Rabu, 03 April 2013

RUU Santet Jawaban atau Sumber Kegelisahan Masyarakat ?




Pakar Hukum Pidana: Pasal Santet untuk Lindungi Masyarakat

Adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) santet sebagai jawaban terhadap kegelisahan masyarakat atas ketidakmampuan aparat keamanan untuk menindaklanjuti laporan-laporan tindak pidana yang berbasis santet, mistik.

"RUU ini dimaksudkan untuk melindungi setiap warga negara, yang didasarkan terhadap terjadinya tindakan anarkisme yang diduga sebagai pelaku santet. RUU ini sudah dimulai pengusulannya sejak 40 tahun silam," kata Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM RI Wahiduddin Adam dalam dialog santet dan RUU KUHP yang digelar oleh Fraksi Gerindra bersama Permadi dan ahli hukum pidana, Roni Nitibaskara, di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa, (2/4/2013).

Menurutnya, RUU ini ada landasan filosofisnya, yang dianut adalah kepentingan individu, korban dan masyarakat umum. Juga ada alur historisnya.

"Di mana kita prihatin dengan aparat hukum yang tidak mampu menindaklanjuti laporan masyarakat tersebut. Karena RUU santet ini sebagai sesuatu yang positif. Apalagi RUU ini sudah 40 tahun berjalan dan sekarang baru sampai di DPR RI,” katanya.

Penyusunan RUU santet tersebut diharapkan melibatkan berbagai pihak yang benar-benar mengerti soal santet itu sendiri. Sebab, tanpa melibatkan pelaku santet, hampir bisa dipastikan undang-undang yang dihasilkan nantinya tidak akan efektif, apalagi memuaskan kepentingan masyarakat luas. Sementara santet ini sudah ada sejak zaman jahiliah.

Pakar Hukum Pidana: Pasal Santet untuk Lindungi Masyarakat
Massa mengamuk dan membakar rumah Mukhtar Abas (58), di Desa Geudong-Geudong, Kota Juang, Bireuen, Sabtu (7/7) dini hari sekira pukul 01.00 WIB. Pembakaran itu dilakukan massa karena Mukhtar dituduh sebagai dukun santet.

Roni Nitibaskara berpendapat di masyarakat sangat banyak kasus penganiayaan maupun pengeroyokan yang didasarkan pada tuduhan melakukan santet. Bahkan tidak sedikit terjadi isu melakukan santet dijadikan alat untuk melakukan pembusukan karakter terhadap seseorang.

“Faktanya banyak orang yang dikeroyok lantaran dituduh santet. santet adalah tingkah laku yang tidak disukai oleh masyarakat,” kata Roni.

Prof.  Dr. Andi Hamzah, SH , Pakar Hukum Pidana, mengatakan pasal yang mengatur tentang santet dalam RUU KUHP ditujukan untuk melindungi masyarakat.

"Masyarakat jangan sampai ditipu. Ada orang mengaku-aku bisa santet orang," ujar Andi dalam sebuah diskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (23/3/2013).

Lebih jauh dikatakan Andi, RUU ini tidak mengatur tentang santet itu sendiri. Namun mengatur tentang deliknya. "Sebenarnya bukan santetnya tapi bukan tindak pidana santet. Ini delik formal bukan materil," lanjutnya.


Santet itu Kekuatan Gaib Sulit Dibuktikan di Ranah Hukum

Pertama Kali Dengar 'Amanah', Eyang S Kasih Televisi ke Tukang Ojek

Pakar hukum dari Universitas Sumatera Utara, Dr Pedastaren Tarigan, berpendapat, tidak rasional menjadikan santet sebagai delik sebab perbuatan itu merupakan fenomena kekuatan gaib dan akan sulit dibuktikan di ranah hukum pidana.

"Santet akan sulit dibuktikan dan begitu pula oleh aparat penegak hukum yang menangani perkaranya," kata Pedastaren di Medan, Kamis (21/3/2013), menanggapi rancangan kitab undang-undang hukum pidana (KHUP) yang diajukan pemerintah dan di dalamnya tercantum delik santet dengan istilah "kekuatan gaib".

Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah yang telah memasukkan delik santet ke rancangan KUHP hendaknya mengkaji kembali dan mempertimbangkan secara arif dan bijaksana.

"Kita tidak ingin dengan diberlakukannya delik santet melalui KUHP, dapat menimbulkan masalah sosial di kemudian hari atau banyak warga yang jadi korban fitnah, lalu menjadi terdakwa dan diadili," ucap Pedastaren.    

Dia mengakui, praktik santet sering terjadi di lingkungan masyarakat, tetapi untuk membuktikan siapa pelaku maupun korbannya sulit dibuktikan. Seorang penegak hukum, kata Pedastaren, tidak bisa menjadikan sebagai alat bukti pengakuan seorang pelaku supranatural (dukun) bahwa si B sakit dan ditemukan jarum di dalam perutnya akibat disantet atau diguna-guna oleh si A.    

Bahkan, katanya, keterangan seorang penghayat supranatural juga tidak dapat dijadikan bukti untuk menjerat misalnya si A melakukan perbuatan melanggar hukum untuk diajukan ke pengadilan negeri.

Pasal 293 Ayat (1) rancangan KUHP antara lain berbunyi, "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau  fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun."   

Menurut Pedastaren, "Ancaman hukuman tersebut sulit diterapkan pada pelaku santet atau dukun yang sengaja menyantet seseorang karena disuruh orang lain dengan imbalan berupa uang."    

Kepala Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) itu mengatakan, kasus kejahatan santet-menyantet sering terjadi di kalangan masyarakat, akibat persaingan bisnis, jabatan, atau percintaan, tetapi karena menyangkut kekuatan gaib, sulit dibuktikan di ranah hukum.


MA: Santet Hal Baru dalam UU Pidana.


Saat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI memasukkan pasal santet (kekuatan gaib) dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Mahkamah Agung (MA) sendiri tampak enggan  mengomentari pembahasan kekuatan supranatural itu.
"Saya kira masih diproses dan digodok untuk pasal-pasal itu. Karna memang ada tim perancang UU. Tentunya akan ada partisipasi masyarakat, melalui beberapa pertemuan, acara-acara dalam rangkaian RUU tersebut. Sebab ya tidak mudah," kata Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Ridwan Mansyur kepada wartawan di Jakarta, Senin (11/3/2013).

Dikatakan Ridwan, pembahasan dalam ketentuan RUU tersebut masih banyak menuai kontroversi. Oleh karena itu, perlu mendengarkan pendapat ahli bagaimana membuktikannya secara hukum.

"Nanti kita lihat bagaimana para pakar kita, pembentuk undang-undang juga para para ahli. Tentu akan memberi masukan, dan diberikan ruang untuk mengkiritisasi dan partisipasi dalam rancangan undang-undang tersebut terhadap pasal-pasal yang nantinya akan disetujui sebagai undang-undang," katanya.
Lebih jauh dikatakan Ridwan, ketentuan santet atau gaib merupakan hal baru dalam perundang-undangan pidana Indonesia.



Sementara itu Politisi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari mempertanyakan adanya pasal santet dalam RUU KUHP. Ia menilai pasal tersebut mengikuti hukum diluar negeri.

"Aku ini sumpek, karena kok hukum Indonesia mengikuti Saudi yang masih percaya sihir dimana beberapa TKI diputus salah atas pengakuan orang lain (majikan) yang anaknya hilang, sakit akibat praktik sihir para TKI tersebut," kata Eva melalui pesan singkat, Kamis (21/3/2013).

Anehnya, kata Eva, anak majikan yang dikatakan hilang itu beberapa bulan kemudian kembali ke rumah. Namun, tidak ada kompensasi apapun atas kerugian yang dialami TKI. "Pasal ini rawan dimanipulasi masa Indonesia yang gampang dihasut dan disulut bahkan melalui peredaran sms," tutur anggota Komisi III itu.

Menurut Eva, pasal tersebut bukannya melindungi malah mengakomodasi mobilisasi kebencian. "Saya tidak percaya sistem hukum kita mampu memberikan keadilan pada minoritas, lihat saja kasus ahmadiyah, Pendeta HKBP yang dikriminalisasi polisi atas hasutan kelompok radikal," ungkapnya.
Eva mengungkapkan pasal santet lebih banyak kerugiannya dan  memundurkan praktek hukum karena memfasilitasi irasionalitas. "Fungsi hukum untuk menstransformasi masyarakat gagal," tutur Eva.

Eva mengatakan secara teknis bukti formil mungkin bisa dipenuhi seperti fakta adanya paku, kawat di perut. "Tapi gimana materialnya? Terutama tentang pelaku, bahwa yang mengirim adalah X atu Y. Itu yang bikin gap sehingga rawan untuk kriminalisasi seseorang," tukasnya.

Sumber : http://jakarta.tribunnews.com/.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar