Sekretaris Dewan Nasional Setara Institut Antonius Benny Susetyo menilai Kepala Kepolisian RI Jenderal Pol Sutarman tidak mengerti peraturan karena melarang rumah dijadikan sebagai tempat ibadah. Menurut peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, rumah dapat digunakan untuk ibadah keluarga.
"(Pernyataan Kapolri) itu salah. Peraturan bersama Menag dan Mendagri, ibadah keluarga itu boleh dilakukan di rumah," ujar Benny seusai acara bertajuk "Pluralitas Masyarakat Menuju Indonesia Satu" di Universitas Atma Jaya, Jakarta Selatan, Selasa (3/6/2014).
Ia mengatakan, peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Bersama Menag dan Mendagri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah. Peraturan itu mengatur ibadah terbagi menjadi dua, yaitu ibadah permanen dan ibadah keluarga. Ibadah keluarga di antaranya adalah doa rosario, seperti yang digelar di Sleman, DI Yogyakarta, ketika sekelompok orang kemudian melakukan penyerangan, Kamis (29/5/2014). Bentuk ibadah keluarga lainnya adalah tahlilan, upacara kelahiran, dan upacara kematian.
Benny mengatakan, ketidakpahaman pejabat negara terhadap peraturan itulah yang menyebabkan kekerasan atas nama agama marak terjadi. Lagi pula, kata dia, tanggung jawab kepolisian adalah menegakkan hukum atas tindakan kekerasan yang dilakukan orang.
"Ranah agama bukan ranah kepolisian. Itu persoalan kekerasan, bukan persoalan agama," katanya.
Sebelumnya, Sutarman mengimbau agar rumah tidak digunakan sebagai tempat ibadah dengan alasan pengawasan sulit. Hal itu dikatakannya saat ditanya soal penegakan hukum terkait penyerangan rumah Direktur Penerbitan Galang Press Julius Felicianus oleh sekelompok orang, Kamis (29/5/2014) malam. Penyerangan terjadi ketika rumah tersebut dipakai untuk ibadat doa rosario.
Pendapat Jusuf Kalla "Seseorang boleh berdoa di mana pun."
Calon wakil presiden Jusuf Kalla (JK) mengecam kekerasan berbau SARA yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. JK meminta Polri turun tangan untuk mengungkap dan menindak para pelaku.
"Di negara kita, kekerasan dalam bentuk apa pun, apalagi yang bersifat SARA, itu sangat melanggar hukum, pelanggaran besar," kata JK, di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, Senin (2/6/2014).
Saat melontarkan itu, JK baru saja menjenguk Direktur Penerbitan Galang Press Julius Felicianus yang menjadi korban kekerasan oleh sekelompok orang berjubah. Kekerasan yang menimpa Julius terjadi ketika rumahnya digunakan untuk ibadah doa rosario beberapa hari lalu.
Mantan wakil presiden itu menyayangkan sejumlah kasus kekerasan berbau SARA yang terjadi di Yogyakarta beberapa hari ini. Pasalnya, Yogyakarta merupakan kota yang tenteram dan dihuni oleh warga yang menghormati keberagaman.
"Seseorang boleh berdoa di mana pun. Kita ngaji di rumah-rumah enggak ada soal, kenapa orang beribadah di rumah sendiri ada yang marah? Julius sudah memaafkan secara pribadi, tapi secara hukum harus tetap ditindak tegas," tandasnya.
Dalam tiga hari terakhir, dua aksi intoleransi terjadi di kota yang menjunjung tinggi pluralitas itu. Terakhir, Minggu (1/6/2014) siang, di Kabupaten Sleman, puluhan orang merusak sebuah bangunan yang biasa dipakai umat Kristen untuk beribadah.
Bangunan yang dirusak itu milik pendeta berinisial NL. Bangunan yang bersebelahan dengan rumah NL itu terletak di Dusun Pangukan, Desa Tridadi, Kecamatan Sleman. Penyerangan bermula saat NL bersama sejumlah anggota jemaatnya menggelar kebaktian di bangunan itu sekitar pukul 08.30. Karena tidak suka, puluhan warga Pangukan melancarkan aksi protes.
Sebelumnya, Kamis (29/5/2014) malam, rumah Julius di Dusun Tanjungsari, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, diserang puluhan orang. Penyerangan yang dilakukan saat beberapa umat Katolik berdoa bersama di rumah itu membuat sedikitnya lima orang terluka. Hingga Minggu sore, Polri baru menangkap satu tersangka.
Penulis : Deytri Robekka Aritonang
Editor : Laksono Hari Wiwoho
Sumber : http://nasional.kompas.com/, Selasa, 3 Juni 2014, 19:57 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar