Saya belum bisa menerima ajaran bahwa Adam dan Hawa diciptakan secara langsung oleh Allah, sehingga dianggap menjadi nenek moyang dari semua bangsa di dunia (sama seperti tafsiran umat Islam). Karena menurut keimanan dan logika, saya menganggap orang Jawa, orang Medan, orang Flores, orang Papua, atau orang aborigin mempunyai nenek moyang sendiri, dan itu bukan Adam dan Hawa. Mungkin benar bahwa Adam dan Hawa adalah manusia pertama yang jatuh ke dalam dosa. Jika memang begitu berarti belum tentu manusia mempunyai dosa asal saat lahir.
Bukankah kisah Adam dan Hawa diciptakan oleh orang Yahudi supaya dapat mengagungkan diri sebagai asal mula manusia dan sebagai bangsa paling terpilih dari semua bangsa?
Agustinus Andry, jobs.andry@gmail.com
Pertama, kisah penciptaan manusia pertama (Kej 1-2) tidak boleh ditafsirkan secara harafiah sebagai laporan sejarah, tetapi haruslah ditafsirkan sebagai kesaksian iman dari penulis suci dalam bimbingan Ilahi. Kisah ini menggunakan perlambangan bahasa biblis sehingga perlu ditafsirkan secara hati-hati dalam terang Perjanjian Baru dan tradisi otentik (KGK 375).
Bukan maksud para pengarang kedua kisah penciptaan itu untuk mengungkapkan tentang cara bagaimana dan berapa lama proses penciptaan itu. Juga perlu disimak bahwa kata ”Adam” (Hibr) berarti manusia. Maka, kisah penciptaan dalam Kej 2 merujuk ke manusia pada umumnya. Baru setelah penciptaan wanita (2:23), manusia itu dibedakan menjadi laki-laki (Hibr: ish) dan perempuan (Hibr: ishshah) (2:24).
Kedua, Gereja Katolik meminta kita untuk percaya bahwa manusia pertama (siapa pun namanya) ada karena diciptakan oleh Allah, bukan merupakan hasil proses alami melulu. Badan manusia bisa saja dipersiapkan oleh proses evolusi, tetapi jiwa manusia tetap berasal dan diciptakan oleh Allah. Karena itu, keberadaan manusia adalah ciptaan Allah. Manusia diciptakan dalam keadaan baik dan selaras dengan Allah, sesama, diri sendiri, dan alam semesta (KGK 374, 375, 376).
Ketiga, Gereja Katolik tetap teguh mengajarkan bahwa umat manusia berasal dari satu pasangan (monogenisme) (bdk KGK 390, 391, 404). Ajaran monogenisme berasal dari Konsili Trente (DS 1513), yang kemudian diteguhkan oleh Paus Pius XII (Humani Generis, 50) dan diteguhkan sekali lagi oleh Paus Paulus VI (pidato pada 11 Juni 1966). Sebenarnya ajaran monogenisme hanyalah sarana untuk mengatakan dua butir ajaran iman, yaitu: (i) bahwa kejatuhan dalam dosa adalah suatu kejadian di masa awali sejarah umat manusia; (ii) keadaan dosa itu telah diwariskan dan berkembang biak melalui kodrat manusia, sehingga mengena pada seluruh umat manusia (bdk Yoh 1:29: ”dosa dunia”) (KGK 379, 390, 397-401).
Keempat, mengambil buah-buah teori evolusi, banyak teolog yang berusaha menerima poligenisme, yaitu bahwa nenek moyang umat manusia bukanlah hanya satu pasangan tetapi banyak pasangan. Pendapat inilah yang dikemukakan dalam pertanyaan. Kesulitannya ialah bagaimana teori poligenisme bisa diselaraskan dengan kedua butir ajaran iman Gereja yang diwahyukan Allah.
Salah satunya ialah teori monoculpisme yang menggantikan monogenisme. Teori ini mengatakan bahwa ada banyak pasangan nenek moyang, tetapi Adam dan Hawa adalah manusia pertama yang jatuh ke dalam dosa. Namun, akhirnya teori ini ditolak.
Kelima, tidak benar tafsiran bahwa kisah penciptaan adalah sarana penyombongan diri orang Yahudi. Kisah penciptaan yang tertua, Kej 2:4b-25 (dari abad X seb Masehi), justru ditulis untuk melawan kecenderungan partikularisme di Israel pada waktu itu dan bertujuan untuk menunjukkan perlunya universalisme, artinya bahwa bangsa Israel terbuka terhadap bangsa lain. Dari teks penciptaan ini dan juga Kej 1:1-2:4a tidak bisa ditafsirkan bahwa Israel adalah awal mula umat manusia.
Keenam, perlu diperhatikan bahwa iman kita didasarkan pada apa yang diwahyukan oleh Allah. Allah juga memberi manusia kemampuan akal budi. Bertumpu pada iman, akal budi kita mencari pengertian yang lebih mendalam. Iman bukanlah urusan privat atau personal tetapi iman bersifat kejemaahan. Artinya, karena wahyu diterima oleh jemaah dan dihayati sebagai jemaah, maka iman masing-masing juga harus bertumpu pada iman jemaah ini. Jadi, kita tidak bisa mengatakan bertindak ”menurut keimanan” kalau kita tidak memperhatikan penafsiran dan penghayatan iman jemaah, tapi bertindak hanya menurut selera dan penafsiran pribadi. Logika (akal budi) saja tidaklah memadai untuk menafsirkan Sabda Tuhan. Akal budi kita haruslah dituntun oleh wahyu Ilahi.
Penulis : Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Kamis, 2 Mei 2013 16:11 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar