Dalam penyelidikan kanonik di paroki, kami berdua diminta untuk bersumpah. Saya yang beragama Katolik diharuskan bersumpah. Sementara pacar saya yang beragama Kristen menolak bersumpah, sehingga dia hanya berjanji saja. Pacar saya mengatakan bahwa Yesus melarang murid-murid-Nya bersumpah (Mat 5:34-35). Lalu, mengapa orang Katolik melanggar perintah Yesus?
Maria Magdalena Mariyanti, Magetan
Pertama, kita perlu mencermati dan menafsirkan dengan baik teks Mat 5, bukan hanya ayat 34-35, melainkan juga ayat 36-37, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah, maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya, atau pun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar; janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelai rambut pun. Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.”
Perluasan kutipan ini memberikan fokus penafsiran yang jelas, yaitu bahwa fokus ajaran Yesus bukanlah pada soal boleh bersumpah atau tidak, melainkan
soal ketulusan atau kesederhanaan (Latin: simplicitas) kita. Artinya, ya kita berarti ya, dan tidak kita berarti tidak, seperti yang dikatakan dalam ayat 37.
Kedua, dengan memperhatikan fokus ajaran yang hendak disampaikan Yesus, maka harus ditafsirkan bahwa ayat 34-35 hanyalah contoh untuk memperjelas fokus ajaran. Yesus melarang kita berkata berputar-putar (Jawa: mencla-mencle), sehingga untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya, orang harus bersumpah. Rasul Yakobus mengulangi ajaran yang sama (Yak 5:12).
Jadi, Yesus sebenarnya tidak bermaksud melarang bersumpah.
Sikap Yesus yang tidak melarang bersumpah ini secara implisit bisa dilihat pada Mat 23:16-22. Jika Yesus memang benar melarang bersumpah, maka Dia akan mengatakan secara singkat dan tegas agar jangan bersumpah. Contoh-contoh pada ayat 19-22 menunjukkan bahwa Yesus tidak melarang bersumpah, tetapi meminta kesadaran dan keseriusan tentang sumpah.
Ketiga, gaya bahasa Yesus dalam mengajar perlu dimengerti dengan baik agar kita tidak salah menafsirkan. Jika mencermati ajaran-Nya tentang cara berdoa, Yesus menganjurkan kita masuk ke kamar (Mat 5:6). Fokus ajaran Yesus ialah mengecam kemunafikan orang Farisi, bukan soal berdoa di depan umum. Demikian pula ajaran tentang memberikan pipi kiri, jika ditampar pipi kanan (Mat 5:38). Fokus ajaran Yesus ialah jangan membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi balaslah kejahatan dengan kebaikan untuk memutuskan rantai kejahatan. Juga tentang mengudungkan tangan atau mencungkil mata
(Mat 5:29-30), Yesus meminta kesigapan kita untuk secara tegas mengambil sikap terhadap sumber-sumber dosa. Dalam semua contoh ini, kita perlu menemukan fokus ajaran Yesus.
Keempat, jika bersumpah diartikan memanggil Allah sebagai saksi, kita mempunyai beberapa contoh dari ungkapan-ungkapan Yesus dan Paulus tentang praktik ini. Sumpah diberikan bukan karena kita tidak bisa dipercaya, melainkan karena pihak lain yang tidak percaya. Memang dalam teks-teks ini tidak digunakan kata “sumpah”.
Ketika menjelaskan jati diri dan membela pekerjaan yang Dia lakukan, Yesus menghadirkan Allah sebagai saksi-Nya: “Pekerjaan itu juga yang Kukerjakan sekarang, dan itulah yang memberi kesaksian tentang Aku, bahwa Bapa yang mengutus Aku. Bapa yang mengutus Aku, Dialah yang bersaksi tentang Aku.” (Yoh 5:36-37)
Dalam 2 Kor 1:18, Paulus menghadirkan Allah sebagai saksinya: “Tetapi aku memanggil Allah sebagai saksiku - Ia mengenal aku - bahwa sebabnya aku tidak datang ke Korintus ialah untuk menyayangkan kamu.” Sekali lagi, 1 Tes 2:5, “Karena kami tidak pernah bermulut manis - hal itu kamu ketahui- dan tidak pernah mempunyai maksud loba yang tersembunyi - Allah adalah saksi ...” (Bdk. 1 Kor 11: 11. 30-31).
Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Senin, 9 September 2013 15:27 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar