Ada seorang Bapak yang simpatisan Katolik, tetapi juga kadang-kadang berdoa di Kelenteng. Dia sendiri tidak pernah mengikuti perayaan Ekaristi di Gereja, tetapi jika berdoa secara pribadi di rumah, dia menggunakan doa-doa Katolik di buku Puji Syukur. Istri dan ketiga anaknya memeluk agama Katolik, juga atas dorongan Bapak ini. Tetapi, ibu kandung Bapak ini beragama Konghucu. Ketika Bapak ini meninggal, anak-anaknya meminta agar upacara penutupan peti dan pemakaman dilakukan secara Katolik. Apakah diperbolehkan? Apakah selama jenazah belum dimakamkan, anak-anak yang beragama Katolik boleh mendoakan secara Katolik dan dipimpin oleh imam? Apakah teman-teman Konghucu boleh mendoakan di depan jenazah secara Konghucu?
Theresia Maria Agustyarini, Malang
Pertama, dalam upacara penutupan peti dan pemakaman berlakulah prinsip bahwa perayaan keagamaan yang digunakan haruslah sesuai dengan agama yang dipeluk oleh orang yang meninggal. Sikap Gereja Katolik ini mengalir dari sikap yang sangat menghormati kebebasan beragama setiap manusia dan juga sikap Gereja yang tidak mau merebut anggota agama lain. Tentu orang yang meninggal ingin agar upacara penutupan peti dan pemakaman dilakukan sesuai dengan agama yang dipeluknya.
Kedua, dalam kasus di atas, nampaknya sulit menentukan agama mana yang dianut oleh Bapak itu. Maka, perlu ditanyakan kepada anak-anaknya, sekiranya Bapaknya hidup dan bisa memilih, apakah dia akan memilih dimakamkan secara Katolik atau secara Konghucu. Jadi, sebelum menerima permintaan anak-anaknya, perlu ditemukan dasar yang cukup kuat bahwa upacara secara Katolik memang dikehendaki, atau setidak-tidaknya, tidak bertentangan dengan kehendak Bapak yang meninggal.
Karena Bapak itu kadang- kadang juga berdoa di kelenteng, kiranya juga perlu ditanyakan apakah Bapak itu juga secara resmi anggota kelenteng. Hal ini perlu untuk menghindari kesan yang salah bahwa pelayanan Gereja Katolik seolah merebut anggota agama lain (bdk. Statuta Keuskupan Regio Jawa, Pasal 133 1. b: “Pemakaman orang Kristen bukan- Katolik dilayani atas permintaan keluarganya.”
Ketiga, jika memang ada dasar untuk dilakukan penutupan peti dan pemakaman secara Katolik, maka upacara yang dilakukan itu lebih sederhana daripada upacara untuk orang Katolik pada umumnya. Artinya, liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi dilewati. Sesudah tanda salib dan salam, langsung menyusul pemberkatan jenazah. Doa dalam pemberkatan jenazah juga diubah menjadi lebih umum. Upacara pemercikan air suci, pendupaan dan penandaan dengan salib ditiadakan. Upacara pemberkatan bunga dan penaburan bunga tetap dilakukan. Untuk menunjukkan perbedaan upacara dengan orang Katolik, sebaiknya upacara ini tidak dipimpin oleh imam atau diakon, tetapi oleh asisten imam atau petugas lainnya. (bdk. Komisi Liturgi KWI, Upacara Pemakaman, No. 78-80, Jakarta: Obor, 2011).
Keempat, kita boleh mendoakan siapa saja, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, baik yang beragama Katolik maupun yang bukan Katolik. Tentu kalau kita berdoa, kita akan menggunakan cara Katolik. Demikian pula, orang-orang yang beragama lain akan menggunakan cara agama masing-masing. Jadi, anak-anak yang beragama Katolik boleh mendoakan secara Katolik untuk orang tuanya atau siapa saja, meskipun yang meninggal itu tidak beragama Katolik. Tentu juga anak-anak yang beragama Konghucu boleh mendoakan secara Konghucu untuk orangtua mereka yang Katolik.
Doa yang dimaksudkan di sini mencakup doa pribadi maupun ibadat resmi yang dipimpin oleh petugas tak tertahbis maupun tertahbis. Doa yang demikian boleh dilakukan ketika jenazah belum dimakamkan, asalkan suasana dan tempat pelaksanaannya cukup pantas untuk ibadat arwah maupun perayaan Ekaristi. Hendaknya ibadat arwah dan perayaan Ekaristi tidak dirayakan di tengah hiruk pikuk atau keramaian ibadat agama lain, yang bisa mengurangi kekhidmatan dan keluhuran ibadat kita.
Penulis : Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Selasa, 19 November 2013 11:00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar