Jumat, 28 Juni 2013

Preman "Bertato Salib" ?? ?!!


Preman dan premanisme adalah topik yang sesekali hangat dibicarakan dan segera terlupakan kembali. Nasibnya mirip dengan masalah sosial lainnya: hanya dibicarakan jika ada musibah. Dengan kata lain, perlu ada sekian orang meregang nyawa agar suatu masalah menjadi hangat dibicarakan. Tapi, fungsi dari sekian nyawa itu pun ternyata tidak banyak. Begitu ada peristiwa lain muncul, maka suatu masalah segera terlupakan dan digantikan masalah berikutnya. Begitu seterusnya.

Realitas kegiatan melabel sekelompok orang sebagai preman dan diteruskan dengan penangkapan, juga terjadi di berbagai kota besar di Indonesia. Kemungkinan ini terjadi, dalam rangka penciptaan “kondisi” menjelang Pemilu 2014. Dalam konteks inilah kita bisa memahami bahwa orang yang disebut preman seperti John Kei dan Herkules, untuk sementara harus “minggir” dari jalan-jalan Jakarta.

Preman Bersalib

Namun ada yang menarik, sekurang-kurangnya dari kacamata Nasrani, mereka yang disebut preman, banyak yang menggunakan salib saat melakukan aksi premanisme atau ditangkap. Kalaupun tidak memakai salib, sekurang-kurangnya mereka berasal dari keluarga yang memasang salib di rumahnya.

Jika ini benar, lalu apa yang terjadi dengan keluarga-keluarga Nasrani dari Sumatera Utara, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur hingga Papua? Anak-anak muda dari kawasan inilah yang kerap diasosiasikan dengan kegiatan preman.

Alasan sosial-ekonomi lebih tepat menjelaskan kehadiran preman bersalib ketimbang alasan biblis. Mengingat, tidak ada satu pun ajaran Gereja membenarkan tindakan menakut-nakuti hingga melakukan kekerasan, sebagai rentang kegiatan para preman.

Jika diperhatikan secara seksama, para preman umumnya berpendidikan rendah dan berasal dari keluarga yang kurang sejahtera. Kalaupun ada yang berpendidikan cukup, mereka kekurangan koneksi atau lobby guna memperoleh pekerjaan yang diinginkan. Alhasil, saat ke Jakarta mereka hanya bermodal otot. Bagi yang kebetulan memiliki wajah menakutkan, itu adalah asset untuk menunjang bekerja di dunia ini.

Kelihatannya, preman adalah pekerjaan mudah yang dapat menghasilkan banyak uang. Kehidupan ini dekat dengan kehidupan malam yang diminati anak muda. Di pihak lain, primordialisme menjadi mekanisme ampuh untuk membuat banyak pemuda yang kekurangan comparative advantage ini tetap bisa bertahan di tengah kerasnya kehidupan kota besar.

Menariknya, walau aktivitas sehari-hari berdekatan dengan bahaya dan tindak pidana, kegiatan rohani para preman tetap berjalan. Dengan kata lain, pelakunya tidak merasa tengah berada pada dua simpang yang berbeda. Bahkan, ketika ada preman yang sudah melakukan kejahatan seperti pembunuhan, masih sempat mengantar anak untuk dibaptis di gereja pada hari Minggu sebelum tertangkap. Bagaimana harus bersikap pada para preman bersalib itu?

Seperti telah dikemukakan, latar belakang fenomena ini lebih condong pada sosial-ekonomi. Jika para pemuda memiliki kemampuan materi atau keahlian, maka tidak akan banyak yang sukarela untuk masuk di bidang ini. Sejalan dengan itu, pertumbuhan ekonomi daerah adalah hal mutlak agar migrasi ke kota-kota besar tak terjadi. Jika pun terjadi, maka pertumbuhan ekonomi di perkotaan harus cukup tinggi sehingga mampu menyediakan lapangan kerja guna mencegah anak muda migran menjadi preman.

Ada pula jalan berpikir lain. Sesungguhnya, para preman muda ini tengah menabung melalui aktivitas premannya. Jika tabungan sudah cukup, mereka akan berhenti dan mulai bekerja di jalur legal. Walau ada, namun yang mampu survive sebenarnya amat sedikit. Jauh lebih banyak mereka yang terlena dengan gaya hidup mudah, dan kemudian tertangkap atau mati.

Memakai bahasa orang beriman, para preman dapat dikatakan orang yang tersesat. Meski dapat dikatakan tidak sepenuhnya salah mereka. Untuk itu, perlu segera ditolong, antara lain agar mereka bisa segera bekerja tanpa lebih dulu mengenal dunia preman.

Penulis : Adrianus Meliala 
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Jumat, 7 Juni 2013 16:14 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar