Telanjang Tapi Tak Malu
Pada Majalah HIDUP, No 40, 2 Oktober 2011 dan No 28, 14 Juli 2013, Romo memaparkan tentang kesucian seksualitas. Romo menjelaskan, “telanjang tapi tidak malu” melulu dalam kaitan dengan Allah. Apakah rasa malu itu tidak terutama diarahkan kepada sesama manusia? Saya pribadi merasa bahwa seksualitas dan kesucian itu dua hal yang saling bertentangan. Apa mungkin ada kesucian seksualitas?
Alisha Yasukawati, Jakarta
Pertama, baik kalau kita terlebih dahulu melihat makna seksualitas dalam kisah penciptaan, karena pengertian ini bisa menjadi latar belakang mencerna ungkapan “telanjang tapi tidak malu”. Ketika Adam memberi nama binatang-binatang (Kej 2:19-20), Adam menyadari keberadaannya yang berbeda dengan binatang-binatang itu. Adam merasakan kesendirian. Ia tak menjumpai
sesamanya (ay 21: “penolong yang sepadan”). Karena kata “Adam” sebenarnya berarti manusia, yang mencakup pria dan wanita, maka harus dikatakan, kesendirian ini dialami baik pria maupun wanita. Kesendirian inilah yang mendorong manusia mencari dan terarah kepada sesamanya. Paus Yohanes Paulus II dalam Teologi Tubuh menyebut hal ini sebagai “kesendirian asali” (original solitude).
Kedua, melihat manusia sendiri, Allah berkomentar, “Tidak baik, manusia itu seorang diri saja” (Kej 2:18). Karena kata “Adam” pertama-tama berarti manusia (bukan pria saja), maka komentar Allah harus pertama-tama ditafsirkan sebagai merujuk ke kebutuhan manusia akan hidup bersama, yaitu antara sesama pribadi manusia. Demikian pula, kekaguman Adam terhadap Hawa, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej 2:23) adalah kekaguman manusia yang menemukan sesama sebagai pribadi, sesudah pengalaman kesendirian.
Pada tingkatan kedua, komentar Allah (Kej 2:18) itu merujuk pada kebersamaan antara pria dan wanita dalam perkawinan sebagai perwujudan yang umum dari kebutuhan akan hidup bersama. Dalam konteks ini, kekaguman dan minta Adam pada Hawa (Kej 2:23) bisa ditafsirkan sebagai ketertarikan seksual antara pria dan wanita. Allah menciptakan dorongan seksual sebagai kekuatan mencintai dan memberikan diri agar membentuk persekutuan. “Menjadi satu daging” (ay 24) berarti persetubuhan dan juga persekutuan antara pribadi. Persekutuan antara pribadi ini juga mencerminkan manusia sebagai citra Allah. Paus Yohanes Paulus II menyebut kebutuhan akan kebersamaan ini sebagai “kesatuan asali” (original unity).
Ketiga, dalam konteks persekutuan antar-pribadi inilah muncul ungkapan, keduanya “telanjang tapi tidak malu” (Kej 2:25). Ungkapan ini oleh Paus Yohanes Paulus II dinamakan “ketelanjangan asali” (original nakedness), dan ditegaskan sebagai “kunci” untuk mengerti arti seksualitas dan rencana asali Allah untuk hidup manusia. “Malu” di sini merupakan bentuk pertahanan diri ketika manusia diperlakukan bukan sebagai pribadi, tetapi obyek dalam relasi dengan sesama. Ketika manusia memperlakukan satu sama lain dengan bebas, tulus, dan terdorong untuk memberikan diri secara total, bukan sebagai obyek, maka manusia “telanjang tapi tidak malu.” Cinta dan pemberian diri ini digambarkan secara konkret dalam persekutuan antara pria dan wanita. “Pengobyekan” manusia juga menjadi lebih jelas dalam relasi pria dan wanita ketika pihak lain diperlakukan hanya sebagai obyek dari nafsu seksual.
Sebelum manusia jatuh dalam dosa, manusia menghargai sesama sebagai pribadi, bukan sebagai obyek, sehingga manusia menjadi “anugerah” satu sama lain. Inilah rencana asali Allah. Jadi, seksualitas merupakan panggilan manusia sebagai citra Allah, yaitu untuk mencintai dan untuk membentuk persekutuan. Tubuh kita adalah tanda sekaligus sarana untuk mewujudkan panggilan mencinta dan membentuk persekutuan. Seksualitas kita (bukan hanya alat kelamin) yang diungkapkan melalui tubuh adalah sarana dari Allah untuk mewujudkan secara penuh ke-citra-an kita dengan Allah.
Penulis : Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Jumat, 25 Oktober 2013 14:38 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar