putih ... dan ikat pinggang wol ... oh! Yesus yang baik ... Aku bisa melihat lebih dan lebih baik, semakin aku terbiasa melihat ... Ada rumput di tanah ... dan itu pasti sebuah sumur ... dan ada pohon anggur ..."

"Bangkitlah, sahabat-Ku."

Laki-laki yang menangis dan tertawa itu berdiri, dan setelah sejenak ragu-ragu antara hormat dan ingin, ia mengangkat wajahnya dan beradu mata dengan Yesus: Yesus tersenyum penuh cinta belas kasihan. Sungguh suatu yang indah, pulih dari penglihatanmu dan melihat wajah itu sebagai hal pertama yang dilihat! Laki-laki itu memekik girang dan merentangkan kedua tangannya. Ini suatu tindakan naluriah. Namun ia mengendalikan diri.

Akan tetapi Yesus merentangkan kedua tangan-Nya dan menarik laki-laki yang jauh lebih rendah dari-Nya itu ke dalam pelukan-Nya. "Pulanglah, sekarang, dan jadilah bahagia dan adil. Pergilah dalam damai-Ku."

"Guru, Guru! Tuhan! Yesus! Kudus! Terberkati! Terang ... Aku melihat ... Aku melihat semuanya! ... Ada danau yang biru, langit cerah, matahari terbenam, dan lalu bulan yang bertambah besar ... Tetapi adalah dalam mata-Mu aku melihat biru yang paling indah dan jernih, dan dalam Engkau aku melihat keindahan matahari yang paling sejati, dan cahaya murni bulan terberkati. Engkau adalah Bintang bagi mereka yang menderita, Terang bagi yang buta, Kerahiman yang hidup dan aktif!"

"Aku adalah Terang bagi jiwa-jiwa. Jadilah anak Terang."

"Ya, Yesus, selalu. Setiap kali aku menutup mataku yang terlahir kembali, aku akan memperbaharui ikrarku. Diberkatilah kiranya Engkau dan Yang Mahatinggi."

"Diberkatilah Bapa yang Mahatinggi! Pergilah!"

Dan laki-laki itu pergi, bahagia, percaya diri, sementara Yesus dan para rasul-Nya yang takjub masuk ke dalam dua buah perahu dan memulai perjalanan pelayaran mereka.

Dan penglihatan pun berakhir.


RIWAYAT HIDUP MARIA VALTORTA

Maria Valtorta dilahirkan pada tanggal 14 Maret 1897 di Caserta, Italia, di mana ayahnya, Joseph, yang adalah seorang staff perwira militer, ditempatkan sementara. Ibunya, Iside Fioravanzi, seorang perempuan berpendidikan dan terkadang seorang perempuan yang sangat kejam, berperilaku seolah anaknya tidak dilahirkan baginya; dia menyewa seorang inang untuk menyusui dan mengasuh Maria. Segera sesudah kelahiran Maria, mereka pindah ke Faenza, dan kemudian pada bulan September 1901, pindah lagi ke Milan. Di sana, Maria, pada usia empat tahun lebih sedikit, mulai masuk TK yang dikelola oleh para suster Ursulin. Di sana, ia menulis: "Aku bertemu dengan wajah Allah dan kasih-Nya," (Otobiografi, hal.22) dan "aku tak pernah melepaskan-Nya" (ibid., hal.24).

Pada usia tujuh tahun, bulan Oktober 1904, Maria masuk Institute of Marcelline Sisters untuk memulai pendidikan dasarnya. Pada tanggal 30 Mei 1905 ia menerima Sakramen Krisma dari Kardinal Ferrari. Sakramen Krisma adalah, sebagaimana dikatakannya, "Pentakosta-ku" (Ibid, hal.25). Beberapa tahun kemudian, keluarganya pindah ke Voghera di mana Maria menyambut Komuni Pertama, pada usia 10 tahun, pada tanggal 5 Oktober 1908. Pada hari itu, persatuannya dengan Yesus menjadi "sempurna" (ibid, hal.72).

Selanjutnya ia masuk College of the Sisters of St. Bartolomea Capitanio di Monza pada tanggal 1 Mei 1909 pada usia duabelas tahun. Ia tinggal di sana selama empat tahun (sekolah lima tahun), dan dianggap sebagai panutan. Pada masa ini, ia diterima dalam perkumpulan Puteri-puteri Maria. Pada tahun 1911, ia memperoleh diploma dalam bidang teknik. Dua tahun berikutnya ia mengambil studi tambahan dalam bidang sastra dan sejarah berbagai negara. Keluarga Valtorta pindah lagi pada tanggal 1 Maret 1913, kali ini ke Florence; usia Maria hampir 16 tahun. Gaya hidupnya tetap seperti di college. Dua kali, pada tahun 1914 dan 1919, ibunya, untuk alasan-alasan egois, tanpa ampun dan secara brutal memutuskan pertunangan Maria dengan dua pemuda yang baik.

Sejak awal November 1917 sampai musim panas 1920, Maria dengan murah hati memberikan waktunya di rumah-rumah sakit perang bersama para perawat Samaria. Di sana ia terjangkit flu Spanyol yang ganas. Setelah sembuh dari flu, pada bulan September 1920, sepupunya - Belfanti - mengundangnya ke Reggio di Calabria. Hampir dua tahun kemudian, pada tahun 1922, ia kembali ke Florence. Pada musim semi tahun 1923, Maria Valtorta melakukan persembahan diri awal kepada Allah.

Pada bulan Oktober 1924, keluarga Valtorta tinggal menetap di Viareggio, di mana Maria tinggal hingga akhir hidupnya. Di Viareggio, pada tanggal 28 Januari 1925, seturut teladan St Theresia dari Lisieux, Maria mempersembahkan diri sebagai korban Kasih yang Maharahim. Ia memperbaharui penyerahan diri ini setiap hari sepanjang hidupnya.

Pada bulan Desember 1929, ia menggabungkan diri dalam Aksi Katolik dan bekerja penuh semangat selama tiga tahun sebagai utusan budaya kaum muda Katolik, memberikan banyak presentasi dan konferensi. Pada tanggal 1 Juli 1930, Maria mempersembahkan dirinya sebagai "korban Keadilan Ilahi." Dan, Keadilan Ilahi ini tak menyayangkannya: penderitaan jasmani dan rohani mulai datang silih berganti, dan meningkat ke tahap di mana, pada tanggal 4 Januari 1933, ia tak lagi bisa meninggalkan rumah. Dari tanggal 1 April 1934 hingga wafatnya (yakni, 27 setengah tahun), ia dipaksa tinggal di tempat tidur.

Pada tahun 1943, ia mulai mendapatkan penglihatan-penglihatan luar biasa mengenai kehidupan Tuhan kita, di mana ia diminta untuk menuliskannya, yang kemudian menjadi serial buku yang luar biasa dan tak terlupakan berjudul "Puisi Manusia-Allah". Dalam penglihatan-penglihatan yang tak terhitung banyaknya itu, ia ditempatkan di tengah-tengah penglihatan, nyaris bagai penonton, dan dengan demikian ia melihat pemandangan-pemandangan dan mencium berbagai bebauan yang ada dalam penglihatan. Penggambarannya mengenai Israel abad pertama mencakup uraian-uraian yang begitu luar biasa dan rinci, yang dipelajari oleh para arkeolog dan para ahli dari berbagai Ilmu alam lainnya, yang secara mengejutkan meneguhkan banyak fakta yang hanya dikenal dalam lingkup sangat terbatas dalam kalangan ilmu akademik.

Seperti Yesus dipaku pada kayu salib, demikian pula, selama duapuluh tujuh setengah tahun akhir hidupnya, Maria Valtorta dipaku pada tempat tidurnya oleh berbagai macam penyakit. Ia mendapatkan dukungan rohani yang efektif dalam diri Pater Romualdo Migliorini, O.S.M. Pada tanggal 25 Maret 1944, Pater Migliorini menerimanya dalam ordo ketiga Hamba-hamba Maria. Pada waktu itu Maria sudah menjadi seorang Fransiskan sekulir.


Pada musim semi tahun 1949, Maria Valtorta, demi melengkapi penyerahan diri sebelumnya, secara murah hati menyerahkan kepada Allah semua yang "secara eksklusif adalah miliknya dan yang telah ia terima dari Allah: akal budi dan kepuasan melihat karyanya diakui" (Surat kepada Moeder Teresa Maria dari St Yosef, Karmelit Tak Berkasut, 18 April 1949). Allah menerima perkataan Maria. Ia melihat rencana publikasi tulisannya dirintangi. Kemudian dari tahun 1956 hingga wafatnya, kemampuan mentalnya merosot. Ia wafat di pagi hari tanggal 12 Oktober 1961, tepat pada saat Pater Innocenzo M. Rovetti, Penyelia dari Ordo Ketiga Hamba-hamba Maria, mengucapkan kata-kata penyerahan jiwanya: "Berangkatlah dari dunia ini, wahai jiwa Kristiani."

Taat, seperti yang selalu dilakukannya, ia meninggalkan dunia menuju surga. Orang-orang melihat bahwa tangan kanannya - dengan mana ia telah menulis begitu banyak teks mulia - berbeda dari tangan kirinya, tetap mempertahankan warna, kekenyalan dan keindahan dari seseorang yang hidup dan bukannya mati. Jadi pada akhirnya, tangan yang menjadi "Pena Yesus" dihormati oleh Allah dalam suatu kesaksian yang selaras dengan kurban Maria, yang dilakukan dengan kasih dan devosi yang luar biasa.

Beberapa kata mutiara Maria Valtorta dari Otobiografinya:
  • "Oh, aku sangat bahagia apabila aku menderita sangat, sangat banyak! Misiku adalah untuk menderita."
  • "Semua, semuanya memiliki alasannya sendiri dalam Penciptaan, dan semua memiliki misinya sendiri yang diberikan kepadanya oleh Sang Pencipta. Dan punyaku adalah: untuk menderita, menyilih dan mengasihi. Menderita bagi mereka yang tak dapat menderita, menyilih bagi mereka yang tak dapat menyilih, dan mengasihi bagi mereka yang tak dapat mengasihi. Aku tidak memikirkan diriku sendiri. Aku katakan kepada Tuhan yang baik - 'Aku mengandalkan-Mu' dan itu saja yang aku katakan kepada-Nya."
  • "Apabila kita mengasihi Allah, kehangatannya mengalir dari pusat keluar, dan dengan cara ini kita mengasihi sesama kita, bukan karena dia layak, melainkan karena dia adanya: karya Allah, yang ditebus oleh Kristus, kediaman Roh Kudus. Kita perlu mengasihinya, sebab dengan memiliki Allah dalam diri kita - karena barangsiapa memiliki cinta kasih memiliki Allah - kita memiliki belas-kasihan-Nya, yang menutupi tindakan-tindakan dasar [dosa] orang lain, dan menutupi tubuh, bahkan jika tubuh menjijikkan akibat penyakit moral, dengan jubah adikodrati."
  • "... Aku tak menjadi berkecil hati apabila aku jatuh sekali lagi ke dalam ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan baru. Ini meningkatkan kerendahan hatiku dan syukurku ketika aku melihat betapa maharahim Yesus bagi barangsiapa yang percaya kepada-Nya. Ia adalah "Juruselamat" dan aku menyerahkan kesalahan-kesalahanku kepada-Nya jika aku melakukannya agar Ia mengakhirinya, dan melanjutkan karya-Nya sebagai Juruselamat dalam diriku .... Semakin aku menyadari bahwa aku tidak sempurna, semakin aku pergi kepada-Nya, dengan berseru 'Yesus kasihanilah aku!' Jika jiwa-jiwa tahu dengan kasih yang bagaimana Yesus mengasihi mereka, maka tak satu jiwa pun akan sesat, sebab di tiap kesalahan mereka, mereka akan lari untuk berlindung pada Hati-Nya yang Maharahim. Kesalahannya adalah bahwa orang-orang malah tak percaya, melainkan takut kepada Allah dan hukuman-Nya."
  • "Tak ada kesalahan yang begitu besar hingga tak terampuni oleh Penebusan; hendaknya tak ada kenangan akan dosa-dosa atau kesalahan masa lampau yang menjadi halangan bagi kemajuan kita dalam kebaikan, dan hendaknyalah kita tak menghinakan Tuhan yang baik dengan berpikir bahwa Ia adalah Bapa yang begitu kecil, hingga lebih merupakan seorang Hakim daripada seorang Juruselamat."



Catatan: "The Poem of The Man-God" (judul dari edisi pertama bahasa Inggris) sekarang telah diganti menjadi "The Gospel as Revealed To Me" dalam edisi kedua sesuai judul aslinya dalam bahasa Italia "L'EVANGELO COME ME E STATO RIVELATO".

Penulis :  Glenn Dallaire adalah webmaster dari Miracles of the Church, Mystics of the Church, Miracles of the Saints, St Paul of the Cross, St Gemma Galgani.
Sumber : “Maria Valtorta and the Poem of the Man-God”; Mystics of the Church; www.mysticsofthechurch.com
Dikutip dari : http://www.indocell.net/