Jumat, 28 Juni 2013

Pengembangan Entrepreneur di Sekolah Katolik.

Entrepreneur

Pada akhir Oktober 2008, Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK) mengadakan seminar nasional mencari "Grand design innovation of catholic school" dan diikuti oleh para kepala sekolah dan ketua yayasan pengelola sekolah Katolik se-Indonesia. Pembaruan di bidang pendidikan tidak dapat dilepaskan dari inovasi-inovasi baru. 

Johan Heinrich Pestalozzi (1746-1829), Bapak Pendidikan kelahiran ZŸrich (Swiss) berdarah Italia, sangat menyadari hal tersebut ketika menggarisbawahi perlunya inovasi metode dalam pengajaran: spontanitas dan kegiatan pribadi peserta-didik, mengembangkan keutamaan keadilan, penalaran yang sehat. 

Pestalozzi mengatakan bahwa tugas guru dan penyelenggara pendidikan adalah melakukan pengolahan terhadap tiga elemen fundamental: hands, heart & head. Ketiga hal ini, pada abad ke-21 diterjemahkan menjadi kompetensi yang melibatkan keterampilan psikomotor, afeksi, emosi, dan aspek kognitif (rasionalitas).

Dalam rangka melakukan inovasi-inovasi pengajaran tersebut, Pestalozzi memberikan enam prinsip dasar. 

Pertama, para guru (pendidik) mesti menyadari bahwa setiap pribadi adalah "individu yang suci" dan "unik". Di dalam diri peserta-didik inilah terdapat benih dan potensi, dan desain besar yang telah dianugerahkan oleh Pencipta. Para pendidik hendaknya mampu membaca dan membantu pengembangan grand-design besar yang dalam bentuk potensi ini menjadi kenyataan. 

Syarat utama agar pendidik mampu melakukan inovasi dalam mengembangkan grand design ini adalah sikap "mengasihi anak-didik" dan melakukan observasi langsung (Anschauung) penuh kasih. Hanya pendidik yang mengenal setiap peserta-didiknyalah yang mampu menemukan cara-cara baru (inovasi) yang sesuai dengan keunikan setiap anak-didik.

Kedua, para pendidik mengajarkan konsep kepada peserta-didik dengan mengambil contoh-contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari. Inovasi berarti mengajak peserta-didik melakukan eksplorasi terhadap dunia sekitarnya, sehingga menemukan prinsip-prinsip keajaiban yang merupakan pengetahuan ilmiah. Dengan demikian, di setiap ruangan telah ada unsur-unsur dasar pendidikan manusia, tinggal guru mengajak peserta-didiknya melakukan inovasi bersama.

Ketiga, pendidik perlu menjaga keseimbangan antara: kepala, hati, dan tangan; Artinya, pendidikan bukan hanya mengasah bagian intelektual (head)-nya saja. Melainkan harus melatih hati dan keterampilan tangannya juga. Learning by doing adalah sebuah prinsip yang tepat. Dengan demikian, setiap pengetahuan yang telah diperoleh anak-didik perlu langsung dapat digunakan dan diterapkannya dalam kehidupannya sehari-hari demi membuat hidupnya lebih berkualitas. Pengetahuan ilmiah (science), etika (cara bersikap), dan keterampilan (perilaku) haruslah menjadi satu kesatuan yang tak terpisah-pisah. Pendidik, entah mengajar materi dan topik apa saja, selalu tiga unsur itu disentuh dengan seimbang. 

Keempat, dalam proses pendidikan, guru mengajar siswa untuk melakukan observasi (pengamatan langsung). Setelah itu, mengajak mereka untuk melakukan refleksi. Dengan demikian, proses pendidikan adalah proses inovasi setiap saat. Peserta-didik tidak perlu melakukan hafalan, tapi mereka mengalami proses menemukan. Kemudian, mereka belajar merumuskan apa yang telah mereka temukan. Pendidikan menjadi sebuah proses internalisasi pengetahuan yang diingat seumur hidup karena dipahami. Inilah inovasi yang sesungguhnya.

Kelima, pendidikan akhirnya mengintegrasikan kehidupan nyata (tuntutan dunia kerja) dan sekolah (kurikulum). Pendidikan menjadi sebuah tempat di mana setiap anak-didik mempersiapkan dirinya untuk memasuki dunia nyata. Kurikulum menjawab kebutuhan-kebutuhan yang dituntut oleh masyarakat. Setiap siswa belajar untuk hidup, bukan untuk mengejar nilai lulus Ujian Nasional. Adagium Latin mengatakan, "Non scholae sed vitae discimus" (We learn no for school, but for life).

Keenam, akhirnya pendidikan mesti meletakkan landasan yang mesti ada pada setiap inovasi, yakni landasan etika (baik dan benar). Karena tanpa pemahaman terhadap apa yang baik dan benar, bisa jadi inovasi dalam pengetahuan dan teknologi digunakan pada arah yang tidak diharapkan. Maka, anak-didik perlu melakukan inovasi (penemuan) apa yang baik dan benar sebelum mereka mengetahui apa yang tepat (correct). 


Keenam prinsip di atas harus menjadi sebuah sikap yang menyatu dalam diri setiap pendidik profesional. Bila demikian, setiap saat adalah proses inovasi dalam dunia pendidikan kita. Dalam konteks ini, kita bisa mengatakan: pendidik adalah enterpreneur sejati karena membantu anak-didik melakukan inovasi demi inovasi secara terus-menerus seumur hidup.

Penulis : Fidelis Waruwu 
Sumber :  http://www.hidupkatolik.com/, Minggu, 16 November 2008 16:13 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar