Apakah Taman Firdaus itu benar-benar ada? Seandainya manusia pertama tidak jatuh ke dalam dosa, apakah wanita tidak akan mengalami sakit bersalin dan ular tidak akan merayap di bumi? Apa artinya makan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat?
Markus Yung, Jakarta
Pertama, kisah penciptaan dan kejatuhan manusia ke dalam dosa tidak boleh ditafsirkan sebagai laporan sejarah, tetapi harus ditafsirkan sebagai kesaksian iman dari penulis suci dalam bimbingan ilahi. Bahasa simbolis dalam kisah ini perlu ditafsirkan secara hati-hati dalam terang Perjanjian Baru dan tradisi otentik (KGK 375).(bdk. HIDUP no 31, 3 Agustus 2008 dan no 39, 25 September 2011).
Kedua, kata “Eden” secara harafiah berarti “padang belantara”. Bunyi yang sama tapi beda tekanan dari kata “Eden” berarti kenikmatan, kemakmuran.
Arti kedua inilah yang dimaksud penulis untuk mengungkapkan keindahan, kebahagiaan, dan kemakmuran taman itu. Kata itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani (paradeisos) dan menjadi paradise (Ing), Firdaus (Ind).
Taman Eden adalah gambaran penulis suci tentang keadaan ideal yang diciptakan Allah sebelum manusia berdosa. Keadaan bahagia dan sejahtera ini hilang dan berubah secara drastis akibat dosa manusia pertama. Keadaan di Taman Firdaus (Kej 2:4-25) merupakan kebalikan dari keadaan konkrit manusia sesudah jatuh ke dalam dosa (Kej 3:4-24). Melalui kisah tentang Taman Firdaus ini, Allah mewahyukan ajaran iman bahwa keadaan manusia sekarang ini bukanlah keadaan yang dikehendaki oleh dan berasal dari Allah,
tetapi adalah akibat dari dosa manusia pertama. Keadaan yang memprihatinkan ini adalah keadaan sementara sebagai hukuman dari dosa manusia. Kejelekan dan keburukan ini tidak berasal dari Allah. Kisah Taman Firdaus hendak membangkitkan kerinduan akan keadaan manusia yang bebas dari dosa dan hidup bahagia dan sejahtera bersama Allah.
Ketiga, lukisan rinci tentang keadaan setelah manusia jatuh ke dalam dosa, bertujuan menunjukkan kerusakan-kerusakan yang terjadi karena dosa. Kerusakan itu bisa dibedakan menjadi empat bidang relasi manusia.
- relasi kasih dengan Allah yang menyejukkan rusak menjadi relasi yang menakutkan: “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada di taman itu, aku menjadi takut...” (Kej 3:10). Kehadiran Allah menakutkan karena manusia takut akan hukuman-Nya.
- relasi intim dengan sesama manusia menjadi rusak, yaitu manusia tidak mau bertanggungjawab atas perbuatannya, dan melemparkan tanggung jawab atas kesalahannya kepada sesamanya (3:12-13). Relasi suami istri yang indah berubah menjadi relasi yang mendominasi dan mengobyekkan. Hal ini diungkapkan dengan kata “telanjang” (3:10.11) Kehadiran anak yang seharusnya menjadi ungkapan kebahagiaan menjadi sebab susah payah dan kesakitan (3:16).
- relasi dengan diri sendiri juga dirusak, artinya manusia tidak kuasa menahan dorongan-dorongan dari dalam (nafsu) meskipun akibatnya jelas menyakitkan (3:16 “engkau akan birahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu”).
- relasi manusia dengan alam semesta juga dirusak: manusia harus bekerja keras mencari nafkah (3:17-19). Binatang-binatang, yang termasuk alam semesta, bermusuhan dengan manusia dan menjadi ancaman atas hidup manusia (3:15). Relasi selaras manusia menjadi rusak pada setiap bagiannya, karena dosa.
Keempat, makan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat adalah ungkapan simbolis yang berarti bahwa manusia dengan kebebasannya mau menentukan sendiri kriteria moral, lepas dari apa yang telah ditentukan oleh Allah. Dalam arti itu, manusia mengambil alih kedudukan Allah (“kamu akan menjadi seperti Allah”) sebagai penentu baik dan buruk. Inilah inti dosa yang sampai sekarang masih terus terjadi. Manusia tidak mau mengikuti kriteria baik-buruk yang ditetapkan oleh Allah, tidak mau mengikuti kehendak Allah (taat), tetapi mau mengatur dirinya sendiri lepas dari Allah. Maka dosa juga berarti bahwa manusia mau mewujudkan diri di luar Allah.
Penulis : Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Jumat, 11 Oktober 2013 16:23 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar