Selasa, 20 Oktober 2015

Paus Fransiskus "Sudah Mengizinkan" Perceraian Perkawinan Dalam Gereja Katolik ?


Saya mendengar berita bahwa Paus Fransiskus sudah mengizinkan perceraian perkawinan dalam Gereja Katolik. Tapi, beberapa imam yang saya tanyai mengatakan bahwa belum ada berita resmi. Manakah yang benar?
Caecilia, 082139233xxx

Jawab :

Pertama, tidak benar bahwa Paus Fransiskus mengizinkan perceraian dalam Gereja Katolik. Pemberitaan di internet itu memelintir kata untuk mencari sensasi, yaitu menggantikan kata “perpisahan” dengan kata “perceraian”. Yang benar ialah Paus Fransiskus mengingatkan kembali kepada Ajaran Gereja bahwa jika keadaan memaksa, “dalam keadaan tertentu yang memaksa” dan demi kebaikan yang lebih besar, maka diizinkan terjadi perpisahan antara suami dan istri. Perpisahan ini bukan dan sungguh-sungguh tidak sama dengan perceraian. Pemberitaan di internet sengaja mengacaukan penggunaan kedua kata itu dengan menyamakan antara perpisahan dan perceraian. Akibatnya, pembaca berita menangkap bahwa Paus Fransiskus mengizinkan perceraian.

Kedua, Ajaran Gereja Katolik bahwa sebuah perkawinan yang sah (ratum et consummatum) itu tak terceraikan berasal dari data wahyu sehingga tidak bisa diubah. Sifat tak terceraikan perkawinan yang sah (indissolubilitas) itu mutlak, artinya tak bisa diubah oleh kuasa manusiawi maupun dan atas alasan apapun, selain oleh kematian (KHK Kan 1141). Jadi, seorang pimpinan tertinggi Gereja Katolik tidak boleh dan tak bisa mengubah ajaran Yesus ini.

Ketiga, perlu dibedakan antara perceraian dan perpisahan. Perceraian ialah pemutusan secara konstitutif sebuah perkawinan yang sudah sah secara hukum. Alasan yang ditampilkan bisa bermacam-macam. Perceraian yang demikian tidak dikenal dalam Gereja Katolik.

Jika keadaan sangat mendesak dan demi melindungi keselamatan salah satu pihak dan atau anak-anak, Gereja memungkinkan ada perpisahan, dengan tetap mempertahankan ikatan perkawinan yang sah (KHK Kan 1151-1155). Perpisahan berarti bahwa suami istri tidak lagi hidup bersama atau hidup secara terpisah (Lat: separatio).

Keempat, karena perkawinan itu pada dasarnya ialah hidup bersama (Kan 1055 dan 1151), maka suami istri memiliki kewajiban dan hak membina hidup bersama. Kewajiban ini tidak mutlak. Hukum Gereja mengakui ada alasan legitim (sah) yang membebaskan suami istri dari kewajiban hidup bersama, yaitu karena zinah (Kan 1152), ada bahaya yang serius, dan tak tertahankan (Kan 1153).

Alasan-alasan Kan 1153 inilah yang diangkat kembali oleh Paus Fransiskus dalam audiensi pada Rabu, 24 Juni 2015 yang lalu. Ada saat ketika “secara moral perlu”, atau bahkan “tak terelakkan” ada perpisahan antara suami istri demi menjaga keselamatan badan dan jiwa salah satu pasangan yang lebih lemah atau anak-anak dari orangtua yang bertengkar atau dari intimidasi dan kekerasan, dari pelecehan dan eksploitasi, atau dari penelantaran dan sikap tak peduli. Perlu dihindari dampak kerugian yang harus ditanggung seumur hidup oleh anak karena orangtua yang bertengkar. Keluarga-keluarga yang mengalami kesulitan seperti ini memerlukan pendampingan secara serius. Dalam kasus berat ini, otoritas gerejawi yang berwenang perlu dilibatkan sebelum mengambil keputusan untuk berpisah. Pernyataan Bapa Suci memberikan nada yang lebih positif tentang kemungkinan hidup berpisah ini.


Meskipun membuka kemungkinan hidup terpisah, Gereja tetap mengutamakan kemungkinan mempertahankan hidup bersama: “Dalam semua kasus itu, bila alasan berpisah sudah berhenti, hidup bersama harus dipulihkan, kecuali ditentukan lain oleh otoritas gerejawi.” (Kan 1153 # 2). Juga diserukan, “Terpujilah bila pasangan yang tak bersalah dapat menerima kembali pihak yang lain untuk hidup bersama lagi; dalam hal demikian ia melepaskan haknya untuk berpisah” (Kan 1155).

Petrus Maria Handoko CM
Sumber : www.hidupkatolik.com, Kamis, 1 Oktober 2015 10:37 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar