Selasa, 07 Januari 2014

Pastoral Politik : Para Gembala Tidak Boleh Berpihak Pada Salah Satu Caleg !


Para gembala tak boleh berpihak pada satu caleg! Demikian penegasan Uskup Sibolga, Mgr Ludovicus Simanullang OFMCap pada ratusan calon legislatif (caleg) medio Juli 2013. Kronos tahun politik saat ini adalah khairos yang membawa rahmat pastoral politik Gereja bagi kebaikan masyarakat. Lalu, bagaimana kronos dan khairos itu bekerja bagi Gereja dan masyarakat?

Para caleg adalah domba yang siap jadi pahlawan, karena mereka telah memasuki enam dari 11 fase, yakni: 
  1. takut (phobi) politik dengan segala macam alasan, 
  2. apatis, 
  3. tidak takut, 
  4. berminat, 
  5. ingin tahu dan 
  6. mengalami ikut bermain politik. 
  7. Fase 7-11: kepemimpinan politik, mendalami penghayatan politik, berjuang melalui kegiatan politik, jatuh bangun dalam politik, dan asketisme/ spiritualitas politik.


Proses panjang itu butuh aksi pastoral Gereja pada para caleg. Karena realita politik yang mereka masuki sungguh menguras biaya, energi, pikiran, perhatian, waktu, harta, dan hidup keluarga. Para caleg menghadapi bahaya besar di rimba raya politik. Predator politik selalu mengintainya. Perlawanan massal bawah sadar gerakan “depolitisasi, deparpolisasi, dan de-depeerisasi” menyepelekan semua minat politik. Semua harus mereka hadapi dengan segala risikonya.

Litani dosa politik menjadi daftar seram bagi para apatis. Nafsu politis rendahan mengubah manusia menjadi binatang politik. Prinsip kebaikan dan keutamaan untuk membangun arsitektur politik dengan kejujuran, tanggungjawab, intelektualitas, dan asketisme, runtuh.

Menu dosa politik itu kian menakutkan ketika media menyorot cara kerja “ekonomisasi politik” dengan permainan uang, wanita, broker, spekulan, mafia, preman, citra, kepuasan, hiburan, dan popularitas. Unsur-unsur itu sangat dominan membangun institusi politik. Pasar gelap politik terlihat memainkan uang, mobil, rumah, dan wanita, sebagai modal investasi untuk sogok, pelicin, umpan, servis, dst. Memanusiakan kembali (rehumanisasi) politik adalah tantangan nyata yang dihadapi para caleg saat ini.

Namun, apakah beban rehumanisasi dari litani itu hanya mau ditanggungkan pada para pekerja politik dan caleg? Tiga dalil berikut ini bisa dikembangkan : 
  • Pertama, politik ditujukan untuk mengurus banyak orang dan kepentingan, jabatan, uang negara dan uang swasta. Banyak peraturan dan hukum yang harus dibuat, dilaksanakan, ditegakkan, dan diperbarui terus-menerus, secara bertahap dan/atau berlanjut. Tercatat, 11 Komisi di DPR-RI; masih ada lagi empat Badan, 9-12 Partai, 35 kementerian, yang meliputi sekitar 3500-an jabatan politik. Maka yang diincar para caleg sesungguhnya baru tiga jenis saja. Masih tersisa 3.497 jabatan politik selain caleg (kabupaten/kota, provinsi, pusat).

  • Kedua, jelas bahwa tiada institusi alternatif apapun yang bisa melaksanakan semuanya secara serentak, selain urusan politik. Institusi Gereja atau agama apapun tak mungkin merambah semuanya. Tak ada politik di alam demokrasi, selain melalui institusi partai. Jika bukan partai, kita jatuh ke sistem diktator, militerisme, kerajaan, atau negara agama, dan semacamnya.
  • Ketiga, praktik politik bersifat jangka panjang, penuh lika-liku, non-linier, sarat situasi ketakterdugaan, menguras energi, perhatian, pikiran, waktu, biaya, harta, hidup keluarga, dan tentu saja duka lara tak-terperi.

Karena itu, kegiatan politik bukan sekadar hobi, tapi panggilan hidup berbekal talenta. Tugas rehumanisasi politik yang dibebankan pada para caleg dalam tiga dalil itu menjadi panggilan karya untuk mewujudkan politik sebagai “karya terbaik dalam arsitektur budaya bangsa”. Karya itu meliputi segala upaya, pelaksanaan, dan pelayanan. Mengapa harus “terbaik”? Karena tiada alternatif lain untuk melakukannya, selain tugas politik.

Dapat dipahami, terkuaknya kebohongan dan daftar dosa politik bukanlah untuk menjadi apatis, tapi menunjukkan agar “yang terbaik” harus segera diwujudkan. Oleh siapa? Kita semua (juga Gereja) dengan pembagian fungsi yang berbeda-beda dalam tanggungjawab bersama.

Penulis : Nikolas Simanjuntak
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Kamis, 26 September 2013 14:56 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar