Survei yang dilakukan transparency.org : the global coalition against corruption yang berkedudukan di Jerman pada Maret 2013, menempatkan Indonesia pada urutan kelima dari 146 negara yang terkorup di dunia.
Urutan pertama Azerbaijan, disusul Bangladesh, Bolivia, Kamerun, dan Indonesia. Jadi, untuk wilayah Asia, Indonesia menempati urutan pertama negara asia terkorup, disusul Kamboja, Vietnam, Filipina, dan India. Kenyataan sehari-hari, berita-berita tentang korupsi membenarkan hasil survei itu.
Pada Juni lalu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) meluncurkan program training of trainers (TOT) pendidikan antikorupsi untuk Perguruan Tinggi Regional I, yang akan disusul tujuh wilayah regional lainnya. Beberapa pemerintah daerah pun mulai mengambil inisiatif menjadikan pendidikan antikorupsi sebagai muatan lokal untuk jenjang pendidikan SD-SMA. Misalnya, Dinas Pendidikan di Kabupaten Biak Numfor, Papua, menyediakan 100 guru pengajar muatan lokal pendidikan antikorupsi yang mulai bertugas pada Tahun Ajaran 2013/2014.
Pendidikan antikorupsi di perguruan tinggi merupakan tindakan pencegahan, yang bertujuan untuk membangun integritas sumber daya manusia.
Pencegahan meliputi memberdayakan masyarakat, terutama generasi muda untuk ikut membangun budaya antikorupsi.
Mahasiswa sangat diharapkan menjadi agen perubahan, motor penggerak gerakan antikorupsi. Maka, mahasiswa perlu diberdayakan dan dibekali dengan pengetahuan, agar mereka mengetahui seluk-beluk korupsi, cara memberantas korupsi, serta menanamkan dalam dirinya nilai antikorupsi.
Tetapi, apakah dengan pendidikan antikorupsi membuat generasi yang akan datang bersih dari korupsi?
Dari sudut ilmu pendidikan (pedagogi) pendidikan nilai, itu hanya akan efektif ketika peserta didik mengalami langsung nilai yang ingin diinternalisasikan tersebut. Pengalaman langsung sangat penting untuk mengirim pesan efektif, bahwa nilai inilah yang sangat penting dalam kehidupan ini.
Pengalaman anak didik menyontek atau diberi bocoran oleh gurunya saat Ujian Nasional adalah pengalaman internalisasi nilai buruk dalam bawah sadar anak didik; juga guru yang terlambat, guru yang tidak menghargai waktu anak didik dengan mengajar tanpa persiapan. Semua itu diobservasi oleh peserta didik dan sikap salah itu diinternalisasi dalam dirinya sebagai sistem nilai (belief system).
Artinya, pendidikan antikorupsi yang efektif bagi keluarga dan lembaga pendidikan adalah memberi anak pengalaman akan keadilan, menghargai orang lain, kejujuran, setiap hari. Dengan begitu, akan terbentuk budaya generasi yang pro-keadilan, menghargai orang lain, jujur, dan bersih.
Dari sudut psikologis, faktor yang menyebabkan korupsi adalah faktor internal dan eksternal.
- Faktor internal adalah sistem nilai yang dimiliki seseorang.
- Faktor eksternal adalah faktor lingkungan, sistem yang tidak transparan.
Pendidikan antikorupsi bisa dimulai dengan sederhana dalam keluarga, dengan memberi anak pengalaman diperlakukan adil, jujur, penuh penghargaan dan peduli orang lain.
Pengalaman itu sebaiknya dilanjutkan di sekolah secara terus-menerus. Bila demikian, kita yakin, anak akan membatinkan nilai keadilan, kejujuran, dan penghargaan pada orang lain. Dan hasilnya anak akan memiliki sikap antikorupsi sejati.
Penulis : Fidelis Waruwu
Sumber : http://www.hidupkatolik.com/, Rabu, 31 Juli 2013 16:01 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar