Berdoa ternyata sebuah aktivitas dalam kehidupan iman dan agama yang tidak langsung bisa dipahami semua orang dan semua pihak. Terlebih jika pemahaman ini hendak disimpulkan dari praktik berdoa dari berbagai umat beragama. Pada umumnya ketika seorang Katolik mengatakan, ”Saya berdoa”, itu mengacu pada sikap batin, perasaan rohani dan hati. Sikap doa umat Katolik tidak terlalu sering mengacu pada ritual. Umat beragama lain memiliki nuansa yang berbeda ketika mengatakan, ”Saya berdoa”. Sangat mungkin dia mengacu pada praktik doa yang lebih bersifat ritual, terbuka dan bersama-sama.
Meski demikian, Gereja Katolik juga memiliki doa liturgi, yaitu doa-doa yang pada umumnya dilakukan bersama dengan ritus-ritusnya disertai dengan teks permanen. Liturgi dan perayaan Ekaristi adalah doa ritual yang mengambil posisi sangat penting dalam kehidupan iman umat Katolik.
Pertanyaan klasik dan ‘licin’ dari sebagian umat adalah, bukankah lebih baik kita berdoa dari hati dan sikap batin daripada penuh dengan ritual dan seremonial tetapi tidak muncul dari kedalaman rohani? Bukankah formalisme membunuh keintiman kita dengan Tuhan dan diri sendiri? Dengan demikian doa tidak perlu bersamasama di Gereja?
Menarik sekali bahwa agama-agama lain sangat mendorong doa dilakukan bersama-sama juga. Doa bersama diyakini lebih menyenangkan hati Tuhan karena mencerminkan kebersamaan dan persatuan. Tentu ini tidak berarti bahwa doa pribadi yang memperkaya ‘batin’ dilarang. Doa bersama dan doa pribadi itu saling melengkapi. Keduanya menjawab undangan Yesus agar kita semua tetap berjaga dan berdoa (Mrk 13:33; Luk 18:1-8, 21, 36; Kol 1:9).
Devosi pada Bunda Maria, sambil tetap ingat bahwa doa umat Katolik bersifat ‘trinitarian’, akan memperkaya penghayatan doa ‘jamaah’ dan doa personal.
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Rabu, 26 Februari 2014 14:23 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar