Saya seorang pemuda Katolik. Saya belum menikah, meskipun usia saya sudah menginjak 35 tahun. Sebenarnya sudah sampai lima kali saya berpacaran dengan pemudi Katolik, tetapi kelima pacar saya itu akhirnya tidak mau menikah dengan saya. Mungkin karena saya berasal dari keluarga miskin dan sampai saat ini pun saya belum punya penghasilan tetap.
Selama tiga tahun terakhir ini saya mencintai seorang wanita. Namanya Siti. Saya pun menyayangi dia. Dia seorang janda cerai. Agamanya Islam, tetapi dia sama sekali tidak bisa sholat. Mantan suaminya juga beragama Islam dan kini sudah menikah lagi dengan orang lain. Janda cerai berusia 30 tahun itu berdagang kecil-kecilan di pasar. Dia tidak berkeberatan kalau nanti kami menikah secara Katolik, asal sebelum dan sesudahnya kami juga menikah secara Islam. Dia juga menegaskan, dia tidak akan menjadi seorang Katolik.
Berhubungan dengan masalah tersebut, saya mohon pengarahan dari Pengasuh tentang apa yang perlu saya lakukan, agar saya bisa menikah dengan Siti secara baik-baik.
Petrus K., Surakarta
Drs Edy Widiyatmadi Msi:
Saudara Petrus, dewasa ini problem menghadapi realitas ”kawin campur”, kemungkinan juga banyak dialami oleh calon pasangan-pasangan lain. Ada banyak faktor yang secara langsung/tidak langsung menunjang atau bahkan mempengaruhinya. Apakah termasuk juga faktor kemiskinan, status menganggur, dikejar umur? Bisa saja demikian, tetapi kaitan pengaruhnya tidak sesederhana itu.
Ada juga faktor lain yang cukup signifikan berpengaruh. Semakin kencang hembusan angin pluralisme dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini, agaknya cukup berperan terhadap merebaknya realitas kawin-campur pada banyak pasangan. Sebagai realitas, kawin-campur bisa dianggap ”problem” atau ”bukan problem”, tergantung dari mana, oleh siapa, dan dengan cara bagaimana hal itu disikapi.
Dalam kasus Anda, tampaknya Anda menghayatinya sebagai problem. Tidak apa-apa, itu adalah hak Anda untuk menghayati setiap episode penting dalam kehidupan Anda sesuai dengan keyakinan Anda. Para sosiolog dan psikolog sosial mengatakan bahwa dalam mengganjur langkah di panggung kehidupan ini, sebagian besar orang secara sadar atau tidak cenderung sangat mempertimbangkan konteks di mana dan kapan ia hidup. Konteks ini bukan hal abstrak, karena begitu nyata terasa dalam kehidupan (misalnya faktor etnis, status ekonomi-sosial, agama, norma, dan sebagainya). Konteks inilah yang sering menformat perasaan, pikiran bahkan tindakan-tindakan banyak orang dalam menjalani setiap etape hidup ini.
Dengan berpikir, menimbang-nimbang serta merasa bermasalah terkait dengan rencana perkawinan Anda, berarti Anda cukup realistis dengan hidup Anda. Tentang bagaimana melangkah dan menghadapi masalah tersebut, sebagai umat Katolik, Anda bisa mendapatkan kejelasannya dari pastor/romo setempat. Saya hanya bisa berbagi sedikit tentang beberapa hal yang sering dialami para sahabat dan kenalan pasangan suami-istri yang berbeda agama. Pasangan beda-agama yang sama-sama berjiwa dan bersemangat plural (menghormati dan menghayati perbedaan sebagai keniscayaan) secara lahir batin, rata-rata tidak mengalami problem seputar perbedaan agama mereka, yang sering berefek pada komunikasi antarpribadi, kehidupan beribadah, pengasuhan anak, dan interaksi dengan famili di luar keluarga inti maupun lingkungan/masyarakatnya.
Tetapi, pada pasangan yang tidak/kurang imbang jiwa-semangat pluralnya (misalnya hanya si suami atau si istri), atau pada pasangan yang relatif sama-sama tidak berjiwa dan bersemangat plural (dan hal ini biasanya baru semakin terasa seiring dengan bertambahnya usia perkawinan), sering terjadi sandungan/problem yang berefek mengganggu pada hal-hal tersebut. Memang ada juga beberapa pasangan yang karena hal-hal tertentu (misalnya, filosofi cinta yang diyakini, kuatnya komitmen perkawinan mereka, tekanan bertubi-tubi dari lingkungan, dan sebagainya), kemudian justru mampu tumbuh dan berkembang menjadi pasangan yang sangat kuat jiwa dan semangat pluralnya seiring dengan bertambahnya usia perkawinan mereka. Jadi, jiwa dan semangat plural yang menebar sejak dari perasaan, pikiran, kata, hingga pada tindakan, rupanya merupakan hal mendasar yang perlu dipertimbangkan bagi siapa pun yang berencana menempuh perkawinan campur, agar minimal dapat berupaya untuk terbebas dari problem-problem yang jamak terjadi pada realitas perkawinan campur.
Untuk Saudara Petrus, semoga gambaran sekilas ini dapat menjadi semacam sharing yang bermanfaat.
Gambar ukuran 1275 × 1650, klik untuk memperbesar.
Dr Al. Purwa Hadiwardoyo MSF:
Saudara Petrus yang baik, saya ikut prihatin, sampai saat ini Anda belum menikah, meskipun sudah lima kali berpacaran. Semua mantan pacar Anda telah meninggalkan Anda.
Selanjutnya, saya ikut senang, saat ini Anda sudah mempunyai tambatan hati. Sayang, keinginan Anda untuk menikah dengan dia tampaknya akan menghadapi banyak tantangan. Tantangan itu dapat saya terangkan sebagai berikut.
- Pertama, Siti, yang beragama Islam, sudah pernah menikah dengan seorang pria Muslim secara Islam. Memang dilihat dari sudut pandang Hukum Agama Islam, ikatan perkawinan mereka sudah terputus oleh perceraian. Namun, dilihat dari sudut pandang Hukum Gereja Katolik, ikatan perkawinan mereka masih ada. Gereja Katolik tidak mengakui perceraian oleh negara mana pun dan oleh agama mana pun. Ini kelihatan aneh, tetapi nyatanya memang demikian.
- Kedua, menurut Hukum Gereja Katolik, Siti baru dapat menikah dengan Anda, secara Katolik, setelah ikatan perkawinannya dengan suami pertamanya itu diputus oleh Takhta Suci di Roma dan mendapat dispensasi atas halangan beda-agama. Proses untuk mendapatkan keputusan dari Takhta Suci tersebut biasanya memakan banyak waktu dan melibatkan Lembaga Pengadilan Gereja di keuskupan Anda. Sementara itu, dispensasi atas halangan beda-agama dapat Anda minta dan peroleh dari bapak Uskup atau wakilnya.
- Ketiga, meskipun kelak Takhta Suci berkenan memutus ikatan perkawinan antara Siti dan suaminya yang pertama, pastor paroki kiranya tidak akan mengizinkan Anda menikah dengan Siti dalam dua upacara berbeda (secara Katolik dan secara Islam). Gereja Katolik melarang warganya menikah dengan upacara agama lain.
- Keempat, kiranya Anda perlu menyadari, kalau kelak Anda bersedia juga menikahi Siti secara Islam, Anda akan menghadapi beberapa masalah. Dalam upacara pernikahan secara Islam, sangat mungkin Anda harus berpindah ke agama Islam dahulu. Sebab, menurut Hukum Agama Islam, seorang wanita Muslimah hanya boleh menikah dengan seorang pria Muslim. Bagaimana tanggapan Anda bila hal itu terjadi? Bagaimana reaksi umat Katolik di lingkungan Anda terhadap pernikahan Anda secara Islam itu? Siapkah Anda menghadapi reaksi tersebut?
Saran saya, cobalah membujuk Siti secara bijaksana agar akhirnya dengan suka rela dia bersedia menjadi orang Katolik. Kalau ternyata dia bersedia, sarankan kepadanya, agar dia bersedia menjalani masa persiapan baptis selama satu tahun. Setelah Siti dibaptis, barulah Anda dapat menikah dengan dia secara Katolik, tanpa proses yang berbelit-belit dan tanpa masalah yang berat pula.
Nara Sumber :
- Drs H. M. E. Widiyatmadi MPsi
- Dr Al. Purwo H. MSF
Sumber Artikel : http://www.hidupkatolik.com/, Senin, 15 Juli 2013 10:02 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar