Dalam penanggalan liturgi 2014, halaman 54, dikatakan tentang “indulgensi penuh” dan “indulgensi sebagian”. Apakah ajaran tentang indulgensi ini masih aktual? Apa itu indulgensi?
Martinus Natadiredja
Pertama, ajaran tentang indulgensi diungkapkan Gereja dalam berbagai dokumen, yaitu Konstitusi Apostolik Indulgentiarum doctrina (1 Januari 1967), Enchiridion Indulgentiarum (1968), KHK 992-997 (1983), Ensiklik Aprite portas Redemptori (1983) dan KGK 1471-1479 (1993). Dokumen Gereja yang bertubi- tubi ini menjadi bukti bahwa ajaran tentang indulgensi masih sangat aktual. Untuk mengerti ajaran ini, perlu dimengerti terlebih dahulu tentang perbendaharaan rohani, persekutuan para kudus, kuasa Gereja untuk melepas dan mengikat, serta tentang akibat dosa dan pengampunan dosa.
Kedua, perbendaharaan rohani. Setiap perbuatan baik menghasilkan pahala, yaitu meningkatkan rahmat pengudus dalam jiwa, sehingga kita semakin dilayakkan menerima ganjaran surgawi. Sedangkan setiap tindakan pertobatan dan silih dapat mengurangi hukuman yang seharusnya diterima karena dosa.
Maka, kita bisa mengatakan bahwa perbuatan baik dan tindakan pertobatan bersifat melunasi hutang. Sebagai pribadi yang bebas, kita bisa menentukan untuk menerapkan pelunasan hutang itu untuk diri kita sendiri atau untuk orang lain. Dengan sengsara dan wafat-Nya di salib dan juga semua perbuatan baik-Nya, Dia melunasi hutang dosa kita.
Semua pahala itu dikumpulkan dalam perbendaharaan rohani Gereja. Bunda Maria dan para kudus yang lain, baik yang sudah diresmikan Gereja maupun yang tak diresmikan, ikut serta memperkaya perbendaharaan rohani Gereja dengan tindakan mulia yang mereka lakukan. Dari perbendaharaan rohani ini, kita bisa menikmati keuntungan pelunasan hutang dosa, seperti yang dimaksud Paulus, “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat.” (Kol 1:24).
Ketiga, persekutuan para kudus (KGK 1474-1477). Karena dipersatukan dengan Yesus Kristus, maka kita bersatu sebagai satu Tubuh dengan Yesus Kristus sebagai Kepala. Ketika satu anggota menderita, anggota yang lain bisa ikut merasakan, bahkan meringankan penderitaan, yaitu dengan memberikan kekuatan baru. Dalam Tubuh Kristus, semua anggota memiliki semua hal bersama-sama. Para anggota yang sedang berjuang di dunia maupun yang sedang menderita dalam api penyucian bisa menerima kekuatan rohani dari perbendaharaan rohani Gereja.
Keempat, kuasa Gereja untuk melepaskan dan mengikat (Mat 16:19) membuat Gereja mampu melepaskan ikatan dosa dan hukuman dosa melalui pengampunan, dan memperbaiki akibat dosa melalui karya baik dan pahala dari perbendaharaan rohani Gereja (KGK 1478-1479). Gereja berhak menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi (bdk. KHK Kan 995-997) agar disalurkan kekayaan rohani untuk pelunasan akibat dosa.
Kelima, dosa yang dilakukan manusia membawa serta hukuman dosa dan akibat dosa. Yang dimaksud dengan akibat dosa ialah melemahnya daya tahan rohani dari si pendosa dan semakin kuatnya keterlekatan pendosa pada objek dosa. Akibat dosa berkaitan dengan sikap batin dari orang yang bersangkutan.
Dokumen resmi Gereja menyebut akibat dosa ini “hukuman sementara” (KHK kan. 992) atau “siksa dosa sementara” (KGK 1471, 1472). Sakramen Rekonsiliasi memberikan pengampunan atas dosa dengan menghapuskan hukuman dosa, tapi tak langsung memperbaiki sikap batin orang itu. Di sinilah peran indulgensi. Jadi, indulgensi ialah penerapan kekayaan rohani Gereja untuk memperbaiki sikap batin pendosa atau perbaikan akibat dosa. Jika perbaikan itu menyeluruh, maka disebut indulgensi penuh, sedangkan jika perbaikan itu sebagian, maka disebut indulgensi sebagian (KHK Kan 993-994). Jadi, dosa tidak bisa dihapus dengan indulgensi. Indulgensi hanya menghapuskan akibat dosa.
Penulis : RP Petrus Maria Handoko CM
Sumber : http://www.hidupkatolik.com, Selasa, 27 Januari 2015 14:54 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar