- Bagaimanakah sikap yang tepat ketika kita mendoakan “Bapa Kami,” apakah dengan kedua telapak tangan disatukan ataukah direntangkan terbuka ke atas?
Dalam Pedoman Umum Misale Romawi (Baru), No 51, Ende: Nusa Indah, 2002, No 42-44, ditetapkan bahwa sikap badan yang sama menunjukkan kesatuan seluruh umat yang hadir, sebab dalam sikap badan yang sama dicerminkan sikap batin yang sama pula. Dalam konteks ini, yang dimaksud “sikap badan” adalah sikap berdiri. Tetapi, aturan liturgi Gereja tidak menetapkan tentang posisi tangan. Maka, ada kebebasan bagi umat untuk berdoa dengan telapak tangan disatukan atau direntangkan terbuka ke atas.
Doa Bapa Kami adalah doa anak (-anak) kepada bapanya. Isinya adalah pujian, pengakuan akan kemuliaan, dan permohonan. Baik sikap tangan disatukan maupun direntangkan ke atas, keduanya bisa mencerminkan sikap memuji, mengakui, dan memohon. Maka, tergantung pada umat untuk memilih sikap mana yang dirasakan lebih sesuai untuk mengungkapkan isi hatinya. Sebaiknya umat tidak menyamai sikap imam yang merentangkan tangan cukup tinggi. Jika dikehendaki untuk merentangkan tangan, cukuplah setinggi dada.
- Di paroki kami, ada ketidakseragaman dalam mendoakan “Doa Damai” sesudah Bapa Kami. Ada imam yang mengajak umat mendoakan bersama, ada imam yang meminta agar umat tidak ikut mendoakan. Manakah yang benar?
Yang benar ialah umat tidak ikut mendoakan. Seharusnya, umat hanya menjawab pada akhir doa dengan “amin”. Namun, bentuk doa yang disediakan memang mengandung ajakan untuk umat, yaitu “maka marilah kita mohon damai kepada-Nya.” Akibatnya, ada imam (dan umat) yang masih melihat bentuk “Doa Damai” ini seperti dalam TPE lama, yaitu umat ikut aktif mendoakan. Keikutsertaan umat ini sedikit mengobati “ke-tidak-ikutsertaan” secara aktif dalam Doa Syukur Agung.
Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Minggu, 22 Juni 2008 10:55 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar