Kamis, 18 April 2013

Romo Melepas Jubah, Apa Pendapat Anda ?

http://penaindonesia.net/wp-content/uploads/2013/01/Jubah-Pastor.jpg

Saya tak ingat berapa orang berjubah yang saya kenal, lalu menanggalkan jubahnya dalam dua puluh tahun terakhir ini. Saya tak pernah menghitung. Orang berjubah di sini, adalah para imam, para romo. Beberapa yang saya kenal adalah romo paroki, penulis buku, penggiat karya sosial, dan lain-lain. Alasan untuk menanggalkan jubah pun tak selalu saya tahu. Ada banyak isu, tapi saya acuh dengan isu-isu itu.

Satu yang saya ingat adalah seorang yang inovatif dan memiliki vitalitas luar biasa. Ia penuh semangat dan memberi saya kesempatan untuk berkarya. Saya berterima kasih untuk dukungannya. Namun, sayang kami bertemu dalam waktu yang pendek. Entah mengapa ia tak lagi menjabat posisinya. Ia hilang bak ditelan bumi. Komunikasi pun putus. Saya tak pernah dapat jawaban pasti, di mana romo tersebut sekarang, apa yang ia lakukan, mengapa ia keluar.

Seorang yang lain adalah seorang penulis. Bukunya memiliki arti penting pada dekade 1980-an. Saya membaca karyanya, dan selang puluhan tahun kemudian, barulah saya bisa bertemu muka dengan dia. Entah kenapa, kata pertama yang keluar dari mulut saya saat itu, ”Romo….”

Seorang lain yang juga melepas jubah, justru saya kenali setelah lama ia melepas jubah. Ia adalah seorang bapak yang bersemangat, ramah, dan seorang organisatoris yang baik. Beberapa kali saya bertemu dengannya dan jika sudah bicara dengannya panjang lebar waktu tak terasa terlewat.

Ke-romo-an seseorang untuk saya dinilai dari karya dan sosok pribadinya. Apa pun yang membuatnya melepaskan jubah, tak membuat saya kehilangan hormat padanya. Ke-romo-an itu tetap melekat dalam dirinya. Itu yang saya percaya. Saya tak peduli isu. Saya tak peduli dengan gosip miring.

Seorang teman dekat saya pernah berkisah pengalaman dirinya saat memutuskan tidak mau mengenakan jubah, persis pada saat-saat terakhir menjelang ditahbiskan. Pengalaman eksistensial seperti ini, jarang ia bagikan kepada orang lain. Penuh detil ia sampaikan pada saya, dan membawa saya pada suatu perenungan panjang: tak mudah memilih hidup dalam biara, menjalani hidup berjubah dengan segala konsekuensi. Ada persoalan psikologis, teologis, komunikasi, dan lain-lain.

Ada seorang romo yang belum lama ini juga secara resmi melepas jubah. Ia orang yang saya kagumi. Penuh komitmen ia lakukan aneka kegiatan sosial. Karyanya diakui melintas batas agama, suku, atau ras. Dalam masa-masa krusial hidup di Indonesia, saya pernah bersinggungan dengan karya-karyanya. Sekali lagi, saya tak peduli gosip, saya tak peduli alasan di balik pelepasan jubahnya.

Ia tetap saya hargai sebagai seorang ’Romo’, karena ia telah menjadi ’Romo’ bagi banyak pihak, dan banyak karya yang telah dihasilkan. Mungkin saya hanya sedikit orang yang tak ingin menyayangi pelepasan jubahnya. Ia tetap seorang yang sama, menurut saya.

Saya sadar mungkin banyak umat yang kecewa. Banyak pihak yang merasa sedih karena satu demi satu, romo melepas jubahnya. Atau mungkin banyak pihak lebih senang bergunjing soal alasan-alasan di balik pelepasan jubah.

http://katolisitas.org/wp-content/uploads/2010/04/Tanggung-jawab-pastor-paroki-dalam-pastoral-paroki.jpg

Bagi saya, romo pun seorang manusia biasa, dengan ambisi, hasrat, dan kemanusiaan yang sama dengan umat. Saya justru bergembira ketika sisi kemanusiaan ini tetap ditunjukkan. Sangat manusiawi, ketika orang menunjukkan kelemahan. Sangat manusiawi, ketika orang menunjukkan tanda-tanda bahwa ia menyerah sampai di sini atas beban berlebih yang ia pikul.

Maka, saya melihat karya-karya Gereja tak harus berfokus pada seorang imam belaka. Umat harus makin aktif mengambil peran-peran penting dalam karya Gereja, bahkan yang terkait dengan soal liturgi, teologi, dan lain-lain. Saya suka iri dengan teman-teman muda dari Nahdlatul Ulama (NU) yang fasih bicara kitab-kitab klasik dan memperbincangkan pemikiran para tokoh intelektual Islam yang kerap mengguncang tafsir-tafsir mainstream.

Misalnya saja, belum lama ini ada seorang tokoh penting pemikir dalam Gereja Katolik datang ke Indonesia. Dia adalah Hans Küng, seorang teolog dan dosen, yang bersama dengan Ratzinger (kini Paus Benediktus XVI) menjadi teolog muda pada saat Konsili Vatikan II (1962-1965). Siapa yang kenal dengan Hans Küng? Jangan-jangan hanya mereka yang pernah belajar teologi? Mengapa ia penting? Dan mengapa pula ia dilarang untuk mengajarkan doktrin-doktrin agama Katolik, padahal dia salah satu yang memberi pendasaran atas isi Konsili Vatikan II? Apakah ada yang membaca surat terbuka Hans Küng kepada Ratzinger baru-baru ini dalam peringatan 5 tahun Paus Benediktus XVI? Apa kritik yang disampaikan Hans Küng pada Paus sekarang?

Umat perlu terus mengambil posisi lebih besar dalam proses menggereja saat ini. Umat bukan semata-mata obyek pasif dari karya gerejani, dan sebaliknya, umat harus jadi partisipan aktif dalam karya-karya Ilahi di dunia. Dengan demikian kita berharap ada hubungan yang lebih sehat antara umat dan kaum berjubah: suatu hubungan yang mengandaikan hormat dan pengakuan akan kesetaraan, walaupun keduanya memiliki fungsi yang berbeda.

http://jimmyoentoro.com/wp-content/themes/pjo/images/title_img_Family.jpg

Jadi, kita tak perlu menangisi mereka yang melepaskan jubah. Karya ilahi toh tak melulu hadir lewat mereka yang pernah mengenakan jubah. Saya pun tetap berdoa untuk mereka yang masih mengenakan jubah, agar mereka terus mengenakan jubah selamanya.

Penulis : Ignatius Haryanto
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Senin, 27 Agustus 2012 13:24 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar