Selasa, 26 Januari 2016

Kerahiman Ilahi, Apa Yang Anda Perlu Tahu ?


Kita memasuki Tahun Suci Kerahiman Ilahi. Apa sebenarnya arti dari rahim itu? 
Apakah rahim itu sama dengan cinta kasih? 
Apakah kerahiman bertentangan dengan keadilan?
Tatik Indrawati, Bandung

Jawab : 
Pertama, pengertian kerahiman dalam Perjanjian Lama sangat kaya, yaitu pertemuan antara belarasa (compassion) dan kesetiaan (fidelity). Belarasa (Ibr: rahamin) terkait erat dengan rahim seorang ibu (Ibr: rehem) yang menerima, menghidupkan dan menumbuhkan (bdk. 1 Raj 3:26). Maka kerahiman itu diwujudkan dalam kelembutan yang diterjemahkan dalam perbuatan atau juga berarti pengampunan atas pelanggaran (Dan 9:9). Sedangkan kesetiaan (Ibr: hesed) seringkali menunjuk kepada kesalehan yang bukan hanya gaung suatu perbuatan baik instingtif, tetapi kesalehan yang dilakukan secara sadar dan dikehendaki. Kerahiman merupakan tanggapan atas kewajiban batiniah, suatu kesetiaan kepada diri sendiri. Maka, kerahiman Allah mengandung kelembutan, kesalehan, belarasa, pengampunan, kebaikan, dan rahmat dalam arti luas.

Belarasa sebagai wujud kerahiman Allah tampak ketika Allah mendengarkan seruan Israel yang berada di bawah penindasan Mesir, atau seruan orang-orang miskin dan tertindas, janda, dan anak yatim piatu (Kel 3:7 dst). Allah yang rahim juga dikenal sebagai Allah yang lembut, panjang sabar, dan setia serta pengampun (Kel 34:6 dst).

Kedua, dalam Perjanjian Baru, Yesus merupakan perwujudan kerahiman Allah. Inkarnasi Sang Putra menunjukkan belarasa Putra Allah yang mau menjadi manusia dalam segala hal, kecuali dalam hal dosa. Solidaritas Yesus dengan orang miskin (Luk 4:18;7:22), para pendosa (Luk 7:34; 5:27.30; 15:1), janda yang sedang berduka, kepada perempuan dan orang asing meneguhkan sifat rahim Allah yang dihadirkan Yesus. Contoh yang sangat indah tentang kerahiman Allah bisa ditemukan dalam perumpamaan tentang anak yang hilang (Luk 15:11-32). Sang bapak tergerak oleh belas kasih dan berlari menemui anaknya yang kembali. Segera sang bapak memulihkan kehormatan dan hak anak itu dengan memakaikan cincin dan sepatu.


Ketiga, memang antara kerahiman (Lat: misericordia; Ing: mercy) dan cinta kasih (Lat: caritas; Ing: charity, love) bisa bercampur. St Thomas Aquinas memandang kerahiman sebagai kualitas khusus dari cinta kasih (Summa Theologia I, qu.21, a.3). Kriteria penghakiman pada akhir zaman, yaitu cinta kasih kepada sesama, merupakan karya-karya belas kasih atau kerahiman (Mat 25:31-45). Bisa dikatakan bahwa kerahiman merupakan motor yang menggerakkan karya cinta kasih, tetapi bisa juga dibedakan ada karya cinta kasih yang berkualitas khusus yang disebut sebagai kerahiman.

Keempat, Paus Fransiskus dalam Misericordiae Vultus menyatakan secara eksplisit bahwa kerahiman tidak bertentangan dengan keadilan. Keduanya merupakan dua dimensi dari kenyataan tunggal yang terbentang secara bertahap sampai ia memuncak dalam kepenuhan cinta. Hendaknya prinsip keadilan tidak menyebabkan kita jatuh dalam legalisme, tetapi membuat semakin menyadari bahwa pada dasarnya keadilan adalah penyerahan diri umat kepada kehendak Allah (MV 20). Kerahiman mengandaikan ada sekaligus melampaui keadilan.

Kerahiman tidak menghancurkan, tetapi membawa kepada tingkat yang lebih mulia (Mat 20:1-16). Bagi orang berdosa yang berseru kepada Allah, keadilan-Nya adalah kerahiman-Nya. Keadilan Allah menjadi kekuatan yang membebaskan dari perbudakan dosa (Mzm 51:11-16). Kerahiman tidak bertentangan dengan keadilan. Kerahiman mengungkapkan cara Allah menjangkau orang berdosa agar bertobat dan percaya. Paus Fransiskus mengungkapkan, “Lebih mudah bagi Allah untuk menahan amarah daripada kerahiman.” (MV 21). Allah tidak menolak keadilan. Allah melampaui keadilan dengan kerahiman dan pengampunan-Nya. Siapa yang melakukan sebuah kesalahan harus membayar harga, tetapi kelembutan dan kerahiman Allah selalu menyertai.

Penulis : Petrus Maria Handoko CM
Sumber : hidupkatolik.com, Rabu, 20 Januari 2016, 10:54 WIB.

Jumat, 04 Desember 2015

Apakah Indulgensi dan Sakramen Tobat Tidak Dapat Menghapuskan Hukuman Dosa?


Dalam “Kamus Liturgi sederhana” diberikan definisi indulgensi (hlm 90-91), yaitu “Penghapusan hukuman yang dapat diterima oleh orang yang dosanya sudah diampuni. Orang yang sudah diampuni dosanya masih harus menjalani hukuman karena dosa itu. Hukuman inilah yang dihapus oleh indulgensi.” Apakah ini berarti bahwa Sakramen Rekonsiliasi hanya memberikan pengampunan dosa, tetapi tidak menghapuskan hukuman dosa? Apakah selama hidup ini kita boleh melakukan indulgensi saja terus-menerus tanpa menerima Sakramen Rekonsiliasi agar hukuman dosa kita terus dikurangi?
Erna Mariantika, Malang

Pertama, perlu dimengerti terlebih dahulu ajaran Gereja tentang dosa, bahwa dosa mempunyai akibat ganda. Akibat pertama menghilangkan persekutuan dengan Allah dan dengan Gereja. Akibat pertama ini bisa disebut sebagai hukuman dosa atau “siksa dosa abadi”. Akibat kedua ialah keterlekatan pendosa kepada objek dosa dan kerusakan rohani dalam diri pendosa. Akibat kedua ini berkaitan dengan sikap batin seseorang dan biasa disebut “siksa dosa sementara” (KGK 1472).

Definisi indulgensi tersebut tidak membedakan kedua akibat dosa sehingga timbul kesan yang salah bahwa dalam Sakramen Rekonsiliasi, hanya diberikan pengampunan dosa dan tidak diberikan penghapusan hukuman dosa. Ajaran Gereja yang benar ialah bahwa Sakramen Rekonsiliasi memberikan penghapusan atas dosa dan hukuman dosa, yaitu “siksa dosa abadi”. Yang tidak dihapus oleh Sakramen Rekonsiliasi ialah “siksa dosa sementara” yaitu dampak dosa berkaitan dengan keterlekatan kepada objek dosa dan kerusakan kepada sikap batin dalam diri pendosa.

Kedua, dengan demikian penghapusan dosa dan hukuman dosa (siksa dosa abadi) dilakukan melalui Sakramen Rekonsiliasi, sedangkan indulgensi hanya menghapus “siksa dosa sementara”. Maka, adalah sikap yang salah jika hanya melakukan indulgensi tanpa menerima Sakramen Rekonsiliasi. Dalam hal pengampunan, yang pokok tetap Sakramen Rekonsiliasi, praktik indulgensi adalah pelengkap.


Apakah kita bisa mendoakan seorang yang masih hidup agar mendapatkan indulgensi?

KHK Kan 994: “Setiap orang beriman dapat memperoleh indulgensi, entah sebagian entah penuh, bagi diri sendiri atau menerapkannya sebagai permohonan bagi orang-orang yang telah meninggal.” Ketentuan Hukum Gereja ini mengajarkan bahwa indulgensi bisa diterapkan bagi diri sendiri, tetapi tidak bisa diterapkan bagi orang lain yang masih hidup. Mereka yang masih hidup harus mengusahakan indulgensi sendiri. Keterlekatan kepada objek dosa dan kerusakan rohani dalam diri seseorang hanya bisa diperbaiki dengan keikutsertaan bebas dari orang yang bersangkutan.

Indulgensi bisa diterapkan juga bagi orang lain, jika orang itu sudah meninggal dunia, yaitu jiwa-jiwa di Api Penyucian, agar mereka dapat melepaskan keterlekatan kepada objek dosa dan memperbaiki sikap batin yang rusak, sehingga bisa cepat masuk surga. Indulgensi akan memulihkan sebagian atau seluruh dari keterlekatan atau kerusakan sikap batin yang rusak itu.


Apakah indulgensi bisa dikirimkan untuk semua arwah?

Indulgensi berkaitan harta kekayaan Gereja dan wewenang Gereja menerapkan kepada para anggota. Maka, ketentuan Hukum Gereja berkata, “Agar seseorang dapat memperoleh indulgensi haruslah ia sudah dibaptis, tidak diekskomunikasi, dalam keadaan rahmat sekurang-kurangnya pada akhir perbuatan yang diperintahkan.” (KHK Kan 996 # 1). “Sedang agar seseorang yang mampu sungguh-sungguh memperolehnya haruslah ia sekurang-kurangnya bermaksud memperolehnya serta melaksanakan perbuatan-perbuatan yang disajikan, pada waktu yang ditentukan dan dengan cara yang semestinya, menurut garis petunjuk pemberian itu.” (KHK Kan 996 # 2). Dua ketentuan Hukum Gereja ini mengatur bahwa hanya mereka yang sudah dibaptis bisa menerima pengurangan “siksa dosa sementara” melalui indulgensi.

Penulis : Petrus Maria Handoko CM
Sumber : hidupkatolik.com, Rabu, 2 Desember 2015 15:10 WIB.

Anda perlu baca juga :

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...