Sungguhkah Bunda Maria tetap perawan sampai akhir hidupnya? Bagaimana menjelaskan Mat 1:25 kepada orang-orang lain?
Elisabet Pasaribu, Pematangsiantar
Pertama, pembahasan tentang keperawanan Maria biasanya membedakan adanya tiga keperawanan (virginitas), yaitu keperawanan sebelum melahirkan (ante partum), pada saat melahirkan (in partu) dan sesudah melahirkan (post partum). Keperawanan Maria pada waktu mendapatkan kabar gembira (Luk 1:27. 34-35) tidak pernah diragukan. Maria adalah pemenuhan ramalan Yesaya (Yes 7:14) bahwa seorang perawan akan mengandung. Kepastian tentang keperawanan Maria sebelum melahirkan ini sangat penting karena menyatakan bahwa asal-usul Yesus itu bukan dari benih pria, tetapi dari kuasa ilahi (dari kuasa Roh Kudus).
Kedua, keperawanan Maria pada waktu melahirkan (Mat 1:25) juga tidak diragukan sama sekali karena rujukan biblis yang jelas. Tertullianus menguraikan hal ini secara gamblang. Pengertian keperawanan ini semula tidak mempermasalahkan faktor biologis karena dimengerti lebih sebagai pembaktian diri secara utuh (badan, jiwa dan roh) kepada karya keselamatan Putranya. Baru pada abad IV keperawanan Maria dianggap juga mencakup faktor biologis tersebut, dalam arti proses kelahiran Yesus tidak menyebabkan rasa sakit dan penderitaan. Bahkan kemudian dieksplisitkan bahwa kelahiran Yesus tidak merusak keperawanan (biologis) Maria (DS 368; bdk LG 57). Dalam pengertian modern saat ini, tidak sulit untuk bisa hamil sebagai perawan (melalui inseminasi in fitro) dan juga melahirkan sebagai perawan (melalui operasi cesarian). Kalau bagi manusia sesuatu itu mungkin, pasti Allah juga bisa melakukannya bahkan secara lebih agung.
Ketiga, yang seringkali dipermasalahkan ialah keperawanan Maria sesudah kelahiran Yesus, khususnya bagaimana menafsirkan kata “sampai” dari Mat 1:25, apakah sesudah itu Maria bersetubuh atau tetap tidak bersetubuh. Kemungkinannya ialah 50% - 50%. Tidak ada rujukan biblis eksplisit yang menunjukkan mana yang terjadi. Jawaban yang tersirat bisa dilihat pada sikap religius Yusuf. Sikap Yusuf ini nampak jelas jika kita menerjemahkan ulang secara absah Mat 1:20 (aslinya dalam bahasa Yunani) menjadi “Yusuf anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai istrimu, hanya karena anak yang dikandungnya adalah dari Roh Kudus.” Terjemahan ini mengandaikan bahwa Yusuf sudah mengetahui bahwa anak dalam kandungan Maria itu berasal dari Roh Kudus. Sebagai orang yang benar dan tulus hati, Yusuf justru menghormati karya Roh Kudus ini dan karena itu Yusuf mau mengundurkan diri. Di sinilah nampak sikap hormat yang luar biasa dari Yusuf kepada Allah.
Keempat, sikap hormat ini nampak juga kalau kita membandingkan Mat 2:19-23 dengan Kel 4:20. Jelas bahwa Matius melihat Yesus sebagai Israel baru dan membandingkan kedua peristiwa itu. Jika dalam Kel 4:20 ditemukan ungkapan “istri dan anak-anaknya lelaki”, Matius mengubah ungkapan itu menjadi “Anak itu serta ibu- Nya”. Perubahan ini sangat penting karena Matius menunjukkan bahwa Anak itulah yang menjadi rujukan utama dan penentu hubungan antara Yusuf dan Maria. Matius hendak menunjukkan bahwa wanita itu pertama-tama adalah ibu dari Anak itu, baru kemudian dia adalah istri Yusuf. Rujukan utama kepada Yesus ini menegaskan sikap hormat yang luar biasa dari Yusuf kepada Allah. Di lain pihak, keterbukaan Maria kepada kehendak Allah (Luk 1:38) dan sikapnya yang selalu mencari kehendakNya (Luk 2:19.51) kiranya cukup untuk mengatakan betapa mendalamnya Maria menyatukan diriNya dengan Allah.
Kelima, mempertimbangkan sikap religius Yusuf dan Maria, kiranya paling pantas kalau mereka bersama-sama membaktikan diri secara penuh (badan, jiwa dan roh) kepada Yesus sebagai tanda kehadiran Allah dan tidak lagi membutuhkan hubungan seksual di antara mereka. Dengan demikian, sikap mereka berdua sangat cocok untuk mendukung ajaran keperawanan abadi Maria..
Penulis : RP Petrus Maria Handoko CM
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Senin, 10 November 2014 11:22 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar