Bunda Maria dikandung tanpa dosa dan pada akhir hidupnya Bunda Maria diangkat ke surga. Apakah Bunda Maria juga mengalami kematian seperti kita? Bukankah kematian itu adalah akibat dosa, sedangkan Bunda Maria tidak berdosa?
Theresia Maria Vale-ely, Manado
Pertama, ada dua pendapat yang berlawanan tentang kematian Maria. Di satu sisi dikatakan, bahwa Maria tidak terkena dosa asal dan karena kematian adalah akibat dosa, maka Maria tidak mengalami kematian. Sebelum mengalami kematian, Maria mengalami keadaan tertidur dan kemudian diangkat ke surga.
Pendapat yang lain mengatakan, bahwa Maria pasti tidak akan meninggikan dirinya mengatasi Yesus Putranya. Yesus juga wafat, meskipun tidak mengenal dosa. Maria yang menyatukan diri sedemikian erat dengan Yesus, pastilah Maria mengalami kematian seperti yang dialami Yesus. Memang kematian Maria bukanlah karena keharusan seperti kita yang terkena dosa asal. Maria mengalami kematian karena alasan-alasan lain.
Belum ada ajaran resmi Gereja tentang kematian Maria ini. Namun demikian, banyak Paus maupun teolog yang cenderung pada pendapat kedua, yaitu yang menyatakan bahwa Maria mengalami kematian. Dogma Maria diangkat ke surga tidak secara khusus membahas butir ini dan membiarkan butir ini tetap terbuka untuk didiskusikan (bdk HIDUP No 43, 17 Agustus 2008).
Kedua, para Bapa Gereja baik dari Barat (Ambrosius, Agustinus) maupun dari Timur (Efrem, Epifanius, Yohanes Damascenus) menyatakan, bahwa Maria mengalamikematian. Yang dirasakan sebagai kesulitan untuk menerima bahwa Maria mengalami kematian ialah soal pembusukan badan Maria. Pembusukan merupakan akibat dosa, maka dipandang kurang sesuai dengan kesucian Maria. Karena itu, sejak pasca Konsili Efesus (431) muncul tulisan apokrif (Transitus Mariae) yang menyatakan secara lebih halus dan dapat diterima bahwa Maria tidak mengalami kematian (yaitu, kehancuran dan pembusukan tubuh), tetapi hanya ”transit” saja. Ungkapan ini juga sering disebut sebagai ”dormitio.”
Ketiga, alasan-alasan yang mendukung pendapat tentang kematian Maria ialah; 1) Maria menyesuaikan diri dengan Kristus. Karena kerendahhatian Maria, pastilah Maria menolak jika dia tidak mengalami kematian. Maria tidak mau lebih tinggi dibandingkan Putranya. Jika Sang Sabda secara sukarela mengenakan keinsanian yang fana dan dapat mati demi menebus kita, tentulah sebagai ibu, Maria akan juga mengenakan keinsanian yang fana dan dapat mati. Jadi, Maria mengalami kematian bukan karena hukuman dosa tetapi karena sifat keinsanian itu sendiri. Pastilah Maria menerima kematiannya secara sukarela. 2) Maria berperan sebagai rekan-penebus (co-redemptrice), Maria tidak harus mengalami kematian tetapi secara sukarela menerimanya agar dia bisa juga menjadi rekan-penebus bersama Putranya.
Dimana Makam Maria ?
Di manakah makam Bunda Maria yang sesungguhnya, di Yerusalem atau di Efesus? Mengapa ada dua tempat ”dormitio” di Tanah Suci? Di mana Maria mengalami kematiannya?
Theresia Maria Vale-ely, Manado
Menurut tradisi yang sudah sangat kuno, Maria melewatkan masa tuanya di Yerusalem dan wafat di sana. Hal ini dapat dijumpai pada beberapa tulisan apokrif dari abad ke II sampai IV. Meskipun termasuk apokrif, namun tulisan-tulisan itu mempunyai nilai historis untuk menunjukkan tradisi awal yang ada. Tradisi ini diterima oleh para Bapa Gereja dari Timur maupun Barat.
Tidak pernah ada tradisi yang mengaitkan kematian dan makam Maria dengan Kota Efesus sebelum abad V. Tradisi makam di Efesus ini diawali sekitar tahun 431 pada saat Konsili Efesus. Tradisi ini kemudian diikuti oleh Suster Catherine Emmerich (± 1824) dalam meditasi-meditasinya. Jadi, ”tradisi makam Efesus” ini lebih dan kurang mempunyai dasar historis.
Jadi, Maria mengalami kematian atau ”dormitio” atau ”transitus” di Yerusalem dan kemudian dimakamkan di sana. Makamnya menjadi salah satu tempat ziarah di Tanah Suci.
Memang di Tanah Suci ada dua tempat ”dormitio”, yaitu ”dormitio virginis” di Bukit Sion dan ”Basilica of Dormition” di Bukit Zaitun. Menurut tradisi, Maria wafat di ”dormitio virginis” yang di Bukit Sion, dan kemudian dimakamkan di ”Basilica of Dormition” yang di Bukit Zaitun.
Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Jumat, 11 Januari 2013 16:03 WIB.
Makam Maria Menurut Tradisi Gereja.
Menurut tradisi Kristen, St. Maria, Bunda Yesus, wafat dan dimakamkan di kota Jerusalem. Kedua tempat itu diabadikan dengan Basilika Dormitio di Bukit Zion, tidak jauh dari Senakel (Ruangan Perjamuan Terakhir), dan dengan Gereja Makam St. Maria di Lembah Kidron, tidak jauh dari Getsemani.
BASILIKA DORMITIO ( TERTIDURNYA BUNDA MARIA ).
Basilika ini berdiri di Bukit Sion, tidak jauh dari Senakel. Menurut suatu tradisi yang layak dipercaya, Bunda Maria tinggal di ruangan Senakel hingga hari “tertidurnya” (Latinnya : dormitio).
Tradisi ini dibenarkan oleh Patriark Sofronius yang menggembalakan umat Yerusalem pada pertengahan abad VII. Dalam sebuah madah yang mengidungkan keagungan “Sion yang Suci” disebutnya batu di mana Bunda Maria istirahat sebelum meninggal dunia.
Dalam sebuah basilika yang didirikan oleh para pejuang Perang Salib dekat Senakel, peristiwa tertidurnya Bunda Maria dikenang juga. Namun dengan lajunya waktu, basilika itu hancur. Pada tahun 1898 tempat-tempat suci di Israel dikunjungi oleh Kaisar Jerman Wilhelm II. Tempat yang diyakini sebagai tempat tertidurnya Bunda Maria pada kunjungan itu dihadiahkan kepada Kaisar oleh Sultan Abdul Hamid.
Yayasan Pro Palestina di Koln mulai mengumpulkan dana untuk mendirikan basilika. Pemeliharaan basilika yang diresmikan pada tahun 1910 diserahkan kepada Ordo St. Benediktus (OSB). Basilika ini dibangun menurut rancangan H. Renard. Sebagai bangunan kukuh, basilika ini mirip sebuah benteng Abad Pertengahan. Di dalamnya terdapat banyak mosaik, antara lain tanda-tanda zodiak. Di bawah basilika terdapat kapel, dan di tengahnya dibuat arca Bunda Maria yang sedang tertidur.
Makam Maria sejak semula dihormati oleh jemaah Kristen-Yahudi. Sejak abad V, makam itu diurus oleh orang-orang Kristen bukan Yahudi. Semasa pemerintahan Kaisar Mauritius (582-602), di atas makam itu didirikan sebuah gereja lagi, sehingga makam semula menjadi kapel bawah tersendiri.
Para pejuang Perang Salib yang telah merenovasi gereja, mempertahankan susunannya dan kedua bagiannya, yaitu atas dan bawah, tetapi menambahkan sebuah biara yang diserahkan kepada Ordo St. Benediktus (OSB). Biara itu mirip benteng, dan reruntuhannya ditemukan dekat gereja pada tahun 1937.
Pada tahun 1187 biara dan gereja bagian atas dihancurkan oleh tentara Saladin, tetapi bagian bawah luput, karena orang-orang Islam juga menghormati Bunda Maria. Tempat ini selalu menjadi pusat ibadah Kristen di kota suci Jerusalem. Sejak abad XIV hingga XVIII para biarawan OFM mengadakan renovasi besar-besaran di tempat suci ini. Pada waktu itu, tempat ini memang dalam pengurusan mereka. Tetapi pada tahun 1757 mereka disingkirkan dari sini dan pengawasan atas Makam Bunda Maria diserahkan kepada Gereja Ortodoks Yunani dan Armenia.
Pada masa kini orang-orang Katolik boleh mengadakan ibadah di sini hanya 3 kali setahun, termasuk tgl. 15 Agustus, pada hari raya Maria diangkat ke Surga. Di sebelah kiri kapel makam ini ada altar St. Yoakhim dan Anna, orang tua Bunda Maria. Pada tahun 1161 di sini dimakamkan Ratu Melisenda, putri Baldwin I. Di sebelah kanan ada altar St. Yosef di mana dimakamkan Maria, istri Baldwin III serta Konstantia, ibu Pangeran Antiokhia.
Sumber : http://blessingtourindonesia.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar