Apakah penjelmaan Putra Allah menjadi manusia itu hanya pada penampilan luar saja seperti pada pewayangan? Apakah Putra Allah juga mengalami semua yang kita alami sebagai manusia?
Natalia Srijayawati, Lumajang
Pertama, penjelmaan Putra Allah bukan hanya pada penampilan luar saja, tapi sungguh menjadi sama dengan manusia. Secara lahiriah Yesus dilahirkan dari seorang wanita (Gal 4:4), memiliki “tubuh jasmani” (Kol 1:22). Menurut daging, Yesus dilahirkan dari benih Daud (Rom 1:3) dan termasuk bangsa Israel (Rom 9:5). Paulus menggambarkan kemanusiaan Yesus dengan berbagai ungkapan, “mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp 2:7), “yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa” (Rom 8:3), “telah menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia” (1 Tim 3:16). Surat kepada orang Ibrani merangkum dengan mengatakan, “Dia menjadi manusia sama seperti kita kecuali dalam hal dosa” (Ibr 2:14; 4:15).
Selain tubuh lahiriah, Yesus sungguh mengalami semua yang kita alami, misal kelemahan (2 Kor 13:4), penderitaan (Ibr 5:8) dengan puncak di Kalvari (bdk Fil 3:10; Kol 1:24). Yesus juga membutuhkan makan dan minum (Mat 4:2: 21:18; Mrk 11:12; Yoh 19:28). Ia merasa sangat letih dalam perjalanan-Nya (Yoh 4:6), dan tertidur di perahu (Mat 8:24). Tubuh dan jiwa-Nya bisa merasakan sakit, bahkan Dia bergumul dengan kematian (Mat 26:36-46). Tangan dan kaki-Nya dipaku (bdk Luk 24:39) dan lambung ditombak. Ia bangun pagi (Mrk 1:35) dan pergi tidur larut malam (Luk 6:12).
Kedua, memang ada perbedaan kita dan Yesus, yaitu Yesus bebas dari dosa (Ibr 4:15; 2 Kor 5:21; Gal 2:17; bdk.Rom 8:3). Yohanes menyatakan, “di dalam Dia tidak ada dosa” (1Yoh 3:5). Pergumulan hebat dan gejolak perasaan tak membawa Yesus jatuh dalam dosa.
Yesus pasti juga mempunyai rasa suka dan tidak suka. Yesus selalu mengasihi para murid (Yoh 13:1); Yesus menangisi Lazarus (Yoh 11:35) dan menangisi Yerusalem (Luk 19:42). Yohanes menyebut ia sebagai “murid yang dikasihi Tuhan” (Yoh 20:2). Bukankah Yesus bisa berdukacita pada kedegilan hati pendosa (Mrk 3:5), merasa takut dan gentar (Mrk 14:33). Yesus juga tanggap atas perasaan orang lain, baik kegembiraan, keprihatinan, harapan, dan kebencian. Tapi sekali lagi, rasa suka dan tak suka itu tidak membawa Dia berbuat dosa. Konsili Vatikan II menyatakan, “Yesus adalah manusia sempurna” (GS 38). St Agustinus mengatakan, “perasaan-perasaan insani bukan tidak cocok dengan Dia yang sungguh-sungguh dan secara nyata memiliki tubuh insani dan jiwa insani.”
Ketiga, Yesus pasti juga mempunyai jiwa insani. Hanya seorang manusia yang memiliki jiwa insani yang bisa menjadi sedih dan gundah gulana. Yesus berkata, “Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya.” (Mat 26:38). “Sekarang jiwaku terharu” (Yoh 12:27). Ketaatan kepada Bapa dan kepada Maria dan Yusuf mengandaikan ada jiwa insani (Yoh 4:34; 5:30; 6:38; Luk 22:42).
Keempat, jelas sekali Yesus memiliki kehendak bebas, “Setelah Ia mengecapnya, Ia tidak mau meminumnya.” (Mat 27:34). Kehendak bebas itu menjadi nyata dalam pelayanan-Nya. Ketika menyembuhkan orang sakit kusta, Yesus berkata, “Aku mau, jadilah engkau tahir.” (Mat 8:3). Kehendak bebas Yesus diandaikan sehingga kepada-Nya dialamatkan pahala, “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia...” (bdk Flp 2:8-9). Kebebasan Yesus nampak juga ketika di salib menyerahkan nyawa-Nya kepada Bapa (Luk 23:46).
Kelima, Putra Allah menjadi sama dengan kita agar Dia dapat solider secara mendalam, sehingga Dia bisa menjadi Adam kedua, yang mewakili seluruh umat manusia membayar hutang dosa (Rom 5:12-21; 1 Kor 15:45-49). Maka, Yesus adalah kekuatan kita, karena kita memiliki pengantara, seorang imam Agung, yang mengerti penderitaan dan perjuangan kita (Ibr 4:14-5:10)..
Penulis : Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Senin, Jumat, 17 Januari 2014 14:37 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar