Jumat, 04 April 2014

Tata Cara Menyambut Tubuh Kristus Dalam Komuni.


Umat berbaris rapi. Di depan altar seorang imam sedang sibuk menerimakan hosti suci kepada umat satu per satu. Suaranya cukup keras menyebut “Tubuh Kristus” (Corpus Christi). Namun, jawaban umat yang menerima hosti itu seringkali tak selantang suara imam.

Di mana kata “Amin” yang mestinya merupakan jawaban meyakinkan dari setiap umat itu? Mungkin jawaban “Amin” tak terdengar, karena umat malas bersuara saja. Atau, yang lebih gawat, bisa saja karena masih ragu apakah itu sungguh Tubuh Kristus? Jangan heran, jika lantaran tak dijawab dengan suara jelas, imam pun sering menanyakan sesuatu yang bisa membuat umat merasa malu.

Dialog singkat antara imam dan umat itu mengandung dimensi imani. Jawaban “Amin” merupakan ungkapan keyakinan kita. Sekaligus juga menegaskan persetujuan kita bahwa kita pun mau menerima konsekuensinya, yakni menjadi bagian dari Tubuh dan Darah Kristus.


Satu atau dua rupa


PUMR 85 sangat menganjurkan agar umat “menyambut Tubuh Tuhan dari hosti-hosti yang dikuduskan dalam Misa yang sedang dirayakan. Pada kesempatan-kesempatan tertentu umat hendaknya juga menerima roti dan anggur kudus. Dengan demikian menjadi lebih jelas, bahwa umat berpartisipasi dalam kurban yang sedang dirayakan”. Masih sering terjadi bahwa anjuran dan saran ini tidak dapat dipenuhi di banyak gereja.

Anjuran tentang hosti suci yang “selalu baru” sebenarnya lebih mudah dilaksanakan. Sejumlah hosti yang mencukupi untuk umat yang hadir hendaknya disediakan dan diantar ke altar ketika Persiapan Persembahan. Entah bagaimana caranya, kita perlu mendahulukan makna sejati ritus itu dan membiasakannya untuk dilakukan dalam setiap Misa. Alasan praktis-pragmatis dan tak mau mengusahakan yang ideal, menjadikan umat kurang berpartisipasi dalam kurban Kristus.

Saran menerima komuni-dua-rupa memang tidak dianjurkan pada setiap Misa, namun cukup pada kesempatan tertentu saja. Menyediakan anggur untuk semua umat yang hadir sering bukan perkara mudah. Belum lagi menyangkut cara menerimakannya. Sering menemui kesulitan pula. Maka, jika memang mampu dilakukan sebaiknya pada kesempatan khusus saja. Menerima komuni-dua-rupa memang lebih menampakkan tanda kesatuan itu sendiri dan melambangkan dengan lebih sempurna Perjamuan Ekaristi (PUMR 281).

Menerima komuni satu atau dua rupa, atau salah satu dari hosti atau anggur, sebenarnya dapat bermakna sama. Komuni-hosti saja sudah merupakan komuni penuh. Namun, komuni-dua-rupa boleh diberikan juga supaya “dengan demikian lambang sakramen menjadi tampak lebih jelas dan misteri Ekaristi dipahami secara lebih mendalam oleh umat beriman yang merayakannya” (PUMR 14).


Cara yang layak

Secara cukup jelas PUMR 161 sudah menunjukkan cara komuni yang layak: “Kalau komuni dibagikan hanya dalam rupa roti, imam mengangkat sedikit dan menunjukkan hosti kepada masing-masing orang yang menyambut sambil berkata: Tubuh Kristus. Setiap orang menjawab: Amin; lalu menyambutnya entah dengan lidah entah dengan tangan. Begitu diterima, hosti hendaknya langsung dimakan”.

Saat ini, cara menyambut dengan tangan lebih banyak dilakukan umat. Cara ini secara historis memang muncul lebih dulu. Dalam Perjamuan Malam Terakhir pun Yesus mengikuti kebiasaan Yahudi dengan memberikan roti ke tangan para Rasul. Sejak abad I, Gereja sudah menggunakan cara itu pula. Cara menyambut dengan lidah baru mulai sekitar awal abad pertengahan. Yang mendorong pilihan itu adalah adanya ketakutan akan kejadian yang dapat mencemari kesucian Tubuh Kristus bila diterimakan pada tangan dan jatuh ke lantai.

Tak perlu dipersoalkan mana yang lebih tepat dan hormat: menerima dengan tangan atau lidah. Keduanya diizinkan Takhta Suci. Kepatutan ekspresi itu terutama ditentukan oleh keadaan batin kita, yang hanya dapat diketahui oleh Allah.

Penulis : Christophorus H. Suryanugraha OSC 
Sumber : http://www.hidupkatolik.com, Minggu, 17 Februari 2013 15:52 WIB. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar