BAB I
PENDAHULUAN
Kata evolusi menurut kamus Webter’s II mempunyai arti suatu proses perubahan atau perkembangan secara bertahap atau perlahan. Sedangkan lawan katanya revolusi yang berarti proses perubahan secara tiba – tiba (cepat atau radikal) pada suatu keadaan atau pada suatu system. Kata evolusi digunakan pertama kali oleh Herbert spencer, seorang ahli filsafat inggris oleh karena itu Spencer konsep evolusi yang dilontarkan dari waktu melalui perubahan bertingkat sehingga istilah tersebut tidak ada kaitannya dengan pembahasan dibidang biologi.
Evolusi merupakn kata yang umum yang dipakai orang untuk menunjukkan adanya suatu perubahan, perkembangan atau pertumbuhan secara berangsur – angsur. Perubahan tersebut dapat terjadi karena pengaruh alam ataupun rekayasa manusia. Penggunanan lebih lanjut istilah evolusi akhirnya keberbagai hal atau bidang. Binatang – binatang dan planet – planet, ternasuk bumi kita senantiasa mengalami evolusi. Tingkah laku manusia, arsitektur bangunan, mode busana, bahkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni juga mengalami perubahan atau evolusi.
Tiga teori sejarah kehidupan
- Penciptaan terpisah
- Transformisme
- Evolusi.
Ada tiga macam bukti untuk menguji ketiga teori diatas. Pertama, adalah pengamatan evolusi dalam sksla kecil. Kedua, argument klasifikasi, yang membicarakan pola – pola tertentu dari diversitas kehidupan, dan Ketiga, adalah bukti fosil.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teori Kejadian Jagad Raya
Sebelum diketemukan teori tentang asal usul alam raya para pakar mengatakan bahwa alam semesta tidak terhingga besarnya, tak terbatas, dan tak berubah status totalitasnya dari waktu kewaktu tak terhingga lamanya dari waktu lampau sampai waktu tak berhingga lamanya dimasa yang akan datang. Hal ini berlandaskan pada hukum kekekalan masa yang mereka yakini. Secara umum dikatakan bahwa alam ini kekal dan nyata tidak mengakui adanya penciptaan alam. Pada tahun 1929 terjadi pergeseran pandangan dilingkungan para ahli tentang penciptaan alam dengan menggunakan teropong besar Hubble melihat galaksi – galaksi yang tampak menjahui galaksi kita dengan kelajuan yang sebanding dengan jaraknya dari bumi, yang terjauh bergerak paling cepat meninggalkan galaksi kita. Penemuan inilah yang mengawali perkembangan teori tentang asal usul terjadinya jagat raya, yakni:
- Teori keadaan tetap (Steady – State Theory)
- Teori Dentuman Besar (Big Bang Theory)
- Teori Osilasi
2.2 Kejadian Jagad Raya Menurut Islam
Sungguh sangat menarik untuk membandingkan konsep pembentukan alam raya ini dengan pandangan dari Agama Islam terhadap pandangan dari kosmologi. Terjadinya alam raya ini seperti difirmankan dalam Al-Qur’an surat Fush Shilat 41 ayat 11 – 12 yang maknanya kira – kira adalah :
“ Kemudian ia merancang dari langit dan bumi yang masih berbentuk gas seperti asap. Lalu tuhan berfirman kepada langit dan kepada bumi sekaligus: “ jadikanlah, engkau keduanya, secara sukarela atau terpaksa “. Langit dan bumi berkata : “ kami jadi secara sukarela (patuh)”. Lalu diselesaikan –Nya penciptaannya menjadi tujuh langit dalam dua rangkaian waktu (masa). Kepada setiap langit diwahyukan tentang hukumnya sendiri – sendiri. Dan kami hiasi langit terdekat dengan bintang – bintang siarat yang merupakan lentera – lentera (lampu – lampu) dan pelindungan – pelindungan yang berkelip – kelip”. Makna yang dirangkum di atas setelah mempelajari beberapa terjemahan dan terutama didasarkan pada perbandingan terjemahan Al-Qur’an kedalam bahasa inggris oleh Khatib atas tugas Universitas Al – Azhar pada tahun 1984, Abdullah Yusuf’Ali dan Asad.
Teori Ledakan Maha Dahsyat juga tergambarkan dalam firman Allah pada Al- Qur’an surat Anbiya(21) ayat 30 : yang maknanya kira – kira: “Apakah mereka orang – orang kafir itu tidak mengutahui bahwa langit – langit (ruang alam) dan bumi (materi alam) itu asalnya berpadu, lalu kami pisahkan keduanya. Selanjutnya, kami buat dari air semua makhluk hidup. Mengapa mereka tidak neriman juga?“
Dari ilmu pengetahuan kita mengetahui bahwa setelah terjadinya ledakan meha dahsyat, menurut perkiraan para ahli, zat yang mula – mula terpecah – pecah menjadi zarah yang paling sederhana, yakni hydrogen : yang merupakan unsur pembentukan air lama kelamaan dari hydrogen ini melalui reaksi (perpaduan) terbentuk senyawa – senyawa lainnya diantaranya bila bereaksi dengan oksigen akan membentuk air. Air merupakan suatu zat cair dengan sifat – sifat yang mengagumkan yakni karena kemampuannya melarutkan garam – garam dan zat – zat kimia lain yang diperlukan oleh kehidupan.
Teori Ledakan Maha Dahsyat juga mengatakan adanya pemuaian alam semesta. Hal ini sejalan dengan Al-Qur’an surat Adz- Dzaariyaat(51) ayat 47, yang maknanya kira – kira : “ Dan langit (ruang alam) itu kami bangun dengan kekuatan, dan kamilah yang sesungguhnya yang meluaskannya”.
Selanjutnya, mengenai ekspansi alam semesta ini, yang menaburkan materi paling tidak sebanyak 100 milyar galaksi yang masing – masing berisi rata – rata 100 milyar bintang itu. Kekuatan yang dilibatkan dalam pembangunan alam semesta ini, dan yang mampu melemparkan kira – kira 10.000 milyar bintang yang masing – masing massanya sekitar massa matahari ke seluruh pelosok alam itu, tentu saja tidak dapat kita bayangkan. Dari pembandingan semacam ini dapat kita ketahui bahwa pada akhirnya, fisika yang dikembangkan untuk mencari kebenaran sampai juga pada fakta yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an. Kenyataan ini menggusarkan para fisikawan pada umumnya karena penciptaan alam raya dari ketiadaan memerlukan adanya sang Pencipta Yang Maha Kuasa, suatu keadaan yang mereka ingin hindari. Sebab mereka hanya membicarakan apa – apa yang dapat dinderakan atau dideteksi dengan peralatan saja.
Oleh karenanya, maka beberapa pakar fisika mencoba mengelakkan penciptaan alam ini dengan melontarkan teori – teori tandingan seperti teori alam yang berosilasi, yakni alam semesta yang berkembang kempis, yang meledak dan berekspansi untuk kemudian kembali mengecil berulang – ulang tanpa awal tanpa akhir, namun kosmos yang berkelakuan seperti itu tidak dapat dibenarkan secara termodinamis. Usaha lain dengan mengemukakan Teori Alam Keadaan Tetap (Ajeng), yang mengatakan bahwa galaksi – galaksi boleh terbang ke seberang sana tetapi ruang yang ditinggalkannya akan terisi lagi oleh materi baru, namun teori ini menjadi tidak berlaku setelah pada tahun 1964, Wilson dan Penzias dalam observasinya ke segenap penjuru alam menemukan sisa – sisa kilatan dentuman besar yang terjadi sekitar 15 milyar tahun yang lalu.
Hal tersebut diatas, sejalan dengan Al-Qur’an surat Fush-Shilat(41) ayat 53 , yang maknanya kira – kira adalah : “ Akan kami perlihatkan kepada mereka ayat – ayat kami segenap penjuru dan dalam diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu yang benar”. Belumkah cukup bahwa tuhanmu menyaksikan segala – galanya? Allah SWT telah memenuhi janjinya itu dengan memperlihatkan ekspansi kosmos (alam semesta) dan memperlihatkan sisa – sisa kilatan dentumun besar, dan Yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih akan memperlihatkan berkali – kali lagi ayat – ayat-Nya, untuk menolong hamba – hamba-Nya dari kesesatan. Meskipun jelas fakta – fakta yang diungkapkan oleh sang pencipta dan para pakar fisika dapat menangkap dan mengetahuinya, namun terdapat perbedaan besar antara ajaran fisika (sains) dengan ajaran agama. Kalau dalam fisika filsafat ilmu itu mendorong para pakarnya untuk menghindari dari tindakan melibatkan Tuhan Yang Maha Esa dan mengatakan bahwa alam tercipta dengan sendirinya, maka dalam ajaran Agama Islam justru Allah SWT pemegang peranan utama alam semesta ini.
Pada teori Ledakan Maha Dahsyat, juga mengatakan adanya pemuaian alam semesta. Kemudian galaksi itu akan hancur kembali dan diserap oleh suatu lubang hitam, yang mungkin diisyaratkan dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiyaa’(21) ayat 104, yang maknanya kira – kira : “ Pada hari itu kami gulung langit (bentuk tunggal) seperti menggulung gulungan perkamen untuk tulisan. Sebagaimana janji kami yang telah memulai penciptaan pertama, kami akan melaksanakannya”.
3.1 Penciptaan Bumi
Kapan dimana dan dengan cara bagaimana kehidupan di bumi ini berawal? adalah pertanyaan yang terus menggoda para ilmuwan. Berbagai teori asal-usul kehidupan telah disusun oleh para pakar tetapi belum ada satupun teori yang diterima secara memuaskan oleh semua pihak.
Teori Generatio Spontanea
Disebut juga teori Abiogenesis pelopornya seorang ahli filsafat zaman Yunani Kuno Aristoteles (384-322 SM) yang berpendapat bahwa makhluk hidup terjadi begitu saja pendapat ini masih terus bertahan sampai abad kc 17 -18 Anthony van Leenwenhoek (abad ke 18) berhasil membuat mikroskop dan melihat jasad renik di dalam air bekas rendaman jerami penemuan Leeuwenhoek (salah seorang penganut teori abiogenesis) memperkuat teori generatio spontanea teori terbukti makhluk hidup berasal dari benda mati (jasad renik berasal dari air bekas rendaman jerarni). Beberapa ahli berusaha mengadakan penelitian untuk menyangkal teori generatio spontanea antara lain Franscesco Redi, Spallanzani dan Louis Pasteur.
Evolusi Kimia
Menerangkan bahwa terbentuknya senyawa organik terjadi secara bertahap dimulai dari bereaksinya bahan-bahan anorganik yang terdapat di dalam atmosfer primitif dengan energi halilintar membentuk senyawa-senyawa organik kompleks.
Stanley Miller mencoba mensimulasikan kondisi atmosfer purba di dalam skala laboratorium. Miller memasukkan gas H2, CH4 (metan), NH3 (amonia) dan air ke dalam alat. Air dipanasi sehingga uap air bercampur dengan gas-gas tadi. Sebagai sumber energi yang bertindak sebagai “halilintar” agar gas-gas dan uap air bereaksi, digunakan lecutan aliran listrik tegangan tinggi. Ternyata timbul reaksi, terbentuk senyawa-senyawa organik seperti asam amino, adenin dan gula sederhana seperti ribosa.
Evolusi Biologi
Alexander Oparin mengemukakan di dalam atmosfer primitif bumi akan timbul reaksi-reaksi yang menghasilkan senyawa organik dengan energi pereaksi dari radiasi sinar ultra violet. Senyawa organik tersebut merupakan “soppurba” tempat kehidupan dapat muncul. Senyawa organik akhirnya akan membentuk timbunan gumpalan (koaservat). Timbunan gumpalan (koaservat) yang kaya akan bahan-bahan organik membentuk timbunan jajaran molekul lipid sepanjang perbatasan koaservat dengan media luar yang dianggap sebagai “selaput sel primitif” yang memberi stabilitas pada koaservat. Meskipun begitu Oparin tetap berpendapat amatlah sulit untuk nantinya koaservat yang sudah terbungkus dengan selaput sel primitif tadi akan dapat menghasilkan “organisme heterotrofik” yang dapat mereplikasikan dirinya dan mengambil nutrisi dari “sop purba” yang kaya akan bahan-bahan organik dan menjelaskan mekanisme transformasi dari molekul-molekul protein sebagai benda tak hidup ke benda hidup. Teori evolusi kimia telah teruji melalui eksperimen di laboratoriurn, sedang teori evolusi biologi belum ada yang menguji secara eksperimental. Walaupun yang dikemukakan dalam teori itu benar, tetap saja belum dapat menjelaskan tentang dari mana dan dengan cara bagaimana kehidupan itu muncul, karena kehidupan tidak sekadar menyangkut kemampuan replikasi diri sel. Kehidupan lebih dari itu tidak hanya kehidupan biologis, tetapi juga kehidupan rohani yang meliputi moral, etika, estetika dan inteligensia.
3.2 Teori Penciptaan dalam Islam
Teori penciptaan dalam Islam adalah kepercayaan bahwa alam semesta (termasuk umat manusia dan semua makhluk yang lain) tidak hanya yang diciptakan oleh Allah, tetapi juga dijalankan oleh Allah dalam setiap waktu, sebagaimana dijelaskan Allah dalam ayat berikut, ‘Berkata Firaun, ‘Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa?’ Musa berkata, ‘Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.’’ (Thaha: 49-50)
Inilah teori penciptaan dalam Islam. Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia mengendalikan alam semesta menurut kehendak-Nya sesuai fungsi dan peran yang spesifik.
Dalam teori penciptaan dalam Islam, Allah menentukan peran bagi Hawa, seorang perempuan diciptakan dari laki-laki, yang ditugaskan di Al-Qur’an dengan ayat-ayat berikut:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rum: 21)
Menurut teori penciptaan dalam Islam, seperti yang telah dinyatakan, peran Tuhan lebih dari dari sekedar menciptakan manusia. Dalam menjawab pertanyaan berikut ini yang disebut secara berturut-turut di salah satu dari surat, kita dapat mendefinisikan peran rahmat-Nya:
“Kami telah menciptakan kamu, maka mengapa kamu tidak membenarkan (hari berbangkit)?”(al-Waqi’ah: 57)
‘Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kami kah yang menciptakannya?’ (al-Waqi’ah: 58-59)
‘Bahkan kami menjadi orang yang tidak mendapat hasil apa-apa. Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Kalau Kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?’ (Waqi’ah: 67-70)
‘Maka terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan (dari gosokan-gosokan kayu). Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kami-kah yang menjadikannya?’ (Waqi’ah: 71-72)
Menurut ayat-ayat tersebut, teori penciptaan dalam Islam mencakup:
- Allah menentukan desain fitur-fitur manusia dalam air sperma yang dipancarkan manusia dengan DNA yang spesifik, peta genetika atau jumlah chromosom bersama antara pasangan perkawinan, laki-laki dan perempuan.
- Allah menjaga sumber kelangsungan kehidupan makhluk-Nya. Karena itu, Allah mengatur kerajaan tumbuhan sebagai makhluk otonom yang menyediakan makanan yang diperlukan untuk kerajaan manusia.
- Dia mengatur siklus untuk menghasilkan air tawar untuk minuman manusia dan pengairan tanaman yang mereka makan.
- Allah mengelola pasokan energi untuk makhluk-Nya demgam proses fotosintesis yang ajaib, yang menyimpan energi dari matahari menjadi buah yang dapat dimakan.
‘Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: ‘Bersujudlah kamu kepada Adam’; maka mereka pun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud.’ (al-A’raf: 11)
Jadi, Allah dalam teori Penciptaan dalam Islam tidak hanya membuat badan kita hidup, tetapi ia juga membentuk rupa kita agar terlihat seperti rupa manusia. Jadi, Allah memiliki nama lain dalam Al-Qur’an selain al-Khaliq (Pencipta), yaitu al-Mushawwir (Yang membentuk rupa).
Allah berfirman, ‘Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’ (al-Hasyr: 24)
2.4 Asal Usul Kehidupan Dan Keanekaragaman Jenis
2.4.1 Teori Evolusi dan Asal Usul Manusia
Evolusi adalah perubahan genotip pada suatu populasi yang berlangsung secara perlahan-lahan dan memerlukan waktu yang sangat panjang.
Teori evolusi menurut Jean Lamarck
- Evolusi organik terjadi karena perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pengaruh lingkungannya dapat diturunkan.
- Organ yang mengalami perubahan karena terus menerus dipakai akan berkembang makin sempurna dan organ yang tidak diperlukan lagi lama kelamaan perkembangannya menurun dan akhirnya rudiment atau atrofi.
Teori evolusi menurut Charles Darwin
- Spesies yang ada sekarang adalah keturunan dari spesies-spesies sebelumnya.
- Seleksi alam sangat menentukan berlangsungnya mekanisme evolusi.
- Seleksi alam merupakan gagasan murni dari Darwin. Sementara teori pertama di atas telah ada sejak jama Yunani kuno, hanya saja Darwin menjelaskannya secara lebih tajam dan detil.
Ciri-ciri proses evolusi
- Evolusi adalah perubahan dalam satu populasi BUKAN perubahan individu.
- Perubahan yang terjadi hanya frekuensi gen-gen tertentu, sedangkan sebagian besar sifat gen tidak berubah.
- Evolusi memerlukan penyimpangan genetik sebagai bahan mentahnya. Dengan kata lain harus ada perubahan genetik dalam evolusi.
- Dalam evolusi perubahan diarahkan oleh lingkungan, harus ada faktor pengarah sehingga evolusi adalah perubahan yang selektif.
Faktor perubahan
- Mutasi gen maupun mutasi kromosom menghasilkan bahan mentah untuk evolusi. Tetapi Darwin sendiri sebenarnya tidak mengenal mutasi ini, sementara mutasi merupakan peristiwa yang sangat penting yang mendukung keabsahan teori Darwin
- Rekombinasi perubahan yang dikenal Darwin. Rekombinasi dari hasil-hasil mutasi memperlengkap bahan mentah untuk evolusi.
Faktor pengarah :
- Dalam setiap species terdapat banyak penyimpangan yang menurun, karenanya dalam satu species tidak ada dua individu yang tepat sama dalam susunan genetiknya (pada saudara kembar misalnya, susunan genetiknya tetap tidak sama).
- Pada umumnya proses reproduksi menghasilkan jumlah individu dalam tiap generasi lebih banyak daripada jumlah individu pada generasi sebelumnya.
- Penambahan individu dalam tiap species ternyata dikendalikan hingga jumlah suatu populasi species dalam waktu yang cukup lama tidak bertambah secara drastis.
- Ada persaingan antara individu-individu dalam species untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya dari lingkungannya. Persaingan intra species ini terjadi antara individu-individu yang berbeda sifat genetiknya. Individu yang mempunyai sifat paling sesuai dengan lingkungannya akan memiliki viabilitas yang tinggi. Di samping viabilitas juga fertilitas yang tinggi merupakan faktor yang penting dalam seleksi alam. Mekanisme evolusi terjadi karena adanya variasi genetik dan seleksi alam. Variasi genetik muncul akibat : mutasi dan rekombinasi gen-gen dalam keturunan baru.
Frekuensi Gen
Pada proses evolusi terjadi perubahan frekuensi gen. Bila perbandingan antara genotp-genotp dalam satu populasi tidak berubah dari satu generasi ke generasi, maka frekuensi gen dalam populasi tersebut dalam keadaan seimbang.
Frekuensi gen seimbang bila :
Frekuensi gen seimbang bila :
- Tidak ada mutasi atau mutasi berjalan seimbang (jika gen A bermutasi menjadi gen a, maka harus ada gen a yang menjadi gen A dalam jumlah yang sama).
- Tidak ada seleksi
- Tidak ada migrasi
- Perkawinan acak
- Populasi besar
Bila frekuensi gen dalam satu populasi ada dalam keadaan seimbang berlaku Hukum Hardy Weinberg. Apabila frekuensi gen yang satu dinyatakan dengan p dan alelnya adalah q, maka menurut Weinberg : (p+q)=1 Bila frekuensi gen A=p dan frekuensi gen a =1 maka frekuensi genotip : AA : Aa : aa : p^2 : 2pq : q^2.
Terbentuknya spesies baru dapat terjadi karena :
- Isolasi waktu Misalnya adalah kuda. Kuda jaman eosen yaitu Eohippus – Mesohippus – Meryhippus – Pliohippus – Equus. Dari jaman eosin hingga sekarang seorang ahli palaentolog menduga telah terjadi 150 ribu kali mutasi yang menguntungkan untuk setiap gen kuda. Dengan dmikian terdapat cukup banyak perbedaan antara nenek moyang kuda dengan kuda yang kita kenal sekarang. Oleh sebab itu kuda-kuda tersebut dinyatakan berbeda species.
- Isolasi geografis Burung Fringilidae yang mungkin terbawa badai dari pantai Equador ke kepulauan Galapagos. Karena pulas-pulau itu cukup jauh jaraknya maka perkawinan populasi satu pulau dengan pulau lainnya sangat jarang terjadi. Akibat penumpukan mutasi yang berbeda selama ratusan tahun menyebabkan kumpulan gen yang jauh berbeda pada tiap-tiap pulaunya. Dengan demikian populasi burung di tiap-tiap pulau di kepulauan Galapagos menjadi spesies yang terpisah.
- Domestikasi Hewan ternak yang dijinakkan dari hewan liar dan tanaman budi daya dari tumbuhan liar adalah contoh domestikasi. Domestikasi memindahkan makhluk-makhluk tersebut dari habitat aslinya ke dalam lingkungan yang diciptakan manusia. Hal ini mengakibatkan muncul jenis hewan dan tumbuhan yang memiliki sifat menyimpang dari sifat aslinya.
- Mutasi kromosom adalah peristiwa terjadinya species baru secara cepat.
Isolasi Reproduksi
Tanda dua populasi berbeda species bila mereka tidak dapat berhybridisasi disebut juga bila mereka mengalami Isolasi reproduksi. Isolasi reproduksi terjadi karena :
- Isolasi ekologi : isolasi karena menempati habitat yang berbeda.
- Isolasi musim : akibat berbeda waktu pematangan gamet
- Isolasi tingkah laku : akibat berbeda tingkah laku dalam hal perkawinan.
- Isolasi mekanik : karena bentuk morfologi alam kelamin yang berbeda.
- Isolasi gamet : karena gamet jantan tidak memiliki viabilitas dalam alat reproduksi betina.
- Terbentuknya basta mandul
- Terbentuk bastar mati bujang
- Adanya variasi antara individu-individu dalam satu keturunan.
- Adanya pengaruh penyebaran geografis
- Adanya fosil-fosil di berbagai lapisan bumin yang menunjukkan perubahan secara perlahan-lahan.
- Adanya data sebagai hasil studi mengenail komperatif perkembangan embrio.
2.5 Posisi Adam dalam Teori Evolusi
2.5.1 Konsep Penciptaan Adam Menurut Al-qur’an
Wacana tentang asal-usul manusia, menjadi satu hal yang menarik untuk dikaji dan dikaji lagi lebih dalam. Dua konsep (konsep evolusi dan konsep Adam sang manusia pertama) menimbulkan perdebatan yang tak habis-habis untuk dibahas.
Di satu sisi konsep evolusi menawarkan satu gagasan bahwa manusia adalah wujud sempurna dari evolusi makhluk di bumi ini. Sedangkan konsep yang kedua mengatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa.
Sedikit disinggung di atas, bahwa adanya manusia menurut al-Qur’an adalah karena sepasang manusia pertama yaitu Adam dan Hawa. Disebutkan bahwa, dua insan ini pada awalnya hidup di Surga. Namun, karena melanggar perintah Allah maka mereka diturunkan ke bumi. Setelah diturunkan ke bumi, sepasang manusia ini kemudian beranak-pinak, menjaga dan menjadi wakil-Nya di dunia baru itu.
Tugas yang amat berat untuk menjadi penjaga bumi. Karena beratnya tugas yang akan diemban manusia, maka Allah memberikan pengetahuan tentang segala sesuatu pada manusia. Satu nilai lebih pada diri manusia, yaitu dianugerahi pengetahuan. Manusia dengan segala kelebihannya kemudian ditetapkan menjadi khalifah di bumi ini. Satu kebijakan Allah yang sempat ditentang oleh Iblis dan dipertanyakan oleh para malaikat. Dan Allah berfirman: “….Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka…” (al-Baqarah ayat 33). Setelah Adam menyebutkan nama-nama itu pada malaikat, akhirya Malaikatpun tahu bahwa manusia pada hakikatnya mampu menjaga dunia.
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah SWT. Dengan segala pengetahuan yang diberikan Allah manusia memperoleh kedudukannya yang paling tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya. Inipun dijelaskan dalam firman Allah SWT: “…..kemudian kami katakan kepada para Malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (al-Baqarah ayat 34). Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan dibanding makhluk Allah yang lainnya, bahkan Malaikat sekalipun.
Menjadi menarik dari sini jika legitimasi kesempurnaan ini diterapkan pada model manusia saat ini, atau manusia-manusia pada umumnya selain mereka para Nabi dan orang-orang maksum. Para nabi dan orang-orang maksum menjadi pengecualian karena sudah jelas dalam diri mereka terdapat kesempurnaan diri, dan kebaikan diri selalu menyertai mereka. Lalu, kenapa pembahasan ini menjadi menarik ketika ditarik dalam bahasan manusia pada umumnya. Pertama, manusia umumnya nampak lebih sering melanggar perintah Allah dan senang sekali melakukan dosa. Kedua, jika demikian maka manusia semacam ini jauh di bawah standar Malaikat yang selalu beribadah dan menjalankan perintah Allah SWT, padahal dijelaskan dalam al-Qur’an Malaikatpun sujud pada manusia. Kemudian, ketiga, bagaimanakah mempertanggungjawabkan firman Allah di atas, yang menyebutkan bahwa manusia adalah sebaik-baiknya makhluk Allah.
Membahas sifat-sifat manusia tidaklah lengkap jika hanya menjelaskan bagaimana sifat manusia itu, tanpa melihat gerangan apa di balik sifat-sifat itu. Murtadha Muthahari di dalam bukunya Manusia dan Alam Semesta sedikit menyinggung hal ini. Menurutnya fisik manusia terdiri dari unsur mineral, tumbuhan, dan hewan. Dan hal ini juga dijelaskan di dalam firman Allah : Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan memulai penciptaan manusia dai tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (as-Sajdah ayat 7-9). Sejalan dengan Muthahari dan ayat-ayat ini, maka manusia memiliki unsur paling lengkap dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Selain unsur mineral, tumbuhan, dan hewan (fisis), ternyata manusia memiliki jiwa atau ruh. Kombinasi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk penuh potensial.
Jika unsur-unsur ditarik garis lurus maka, ketika manusia didominasi oleh unsur fisisnya maka dapat dikatakan bahwa ia semakin menjauhi kehakikiannya. Dan implikasinya, manusia semakin menjauhi Allah SWT. Tipe manusia inilah yang dalam al-Qur’an di sebut sebagai al-Basyar, manusia jasadiyyah. Dan demikianpun sebaliknya, semakin manusia mengarahkan keinginannya agar sejalan dengan jiwanya, maka ia akan memperoleh tingkatan semakin tinggi. Bahkan dikatakan oleh para sufi-sufi besar, manusia sebenarnya mampu melampaui malaikat, bahkan mampu menyatu kembali dengan sang Khalik. Manusia seperti inilah yang disebut sebagai al-insaniyyah.
Luar biasanya manusia jika ia mampu mengelola potensinya dengan baik. Di dalam dirinya ada bagian-bagian yang tak dimiliki malaikat, hewan, tumbuhan, dan mineral—satu persatu. Itu karena di dalam diri manusia unsur-unsur makhluk Allah yang lain ada. Tidak salah bila dikatakan bahwa alam semesta ini makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmosnya.
Substansi dari dialog dengan malaikat (Q.s. al-Baqarah: 30-31 ) adalah penegasan bahwa sesungguhnya Allah sebagai Pencipta atau Penjadi khalifah di muka bumi ini. Kata “jaa`ilun” sebagai konstruksi isim fa`il yang berarti subyek pelaku dalam frasa Innii jaa’ilun fi al-ardhi khaliifah tidak harus diartikan “hendak menjadikan khalifah di muka bumi”. Seandainya arti ini yang dipahami, maka tidak ada khalifah sebelum Adam. Konseksuensi logisnya, Adam adalah manusia pertama.
Seandainya frasa tersebut dikembalikan pada makna asalnya sebagai isim fa‘il, maka hal itu mengisyaratkan bahwa Allah—sebelum atau sesudah terjadinya dialog dengan malaikat sebagaimana yang termaktub dalam ayat tersebut—selalu menjadikan khalifah di muka bumi. Dengan demikian, Adam bukanlah khalifah yang pertama dan bukan pula manusia yang pertama yang diciptakan Allah.
Kemudian, ayat-ayat tersebut memunculkan wacana bahwa seolah-olah malaikat mempunyai pengalaman mengamat-amati sepak terjang sang khalifah. Tampaknya malaikat khawatir akan masa depan khalifah baru yang bernama Adam itu, seandainya perilaku destruktif akan menghancurkan tatanan taqdis dan tasbih malaikat. Kita hanya bisa menduga-duga kategori khalifah yang seperti apakah yang telah (dan akan) melakukan perbuatan tercela itu. Tidak ada keterangan yang jelas perihal khalifah versi malaikat yang dimaksud. Al-Qur’an dalam Q.s. Shaad: 67-73 dengan tegas menyatakan untuk tidak memperpanjang bantah-bantahan ini.
Ada riwayat yang mengasumsikan bahwa iblis atau jin sebagai khalifah sebelum Adam. Qatadah, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas menduga, bahwa khalifah yang dimaksud adalah khalifah dari golongan jin yang diduga berbuat kerusakan. Asumsi ini berdasarkan analisis ayat yang menerangkan bahwa jauh sebelum manusia diciptakan, Allah telah menciptakan jin (Ibn-Katsir, Qishashul Anbiya’, hlm. 2).
Benar bahwa jin (dan malaikat) diciptakan sebelum Adam berdasarkan Q.s. al-Hijr: 26-27, namun apakah mereka—khususnya para jin—berperan sebagai khalifah di muka bumi? Pendapat para sahabat tersebut tampaknya hanyalah praduga saja. Lagi pula tidaklah mungkin bumi yang kasat mata ini diwariskan kepada para jin yang tidak kasat mata. Bentuk pengelolaan semacam apakah seandainya para jin yang berfungsi sebagai khalifah di muka bumi ini.
Khalifah sebelum Adam dan khalifah yang hendak diciptakan Allah ini adalah khalifah yang benar-benar berasal dari golongan manusia. Perhatikan ayat berikut ini: Dan Dialah yang telah menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat ‘iqab-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang. (Q.s. al-An’am: 165).
Ayat tersebut kembali menegaskan bahwa sesungguhnya Allah adalah pencipta para khalifah di muka bumi ini. Kata ganti orang kedua (dhamir mukhatab) pada ja’alakum merujuk pada seluruh umat manusia. Menilik pada keumuman lafadz ini, apabila dikaitkan dengan pertanyaan malaikat tentang penciptaan khalifah, maka khalifah sebelum Adam adalah khalifah dari golongan manusia juga. Ada banyak “Adam-Adam” lain yang sebelumnya diciptakan Allah dengan fungsi yang sama namun dengan karakter yang berbeda; destruktif.
2.5.2 Adam dan Instalasi al-Asma’
Dengan mengorelasikan fakta-fakta arkeologis tentang ragam manusia sebelum Homo Sapiens, tampaknya selaras dengan karakter “destruktif” sebagai yang digambarkan malaikat. Namun, bukankah karakter hominid memang demikian? Manusia-manusia tersebut mempunyai struktur fisik yang hampir mirip manusia (kalau tidak ingin dikatakan hampir mirip kera). Mereka tercipta dengan volume otak yang kecil yang dengan sendirinya perilakunya pun cenderung tanpa tatanan manusiawi atau bersifat kebinatangan. Mereka tidak layak disebut sebagai khalifah. Sementara itu, khalifah mempunyai kedudukan yang terhormat sebagai “duta” Allah untuk mengelola bumi ini.
Di sinilah letak diskontinuitas itu. Ternyata, kita tidak bisa mengorelasikan fakta sejarah manusia (asal mula manusia menurut para penganut evolusionisme) dengan asal-usul Adam. Ada banyak keterserakan, sebagaimana yang dideskripsikan Michel Foucault, diskontinuitas dipahami sebagai terserak dan berkecambahnya sejarah ide-ide dan munculnya periode-periode yang begitu panjang dalam sejarah itu sendiri. Dalam pengertian tradisional, sejarah semata-mata selalu tertuju pada keinginan untuk menentukan relasi-relasi kausalitas, determinasi sirkular, antagonisme dan relasi ekspresi antara berbagai fakta dan kejadian yang terekam oleh manusia (The Archeology of Knowledge, hlm. 10).
Keterserakan ini yang menyangkut relasi-relasi kausalitas, determinasi sirkular, antagonisme dan relasi ekspresi antara berbagai fakta dan kejadian yang terekam oleh manusia. Celakanya, kita menganggap bahwa data-data historis tentang bapak manusia itu dirasa cukup hanya dengan ditafsirkan oleh data-data hadits yang sangat dipengaruhi oleh kisah-kisah israiliyat (Bible). Seandainya kita hendak meneliti sejarah penciptaan ini, meminimalisasi diskontinuitas dengan “comot sana comot sini” dari data-data Biblikal bukanlah semangat Qur’anik. Bukankah sejak awal al-Qur’an diturunkan untuk menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya?
Dengan meneliti ayat “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya, Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (Q.s. al-Baqarah: 37), suksesi khalifah yang tidak berdasarkan kalimah Allah ke yang berdasarkan kalimah Allah barangkali yang paling mendekati untuk mereka-reka praduga ini. Allah hendak mengganti khalifah yang berperilaku destruktif yang tidak berdasarkan pada hukum-hukum Allah dengan khalifah berperadaban yang berdasarkan pada hukum-hukum Allah. Jadi, tegaslah bahwa para hominid itu bukan khalifah.
Namun yang pasti, Adam bukanlah manusia pertama. Tampaknya Q.s. al-Baqarah: 30 menghendaki bahwa penciptaan khalifah berikutnya adalah untuk mereformasi dan merehabilitasi “Adam-Adam” sebelumnya. Dengan kata lain, Allah hendak mengganti khalifah perusak yang tanpa tatanan hukum Allah itu dengan khalifah baru yang bernama Adam dan anak keturunannya kelak yang berlandaskan tatanan hukum Allah.
Selanjutnya, proses pembelajaran untuk khalifah baru ini segera dilakukan. Instalasi ini adalah pembekalan pada diri Adam yang berupa persiapan diri untuk menerima seluruh identifikasi nama-nama, al-asma’ kullaha. Kalimat kullaha adalah penguatan (taukid) bahwa pengajaran al-asma meliputi seluruh nama-nama atau identitas (al-musammiyaat) benda-benda (Tafsir Zamakhsyari, Juz I, hlm. 30).
Sementara itu, Imam al-Qurthuby menitikberatkan bahwa proses pengajaran al-asma’ adalah pengajaran dalam bentuk dasar-dasar ilmu pengetahuan (Tafsir al-Qurthuby, Juz I, hlm. 279). Hal ini mengandung makna yang lebih dalam, bahwa Adam sudah diperlengkapi dengan perangkat nalar yang siap untuk menerima seluruh identifikasi nama-nama. Pengajaran bukanlah dengan mengajarkan penyebutan benda-benda satu-persatu belaka, namun lebih pada pengidentifikasian yang selanjutnya dikembangkan sendiri oleh Adam. Adam-lah manusia rasional yang pertama.
Proses instalasi ini dijadikan bekal Adam untuk diwariskan kepada anak cucunya dalam rangka mengelola dunianya kelak. Instalasi al-asma’ adalah instalasi sendi-sendi pengetahuan sehingga Adam mampu mengidentifikasi nama-nama seluruhnya (al-asma’ kullaha). Faktor inilah yang mendorong manusia untuk menjadi makhluk pembelajar—homo academicus. Adam mampu mengidentifikasi dan mengembangkan daya nalarnya sampai pada tahap yang mengagumkan malaikat. Sementara, malaikat tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun kecuali apa yang telah diinformasikan Allah kepada mereka, subhaanaka laa ‘ilma lanaa illaa maa ‘allamtanaa. Inilah yang membuat malaikat jatuh tersungkur karena ta’dzim kepada Adam akan pencapaian kemajuan ilmiahnya.
Tampaknya, diskontinuitas sejarah penciptaan Adam memang demikian adanya. Al-Qur’an justru hendak menggerakkan hikmah di balik penciptaan itu untuk selalu terus menerus berpikir dan menggunakan daya nalar manusia di bawah bimbingan hukum Allah (kalimaatin) sebagaimana Adam meletakkan dasar-dasar budaya dan peradaban di bawah bimbingan-Nya. Sementara itu, membicarakan Adam sebagai tokoh sejarah (manusia pertama atau bukan) tidaklah substansial dan tidak memberikan dampak apa-apa bagi peradaban itu sendiri.
2.6 Keselarasan antara Agama, Filsafat, dan Ilmu Pengetahuan tentang Evolusi
2.6.1 Relasi dan Relevansi antara Agama, Filsafat, dan Ilmu
Jalan untuk mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran dapat ditempuh dengan jalan, yaitu: ilmu, filsafat dan agama. Ketiga jalan ini mempunyai titik persamaan, titik perbedaan dan titik singgung yang satu terhadap yang lainnnya. Ilmu Pengetahuan Sebagai ilustrasi dikisahkan, bertanyalah seorang kawan kepada ahli filsafat yang arif dan bijaksana, “Bagaimana caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar? “Mudah saja”, jawab filosof itu, “Ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu” (Jujun, 1990:19). Dari ilustrasi ini dapat digambarkan bahwa pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu dan merupakan hasil proses dari usaha manusia. Beranjak dari pada pengetahuan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah pengetahuan, maka di dalam kehidupannya manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran.
Adapun–sebagaimana dikatakan Burhanuddin Salam (1995:5)–beberapa pengetahuan yang dimiliki manusia, yaitu:
- Pengetahuan biasa atau common sense.
- Pengetahuan ilmu atau science
- Pengetahuan filsafat
- Pengetahuan religi
Endang Saifuddin Anshari, MA (1979:157), mendefiniisikan filsafat sebagai hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami (mendalami dan menyelami) secara radikal dan integral hakikat sarwa yang ada:
- Hakekat Tuhan;
- hakekat alam semesta;
- hakekat manusia; serta sikap manusia termasuk sebagai konsekwensi daripada faham (pemahamnnya) tersebut.
Hal yang menyebabkan manusia berfilsafat karena dirangsang oleh: ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dialami manusia dalam kehidupannya (Rapar, 1996:16).
Untuk itulah dalam berfikir filsafat perlu dipahami karakteristik yang menyertainya, pertama, adalah sifat menyeluruh artinya seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu sendiri, tetapi melihat hakekat ilmu dalam konstalasi pengetahuan yang lainnya, kedua, sifat mendasar, artinya bahwa seorang yang berfikirfilsafat tidak sekedar melihat ke atas, tapi juga mampu membongkar tempat berpijak secara fundamental, dan ciri ketiga, sifat spekulatif, bahwa untuk dapat mengambil suatu kebenaran kita perlu spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari perjelajahan pengetahuan (Jujun, 1990:21-22)
Agama pada umumnya merupakan (10 satu sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia; (20 satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu; (3) satu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan (Anshari, 1979:158).
Agama berbeda dengan sains dan filsafat karena agama menekankan keterlibatan pribadi. Kemajuan spiritual manusia dapat diukur dengan tingginya nilai yang tak terbatas yang ia berikan kepada obyek yang ia sembah. Seseorang yang religius merasakan adanya kewajiban yang tak bersyarat terhadap zat yang ia anggap sebagai sumber yang tertinggi bagi kepribadian dan kebaikan.
Agama tak dapat dipisahkan dari bagian-bagian lain dari kehidupan manusia, jika ia merupakan reaksi terhadap keseluruhan wujud manusia terhadap loyalitasnya yang tertinggi. Sebaiknya, agama harus dapat dirasakan dan difikirkan: ia harus diyakini, dijelaskan dalam tindakan (Titus, 1987:414).
Titik Persamaan dan Perbedaan baik ilmu, filsafat ataupun agama bertujuan sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang sama yaitu kebenaran. Namun titik perbedaannya terletak pada sumbernya, ilmu dan filsafat berumur pada ra’yu (akal, budi, rasio, reason, nous, vede, vertand, vernunft) manusia. Sedangkan agama bersumberkan wahyu.
Disamping itu ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research), pengalaman (empiri) dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filasafat menghampiri kebenaran dengan exploirasi akal budi secara radikal (mengakar); tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika. Manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan berbagai masalah asasi dari atau kepada kitab suci.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai dengan saat ini), kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tidak dapat dibuktikan secara empiri, riset dan eksperimental). Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat kedua-duanya nisbi (relatif). Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut) karena agama adalah wahyu yang diturunkan Allah. Baik ilmu maupun filsafat dimulai dengan sikap sanksi dan tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya atau iman (Anshari, 1996:158-160).
2.6.2 Keselarasan antara Agama, Ilmu, dan Filsafat tentang Evolusi
Kontroversi teori evolusi adalah karena teori dianggap bertentangan dengan agama. Evolusi dianggap akan mengesampingkan atau bahkan mereduksi ajaran agama. Evolusi dan agama adalah dua hal yang berbeda dalam menjelaskan tentang kehidupan. Secara filosifis kebenaran agama adalah mutak atau absolut sedangkan kebenaran evolusi adalah kebanaran ilmu yang relatif. Artinya teori evolusi belum tentu dibenarkan tanpa koreksi secara terus-menerus dan juga tidak dapat ditolak secara apriori tanpa memahami esensi evolusi. Adanya teori evolusi tidak bermaksud mematahkan ajaran-ajaran agama yang dipercaya sebagian besar manusia bumi. Evolusi jelas bertujuan mengungkap fenomena alam dengan pendekatan ilmu pengetahuan. Evolusi pun hanyalah teori yang patutnya diuji kebanarannya secara ilmiah tanpa membandingkannya dengan ajaran agama. Charles Darwin dalam bagian akhir bukunya menyatakan bahwa: there is grandeur in this view of life, with its several powers, having been originally breathed by the Creator into a few forms or into one; and that, whilst this planet has gone circling on according to the fixed law of gravity, from so simple a beginning endless forms most beautiful and most wonderful have been, and are being evolved. Jelaslah bahwa Darwin mengakui bahwa segala yang ada di bumi telah diciptakan oleh Sang Pencipta menjadi beberapa bentuk atau bentuk tunggal. Evolusi hanya pengarah untuk menjaga keseimbangan melalui seleksi alam. Franz Magnis Suseno, filsuf dan pengajar filsafat STF Drikarya mengemukakan bahwa Penciptaan dalam Kitab Genesis tidak dapat disesuaikan dengan teori evolusi. Cerita penciptaan menurutnya, tidak harus diterima secara literer tetapi dapat dimengerti sebagai ungkapan simbolis tentang suatu keyakinan iman, bahwa memang segala apa yanga ada ini diciptakan oleh Allah dan semua itu baik adanya. Tidak ada jalan lain untuk sampai pada masa pra-evolusi selain penciptaan. Evolusi pun tidak mengajak orang menjadi materialistik dan tidak perlu seseorang menjadi lemah imannya setelah mempelajari evolusi. Setelah lebih dari 150 tahun, teori evolusi masih dipercaya sebagian orang karena manusia baik kehidupan maupun karakteristiknya masih terus berevolusi sehingga teori evolusi pun masih akan terus mengalam evolusi.
- Hafidhuddin, Didin K.H., Tafsir al-Hijri: Kajian Tafsir al-Qur’an Surat an-Nisa, Jakarta: Yayasan Kalimah Thayyibah, 2000
- Imani, Allamah. Kamal. Faqih, Tafsir nurur Qur’an: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Tuhan, terj, R Hikmat Danaatmaja, Jakarta: al-Huda, 2003
- Muthahari, Murthada, Manusia dan Alam Semesta, terj, Ilyas Hasan, Jakarta: Lentera, 2002
- Soenarjo, R.H.A, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 1989
- ——————, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 2000
- Anonymous. Teori Penciptaan Free For Term Papers. Diakses Tanggal 13 November 2009
- Guru NgeBlog.htm. Asal usul kehidupan,Teori Generatio Spontanea,Teori Evolusi Biokimia. Diakses tanggal 13 November 2009
- Anonymous. Manusia2.htm. Diakses tanggal 2 November 2009
- Darwin, Charles. The Origin of Species Chapter 14: Recapitulation and Conclusion
Tidak ada komentar:
Posting Komentar