Kamis, 26 Februari 2015

Inilah Karya Digital Art Wajah Maria "Ibu Yesus", Yang Dibuat Berdasarkan Kain Kafan Dari Turin.



Anda mengenal Bunda Maria ?
Anda sudah pernah memandang wajah Bunda Maria ?
Jika anda menjawab "Ya" pada 2 pertanyaan di atas anda memang benar, anda bisa mengenal Bunda Maria melalui perjumpaan pribadi anda melalui serangkaian aneka Doa Devosi kepada Bunda Maria. Andapun bisa mengenali wajah Bunda Maria melalui media lukisan beliau dan patung-yang mengambarkan beliau.

Namun pada kesempatan ini saya ingin mengajak anda untuk menerka seperti apa wajah Bunda Maria yang sesungguhnya itu. Artikel ini akan mengajak anda untuk melakukan "investigasi" wajah Bunda Maria yang sesungguhnya dengan media "Kain Kafan dari Turin".

Kain Kafan Turin adalah kain bersejarah yang diyakini sebagai kain kafan pembungkus jenasah Yesus, dan dari Kain Kafan Turin  tersebut, dengan serangkaian proses digital bisa "melihat" seperti apa wajah Yesus yang sesungguhnya. Untuk memehami lebih lanjut tentang kisah Kain Kafan Turin, anda bisa membaca artikel kami sebelumnya di link berikut :


Kenbali ke pokok bahasan kita sebelumnya, seorang bernama Julian Lasbliez, seorang seniman potografi dan pembuat film dari Kanada, telah membuat karya digital yang mengagumkan, dengan menggunakan software "Adobe Photoshop", beliau menggabungkan 2 image yaiyu Kain Kafan Turin dengan Lukisan "Virgin and Child." karya William-Adolphe Bouguereau tahun 1888. Berikut adalah urutan pembuatannya :
  • Inilah Lukisan "Virgin and Child." karya William-Adolphe Bouguereau tahun 1888, sebagai master wajah Bunda Maria.


Lukisan "Virgin and Child." karya William-Adolphe Bouguereau tahun 1888 
  • Inilah Wajah Yesus yang terdapat dalam Kain Kafan Turin.
Wajah Yesus dari Nazaret, hasil analisa komputer dari potret Kain Kafan Turin.

  • Berikut proses "retouching" kedua sumber gambar.
Kain Kafan Maria oleh JulienLasbleiz
Gambar gif animasi yang menunjukkan bagaimana Julian Lasbliez, me-retouching lukisan Bouguereau menggunakan proporsi wajah Kristus di Kain Kafan dari Turin.

  • Dan Hasinya seperti gambar di bawah ini : 
Maria (face akurat cocok dengan Kain Kafan dari Turin) oleh JulienLasbleiz
Wajah Bunda Maria yang menitikkan air mata.

Sanggahan.

Bagaimana Anda tidak dapat mendeteksi warna kulit dan tone dari Kain Kafan, tapi akal sehat akan menyarankan Miriam (Maria) dari Nazaret akan terlihat lebih "seperti seorang wanita dari Timur Tengah" dari Eropa Tengah; "lebih Palestina" dari Perancis.


Penjelasan Julian Lasbliez.

Anda mungkin tahu itu, tapi pada saat itu "tampilan" orang-orang di daerah timur tengah itu tidak sama seperti sekarang. Orang-orang di waktu hidup Maria tampilan seorang wanita Palestina "sedikit lebih seperti Eropa" dari sekarang karena Palestina pada saat itu didominasi oleh Greco Romawi dan itu sebabnya kebanyakan orang barat terlihat sama, ini adalah sejarah. Melihat Kristus sendiri dari Linceul, ia memiliki jenis bentuk wajah Eropa yang sama. Secara historis sebagian besar peneliti berpikir bahwa ia memiliki mata biru dan kulit pucat juga. Pada saat Maria, Anda bahkan bisa menemukan orang-orang berambut pirang di timur tengah.


Film yang paling akurat bagi saya adalah "The Passion dari Kristus" yang disutradarai oleh Mel Gibson, dan wanita dalam film ini memiliki wajah Eropa terlihat sama juga (tentu saja itu hanya film, tapi Mel Gibson melakukan pekerjaan yang sangat sulit tentang membuat sangat akurat, mereka bahkan berbicara Aram dalam film.  Jadi saya tidak berpikir itu bisa menjadi kesalahan akurasi sebenarnya tapi tetap, terima kasih untuk berbagi pikiran Anda.

Perlu dipahami, gambar ini adalah hasil karya seni digital.bukan wajah Bunda Maria yang sebenarnya. Namun bagi saya pribadi gambar ini sangat menyentuh hati saya. bagi anda yang ingin membaca langsung dari nara sumber, klik link sumber berikut :

Sumber : 
  1. http://shroudstory.com/2013/10/29/bouguereaus-mary/
  2. http://julienlasbleiz.deviantart.com/art/Maria-accurate-face-matching-the-Shroud-of-Turin-262151746?q=gallery:julienlasbleiz/32919194&qo=1

Sabtu, 21 Februari 2015

Segala Sesuatu yang Ingin Kalian Ketahui tentang Masa Prapaskah


Apa itu Masa Prapaskah? 

Masa Prapaskah adalah masa 40 hari sebelum Paskah, yang digunakan Gereja untuk mempersiapkan diri dalam merayakan Kebangkitan Tuhan kita Yesus Kristus pada hari Minggu Paskah.


Bilamanakah Masa Prapaskah dimulai? 

Masa Prapaskah dimulai pada hari Rabu Abu, yaitu hari di mana umat beriman menerima tanda Salib dari abu di dahinya. Masa Prapaskah berakhir pada siang hari Sabtu Suci. Lima hari Minggu Prapaskah tidak terhitung dalam masa 40 hari tersebut.


Mengapa orang Katolik membubuhi dahinya dengan tanda salib pada hari Rabu Abu?  

Sebab menurut Injil tanda di dahi adalah lambang kepemilikan seseorang. Dengan tanda salib didahinya melambangkan bahwa orang tersebut adalah milik Yesus Kristus, yang wafat di Kayu Salib. Tanda itu serupa dengan tanda rohani atau meterai yang dimeteraikan dalam Baptisan Kristiani, yaitu ketika manusia dibebaskan dari perbudakan dosa, serta dijadikan hamba kebenaran. (Roma 6:3-18). Tanda itu juga serupa dengan gambaran orang-orang benar dalam Kitab Wahyu: "Janganlah merusakkan bumi atau laut atau pohon-pohon sebelum kami memeteraikan hamba-hamba Allah kami pada dahi mereka!" (Why 7:3)


Mengapa diberi tanda dengan abu? 

Karena abu adalah lambang biblis dari sesal dan tobat. Dalam jaman Kitab Suci, umat Allah mempunyai kebiasaan untuk berpuasa, mengenakan kain kabung, duduk di atas abu, serta menaburi kepala mereka dengan abu. Sekarang kita tidak lagi mengenakan kain kabung atau duduk di atas abu, tetapi kita masih meneruskan kebiasaan berpuasa dan membubuhkan abu pada kening kita sebagai tanda sesal dan tobat. Sesungguhnya, Hari Rabu Abu bukanlah hari sekedar membubuhi dahi kita dengan abu, tetapi juga adalah hari puasa.


Adakah makna lain dari abu? 

Ya. Abu juga melambangkan kematian, dan dengan demikian mengingatkan kita akan ketidakabadian kita. Karenanya, ketika imam dengan ibu jarinya membubuhkan abu di kening umat, ia akan berkata, “Ingatlah, manusia berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu", seperti yang difirmankan Tuhan kepada Adam (Kej 3:19, Ayb 34:15; Mzm 90:3; Mzm 104:29; Pengkhotbah 3:20). Perkataan tersebut diucapkan juga dalam pemakaman, “Abu menjadi abu; debu menjadi debu,” sesuai firman Tuhan kepada Adam, dan sesuai dengan pengakuan Abraham, “Aku debu dan abu” (Kej 18:27). Demikianlah abu menjadi tanda ketidakabadian kita serta mengingatkan kita akan pentingnya bertobat sebelum hidup kita di dunia ini berakhir dan kita menghadap Sang Pencipta.


Berasal dari manakah abu yang digunakan pada Hari Rabu Abu? 

Abu tersebut dibuat dengan membakar daun-daun palma yang berasal dari hari Minggu Palma tahun sebelumnya. Daun-daun palma itu kemudian diberkati oleh imam - abu yang diberkati telah digunakan dalam ritual keagamaan sejak jaman Musa (Bil 19:9-10,17).


Mengapa daun-daun palma yang berasal dari Hari Minggu Palma tahun sebelumnya yang digunakan? 

Sebab hari Minggu Palma adalah saat rakyat bersukacita menyambut Yesus yang memasuki Yerusalem dengan jaya. Mereka menyambut kedatangan-Nya dengan melambai-lambaikan daun-daun palma, sedikit di antara mereka yang menyadari bahwa Ia datang untuk wafat guna menebus dosa-dosa mereka. Dengan menggunakan daun-daun Minggu Palma, Gereja hendak mengingatkan bahwa kita selayaknya tidak hanya bersukacita atas kedatangan Yesus, tetapi juga menyesali kenyataan bahwa karena dosa-dosa kitalah maka Ia harus wafat bagi kita guna menyelamatkan kita dari api neraka.


Mengapa Hari Minggu tidak terhitung dalam 40 hari Masa Prapaskah? 

Sebab hari Minggu adalah hari Kebangkitan Kristus, jadi hari Minggu bukanlah saat yang tepat untuk berpuasa dan menyesali dosa-dosa kita. Pada hari Minggu kita wajib merayakan Kebangkitan Kristus demi keselamatan kita. Pada hari Jumat-lah kita mengenang wafat-Nya demi menebus dosa-dosa kita. Hari Minggu sepanjang tahun adalah hari-hari pesta dan hari Jumat sepanjang tahun adalah hari-hari tobat.


Mengapa Masa Prapaskah berlangsung empat puluh hari lamanya? 

Sebab 40 hari adalah angka yang diyakini dalam Kitab Suci sebagai waktu untuk pendisiplinan diri, penyembahan serta persiapan. Musa tinggal di gunung Allah selama 40 hari (Kel 24:18; 34:28), Elia berkelana selama 40 hari sebelum ia tiba di gua di mana ia mendapat penglihatan (1Raj 19:8), Niniwe diberi waktu selama 40 hari untuk bertobat (Yun 3:4), dan yang terutama, sebelum memulai karya pewartaan-Nya, Yesus melewatkan 40 hari di padang gurun untuk berdoa dan berpuasa (Mat 4:2).

Karena Masa Prapaskah adalah masa untuk berdoa dan berpuasa, maka selayaknyalah umat Kristiani meneladani Tuhan mereka dengan masa 40 hari lamanya. Kristus menghabiskan 40 hari dengan berdoa dan berpuasa untuk mempersiapkan karya pewartaan-Nya, yang mencapai puncaknya dengan wafat serta kebangkitan-Nya, jadi selayaknyalah umat Kristiani meneladani-Nya dengan masa 40 hari berdoa dan berpuasa untuk mempersiapkan perayaan puncak karya pewartaan-Nya, yaitu Jumat Agung (Penyaliban-Nya) dan Minggu Paskah (Kebangkitan-Nya).

Katekismus Gereja Katolik menyatakan: “'Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa' (Ibr 4:15). Oleh masa puasa selama empat puluh hari setiap tahun, Gereja mempersatukan diri dengan misteri Yesus di padang gurun.” (Katekismus Gereja Katolik 540).


Apa itu hari puasa dan pantang? 

Sesuai dengan Kitab Hukum Kanonik, hari puasa adalah hari di mana umat Katolik yang berumur 18 sampai awal tahun ke-60 diwajibkan berpuasa. Puasa berarti makan kenyang (normal) satu kali sehari dengan dua kali makanan kecil, selama porsi kedua makanan kecil tersebut jika dijumlahkan tidak menjadi satu porsi makanan normal. Anak-anak tidak diwajibkan berpuasa, namun demikian para orangtua wajib menjamin bahwa anak-anak mereka memperoleh pendidikan rohani yang selayaknya dalam hal berpuasa. Mereka yang mempunyai masalah kesehatan dan karenanya membutuhkan porsi makanan yang lebih besar atau makanan normal seperti biasanya, dapat dengan mudah memperoleh dispensansi dari imam. Hari pantang adalah hari di mana umat Katolik yang berumur genap 14 tahun keatas wajib berpantang daging, atau ikan atau garam, atau jajan atau rokok. Bila dikehendaki masih bisa menambah sendiri puasa dan pantang secara pribadi, tanpa dibebani dengan dosa bila melanggarnya. Sekali lagi, mereka yang mempunyai masalah kesehatan dan karenanya mempunyai kebutuhan makanan yang khusus dapat dengan mudah memperoleh dispensasi dari imam.   


Adakah dasar Kitab Sucinya yang mengatakan bahwa berpantang daging adalah tanda tobat? 

Ya. Dalam Kitab Daniel dinyatakan:
“Pada tahun ketiga pemerintahan Koresh, raja orang Persia … aku, Daniel, berkabung tiga minggu penuh:  makanan yang sedap tidak kumakan, daging dan anggur tidak masuk ke dalam mulutku dan aku tidak berurap sampai berlalu tiga minggu penuh.” (Daniel 10:1-3).

Dengan berpantang hal-hal yang enak serta menolaknya, kita terpacu untuk bersikap rendah hati, membebaskan diri dari keterikatan kepada hal-hal tersebut, mengembangkan disiplin rohani dengan bersedia melakukan silih-silih pribadi, serta mengingatkan diri kita akan pentingnya hal-hal rohani di atas hal-hal duniawi. Karena Gereja Katolik hanya menetapkan pantang pada hari-hari tertentu, jelaslah bahwa Gereja tidak melarang umatnya menyantap daging. Sebaliknya, Gereja menganggapnya sebagai berpantang dari hal-hal yang nikmat (di mana di daerah-daerah yang tingkat ekonominya rendah, daging amatlah mahal harganya dan karenanya hanya disantap dalam pesta-pesta saja, sehingga daging menjadi tanda kegembiraan) - untuk mencapai tujuan rohani.


Atas dasar apakah Gereja mempunyai wewenang untuk menentukan hari-hari puasa dan pantang? 

Dengan wewengang dari Yesus Kristus yang berfirman kepada para pemimpin Gereja-Nya, “Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga." (Mat 16:19, 18:18). Istilah terikat dan terlepas adalah cara rabinnic untuk menunjukkan kuasa untuk menetapkan halakah atau peraturan dalam memimpin komunitas iman. Atau secara sederhana dapat digambarkan bahwa setiap keluarga memiliki wewenang untuk menetapkan waktu doa bersama bagi anggota-anggota keluarganya. Jadi, jika orangtua menetapkan bahwa doa bersama dalam keluarga akan dilakukan pada waktu tertentu (misalnya saja, membaca Kitab Suci setelah makan malam), adalah dosa bagi anak-anak untuk tidak mentaatinya serta mangkir dari doa bersama tanpa alasan yang tepat. Demikian juga, Gereja sebagai keluarga Allah memiliki wewenang untuk menetapkan doa bersama dalam keluarganya, dan adalah dosa bagi anggota-anggota Gereja jika tidak mentaati serta mangkir dari doa bersama tanpa alasan yang tepat (tentu saja jika seseorang mempunyai alasan yang tepat, Gereja akan segera memberikan dispensasi kepadanya).


Selain dari Hari Rabu Abu, adakah hari-hari puasa dan pantang yang lain selama Masa Prapaskah? 

Ya. Semua hari Jumat selama Masa Prapaskah adalah hari pantang. Juga, Jumat Agung, hari di mana Yesus disalibkan, adalah hari puasa dan pantang. Semua hari dalam Masa Prapaskah adalah hari yang tepat untuk berpuasa atau berpantang, tetapi Kitab Hukum Kanonik tidak mewajibkan puasa pada hari-hari tersebut. Jadi boleh berpuasa atau berpantang secara sukarela.


Mengapa setiap hari Jumat selama Masa Prapaskah ditetapkan sebagai hari pantang? 

Karena Yesus wafat untuk menebus dosa-dosa kita pada hari Jumat, sehingga hari Jumat merupakan hari yang amat tepat untuk menyesali dosa-dosa kita (sama seperti hari Minggu, hari di mana Yesus bangkit demi keselamatan kita adalah hari yang amat tepat untuk bersukacita) dengan menyangkal diri dari sesuatu yang kita sukai. Di luar Masa Prapaskah, umat Katolik diperbolehkan untuk melakukan bentuk tobat yang lain pada hari Jumat di sepanjang tahun sebagai ganti pantang. Semua hari Jumat adalah hari tobat di mana kita wajib melakukan sesuatu untuk menyatakan sesal atas dosa-dosa kita, seperti hari Minggu adalah hari kudus di mana kita wajib beribadat serta merayakan karunia keselamatan Allah yang luar biasa.

Apakah sikap tobat baik juga dilakukan pada hari-hari lain sepanjang Masa Prapaskah? 
Ya. Karenanya Hukum Kanonik menyatakan:
“Seluruh hari Jumat sepanjang tahun dan selama Masa Prapaskah adalah hari-hari tobat….”
(CIC 1250).

Kegiatan apa sajakah yang cocok dilakukan pada hari-hari biasa sepanjang Masa Prapaskah? 
Menyangkal diri dari sesuatu yang kita sukai selama Masa Prapaskah, melakukan tindakan amal kasih baik secara jasmani ataupun rohani bagi sesama, berdoa, berpuasa dan berpantang, memenuhi kewajiban-kewajiban kita secara lebih setia, menerima Sakramen Tobat dan tindakan-tindakan lain yang menyatakan tobat secara umum.


Mengapa sikap tobat amat tepat dilakukan pada Masa Prapaskah? 

Karena Masa Prapaskah berpuncak pada peringatan wafatnya Tuhan kita demi menebus dosa-dosa kita dan perayaan kebangkitan-Nya demi keselamatan kita. Oleh sebab itu amatlah tepat untuk menyesali dosa-dosa kita yang menyebabkan kematian-Nya. Manusia mempunyai pembawaan kejiwaan untuk berdukacita atas peristiwa-peristiwa yang menyedihkan, dan dosa-dosa kita adalah peristiwa-peristiwa yang paling menyedihkan. Karena sifat manusia yang lemah, manusia juga memerlukan waktu yang tetap untuk melakukan kegiatan tertentu (itulah sebabnya kita menetapkan hari Minggu sebagai waktu yang dikhususkan untuk beristirahat dan beribadat, karena jika tidak, kemungkinan besar kita akan lupa untuk meluangkan cukup waktu untuk beristirahat serta beribadat), karenanya sangatlah tepat memiliki waktu tetap untuk bertobat. Masa Prapaskah adalah salah satu dari waktu-waktu yang ditetapkan tersebut.


Apakah kebiasaan menyangkal diri dari hal-hal tertentu selama Masa Prapaskah itu wajib? 

Tidak. Namun demikian, kebiasaan itu adalah kebiasaan yang baik serta bermanfaat, dan para orangtua atau wali boleh menerapkannya kepada anak-anak untuk mendorong perkembangan latihan rohani mereka, yang adalah tugas utama mereka dalam membesarkan anak-anak.    


Karena hari Minggu tidak terhitung dalam empat puluh hari Masa Prapaskah, apakah kebiasaan menyangkal diri dari hal-hal tertentu juga berlaku? 

Biasanya, tidak. Tetapi, karena menyangkal diri dari hal-hal tertentu bermula dari sesuatu yang sifatnya sukarela, tidak ada peraturan resmi mengenai hal ini. Namun demikian, karena hari Minggu adalah hari perayaan, lebih tepat untuk menunda penyangkalan diri tersebut pada hari Minggu. Dengan iman dan tidak dengan berhura-hura, kita merayakan hari kebangkitan Tuhan kita, sehingga hari itu dan peristiwa itu dapat dibedakan dari hari-hari lain sepanjang Masa Prapaskah dan dari pesta-pesta lainnya. Perbedaan yang mencolok ini memperdalam pelajaran rohani yang diajarkan sepanjang Masa Prapaskah.


Mengapa menyangkal diri dari hal-hal tertentu selama Masa Prapaskah merupakan kebiasaan yang baik serta bermanfaat? 

Dengan menyangkal diri dari hal-hal yang kita sukai, kita mendisiplinkan kehendak kita sehingga kita tidak diperbudak oleh kesenangan-kesenangan kita itu. Seperti misalnya dengan selalu memperturutkan kata hati dalam menyantap makanan akan mengakibatkan kelemahan jasmani, jika keterikatan itu semakin besar, kita juga tidak akan mampu menghadapi situasi-situasi yang sulit lainnya. Terbiasa memperturutkan kata hati dalam segala kesenangan akan mengakibatkan kelemahan rohani, dan jika keterikatan itu semakin besar, kita juga tidak akan mampu menghadapi situasi-situasi rohani yang sulit. Misalnya, kita wajib mengorbankan kesenangan-kesenangan tertentu (seperti hubungan intim di luar ikatan pernikahan) atau menanggung penderitaan (seperti dihina atau dianiaya karena iman). Dengan mendisiplinkan kehendak kita untuk menolak kesenangan-kesenangan pada saat kesenangan-kesenangan tersebut tidak menimbulkan dosa, maka kita membentuk kebiasaan agar kehendak kita menolak kesenangan-kesenangan jika kesenangan-kesenangan itu mengakibatkan dosa. Ada cara-cara yang lebih baik agar kita dapat menempatkan prioritas dengan benar daripada hanya pada waktu-waktu tertentu saja melakukan penyangkalan diri terhadap hal-hal yang bukan prioritas untuk menunjukkan kepada kita bahwa hal-hal tersebut kurang penting dan kita lebih memusatkan perhatian pada apa yang penting.


Apakah menyangkal diri terhadap kesenangan adalah akhir dari kesenangan itu sendiri? 

Tidak. Penyangkalan diri hanyalah suatu cara untuk mengakhirinya. Dengan melatih diri kita untuk menolak godaan-godaan ketika godaan-godaan itu tidak mengakibatkan dosa, kita melatih diri kita sendiri untuk menolak godaan-godaan ketika godaan-godaan itu mengakibatkan dosa. Dengan penyangkalan diri, kita juga mengungkapkan keprihatinan kita karena telah gagal menolak godaan-godaan yang mengakibatkan dosa di masa lalu.


Bagaimana jika kita terlalu keras melakukan penyangkalan diri? 
  • Pertama, Tuhan membuat hidup manusia bergantung pada barang-barang tertentu, seperti makanan, dan menolak menikmati cukup makanan membawa akibat yang membahayakan. Sebagai contoh, jika kita tidak menyantap cukup makanan dapat mengakibatkan kerusakan tubuh atau bahkan kematian. Haruslah ada keseimbangan antara menyantap terlalu banyak makanan dan tidak menyantap cukup makanan. Demikian juga haruslah ada keseimbangan dalam hal-hal lain. 
  • Kedua, jika kita tidak dapat menetapkan keseimbangan yang benar dan menyangkal diri dari barang-barang yang Tuhan ingin kita memilikinya, maka hal tersebut dapat menyebabkan kesedihan Tuhan, yang secara rohani adalah sama berdosanya dengan menggunakan barang-barang tersebut secara berlebihan. Jadi seseorang dapat berdosa, baik dengan menggunakan barang-barang secara berlebihan atau dengan kurang mendayagunakan barang-barang yang berguna tersebut. 
  • Ketiga, hal tersebut dapat mengurangi keefektifan kita dalam mewartakan Injil kepada sesama. 
  • Keempat, menyia-nyiakan barang-barang yang Tuhan berikan kepada kita agar kita dapat memuliakan-Nya. Kelima, merupakan dosa tidak tahu berterima kasih dengan menolak menikmati barang-barang yang Tuhan ingin kita miliki karena Ia mengasihi kita. Jika seorang anak menolak setiap pemberian dari orangtuanya, maka orangtuanya akan bersedih hati. Dan jika kita menolak karunia-karunia yang Tuhan berikan kepada kita, maka Tuhan akan bersedih hati karena Ia sangat mencintai kita dan ingin kita memperoleh karunia-karunia-Nya tersebut.   


Selain dari Hari Rabu Abu, yang mengawali Masa Prapaskah, adakah perayaan-perayaan penting lainnya dalam Masa Prapaskah? 

Ada banyak pesta para kudus dalam Masa Prapaskah, dan beberapa di antaranya berubah dari tahun ke tahun karena tanggal berlangsungnya Masa Prapaskah sendiri juga berubah-ubah sesuai dengan tibanya Perayaan Paskah (lihat: Mengapa perayaan Paskah jatuh pada tanggal yang berbeda-beda setiap tahun?). Hari-hari Minggu dalam Masa Prapaskah kita mengenangkan peristiwa-peristiwa penting dalam hidup Tuhan Yesus, seperti Transfigurasi-Nya dan Yesus memasuki Yerusalem dengan jaya pada Hari Minggu Palma yang menjadi tanda dimulainya Pekan Suci. Pekan Suci mencapai puncaknya pada hari Kamis Putih - di mana Kristus merayakan Misa pertama, Jumat Agung - di mana Yesus disalibkan, dan Sabtu Suci - hari terakhir dari Masa Prapaskah - di mana Tuhan Yesus terbaring di Makam sebelum Kebangkitan-Nya pada hari Minggu Paskah, yaitu hari pertama sesudah Masa Prapaskah.

Penulis : P. Francis J. Peffley
Sumber : "Everything You Wanted to Know about Lent" by Fr Peffley; Father Peffley's Web Site; www.transporter.com/fatherpeffley

Dikutip / diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin Fr. Francis J. Peffley.”

Asal-mula Sejarah Masa Prapaskah.

Bagaimanakah asal-mula Masa Prapaskah? Apakah Gereja selalu merayakannya sebelum Paskah?
~ seorang pembaca di Falls Church

Masa Prapasakah merupakan masa istimewa untuk berdoa, bertobat, bermatiraga dan melakukan karya belas kasihan sebagai persiapan menyambut perayaan Paskah. Dalam kerinduannya untuk memperbaharui praktek-praktek liturgi Gereja, Konstitusi tentang Liturgi Kudus Konsili Vatikan II menyatakan, “Dua ciri khas Masa Prapaskah - mengenang atau mempersiapkan pembaptisan, dan membina tobat - haruslah diberi penekanan yang lebih besar dalam liturgi dan dalam katekese liturgi. Masa Prapaskah merupakan sarana Gereja dalam mempersiapkan umat beriman untuk merayakan Paskah, sementara mereka mendengarkan Sabda Tuhan dengan lebih sering dan meluangkan lebih banyak waktu untuk berdoa.” (no. 109).

Sejak masa awal Gereja, terdapat bukti akan adanya semacam masa persiapan menyambut Paskah. Sebagai contoh, St. Ireneus (wafat 203) menulis kepada Paus St. Victor I, perihal perayaan Paskah dan perbedaan-perbedaan dalam perayaannya antara Timur dan Barat, “Perbedaan tidak hanya sebatas hari, tetapi juga ciri puasa yang sesungguhnya. Sebagian berpendapat bahwa mereka wajib berpuasa selama satu hari, sebagian berpuasa selama dua hari, lainnya lebih lama lagi; sebagian menetapkan 'masa' mereka selama 40 jam. Berbagai perbedaan dalam perayaan tersebut bukan berasal dari masa kita, melainkan jauh sebelumnya, yaitu sejak masa para leluhur kita.” (Eusebius, Sejarah Gereja, V, 24). Ketika Rufinus menerjemahkan bagian berikut ini dari bahasa Yunani ke bahasa Latin, tanda baca yang dibubuhkan antara “40” dan “jam” menjadikan maknanya tampak seperti “40 hari, dua puluh empat jam sehari.” Namun demikian, maksud pernyataan di atas adalah bahwa sejak masa “para leluhur kita” - sebutan bagi para rasul - suatu masa persiapan selama 40 hari telah ada. Tetapi, praktek nyata dan lamanya Masa Prapaskah masih belum seragam di seluruh Gereja.  

Masa Prapaskah diatur secara lebih mantap setelah legalisasi agama Kristen pada tahun 313. Konsili Nicea (tahun 325), dalam hukum kanonnya, mencatat bahwa dua sinode provincial haruslah diselenggarakan setiap tahun, “satu sebelum Masa Prapaskah selama 40 hari.” St. Atanasius (wafat 373) dalam “Surat-surat Festal” meminta umatnya melakukan puasa selama 40 hari sebelum puasa yang lebih khusuk selama Pekan Suci. St. Sirilus dari Yerusalem (wafat 386) dalam Pelajaran Katekese, mengajukan 18 instruksi sebelum pembaptisan yang diberikan kepada para katekumen selama Masa Prapaskah. St. Sirilus dari Alexandria (wafat 444) dalam serial “Surat-surat Festal” juga mencatat praktek dan lamanya Masa Prapaskah dengan menekankan masa puasa selama 40 hari. Dan akhirnya, Paus St. Leo (wafat 461) menyampaikan khotbahnya bahwa umat beriman wajib “melaksanakan puasa mereka sesuai tradisi Apostolik selama 40 hari”. Orang dapat menyimpulkan bahwa pada akhir abad keempat, masa persiapan selama 40 hari menyambut Paskah yang disebut sebagai Masa Prapaskah telah ada, dan bahwa doa dan puasa merupakan latihan-latihan rohaninya yang  utama.

Tentu saja, angka “40” selalu mempunyai makna spiritual khusus sehubungan dengan persiapan. Di gunung Sinai, sebagai persiapan untuk menerima Sepuluh Perintah Allah, “Musa ada di sana bersama-sama dengan TUHAN empat puluh hari empat puluh malam lamanya, tidak makan roti dan tidak minum air” (Kel 34:28). Elia berjalan selama “40 hari dan 40 malam” ke gunung Allah, yakni gunung Horeb (nama lain Sinai) (1 Raj 19:8). Dan yang terutama, Yesus berpuasa dan berdoa selama “40 hari dan 40 malam” di padang gurun sebelum Ia memulai pewartaan-Nya di hadapan orang banyak (Mat 4:2).

Begitu Masa Prapaskah selama 40 hari ditetapkan, perkembangan berikutnya adalah menyangkut berapa banyak puasa yang harus dilakukan. Di Yerusalem, misalnya, orang berpuasa selama 40 hari, mulai hari Senin hingga hari Jumat, tetapi tidak pada hari Sabtu dan hari Minggu, dengan demikian Masa Prapaskah berlangsung selama delapan minggu. Di Roma dan di Barat, orang berpuasa selama enam minggu, mulai hari Senin hingga hari Sabtu, dengan demikian Masa Prapaskah berlangsung selama enam minggu. Akhirnya, diberlakukan praktek puasa selama enam hari dalam satu minggu, selama masa enam minggu, dan Rabu Abu ditetapkan untuk menggenapkan hari-hari puasa sebelum Paskah menjadi 40 hari. Peraturan-peraturan puasa bervariasi pula.
  • Pertama, sebagian wilayah Gereja berpantang dari segala bentuk daging dan produk hewani, sementara yang lain berpantang makanan tertentu seperti ikan. Sebagai contoh, Paus St. Gregorius (wafat 604), menulis kepada St. Agustinus dari Canterbury, perihal peraturan berikut: “Kami berpantang lemak, daging, dan segala makanan yang berasal dari hewan seperti susu, keju dan telur.”
  • Kedua, peraturan umum adalah orang makan satu kali dalam satu hari, yaitu pada sore hari atau pada pukul 3 petang.


Peraturan-peraturan puasa Masa Prapaskah juga mengalami perkembangan. Pada akhirnya, makan sedikit pada waktu siang diperbolehkan guna menjaga daya tahan tubuh selama melakukan pekerjaan sehari-hari. Makan ikan diperbolehkan, dan akhirnya makan daging juga diperbolehkan sepanjang minggu kecuali pada hari Rabu Abu dan setiap hari Jumat. Dispensasi diberikan untuk mengkonsumsi produk-produk hewani jika orang melakukan kerja berat, dan akhirnya peraturan ini pun sepenuhnya dihapuskan.

Selama bertahun-tahun perubahan-perubahan terus dilakukan dalam merayakan Masa Prapaskah, menjadikan praktek kita sekarang tidak saja sederhana, tetapi juga ringan. Rabu Abu masih menandai dimulainya Masa Papaskah, yang berlangsung selama 40 hari, tidak termasuk hari Minggu. Peraturan-peraturan pantang dan puasa yang berlaku sekarang amatlah sederhana: Pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung, umat beriman berpuasa (makan kenyang hanya satu kali dalam sehari, ditambah makan sedikit untuk menjaga daya tahan tubuh) dan berpantang setiap hari Jumat selama Masa Prapaskah. Umat masih dianjurkan untuk “merelakan sesuatu” sesuatu selama Masa Prapaskah sebagai mati raga. (Catatan menarik adalah bahwa pada hari Minggu dan hari-hari raya, seperti Hari Raya St. Yusuf (19 Maret) dan Hari Raya Kabar Sukacita (25 Maret), orang bebas dan diperbolehkan makan / melakukan apa yang telah dikorbankan sebagai mati raga selama Masa Prapaskah).


Namun demikian, senantiasa diajarkan kepada saya, “Jika kamu berpantang sesuatu demi Tuhan, teguhkan hatimu. Janganlah berlaku seperti orang Farisi yang suka mencari-cari kesempatan.” Lagipula, penekanan haruslah dititikberatkan pada melakukan kegiatan-kegiatan rohani, seperti ikut serta dalam Jalan Salib, ambil bagian dalam Misa, adorasi di hadapan Sakramen Mahakudus, meluangkan waktu untuk berdoa secara prbadi, membaca bacaan-bacaan rohani, dan yang terutama menerima Sakramen Tobat dengan baik dan memperoleh absolusi. Meskipun praktek perayaan dapat berubah dan berkembang dari jaman ke jaman, namun fokus Masa Prapaskah tetap sama: yaitu menyesali dosa, memperbaharui iman, serta mempersiapkan diri menyambut perayaan sukacita misteri keselamatan kita.  

Penulis :  Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
Sumber : “Straight Answers: History of Lent” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2002 Arlington Catholic Herald.  All rights reserved; www.catholicherald.com

Dikutip / diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya 

Senin, 09 Februari 2015

Penjelasan Mengenai Doa "Salam Malaikat" (Salam Maria) menurut St. Thomas Aquinas


Berikut ini adalah terjemahan karya St. Thomas Aquinas, yang berjudul Expositio Salutationis angelicae (Penjelasan mengenai Salam Malaikat) dari Bahasa Latin ke Bahasa Indonesia. Karya ini mengandung sebuah katekesis yang sangat indah mengenai bagian pertama doa Salam Maria (mulai dari ‘Salam Maria penuh rahmat’ sampai ‘terpujilah buah tubuhmu Yesus’).


Pendahuluan

Salam tersebut mengandung tiga bagian. Sang Malaikat mengucapkan sebuah bagian, yang berbunyi salam Maria, penuh rahmat Tuhan sertamu, terpujilah engkau di antara wanita. Bagian lain diucapkan oleh Elisabet, bunda Yohanes Pembaptis, yang berbunyi terpujilah buah tubuhmu. Gereja menambahkan bagian ketiga, yang berbunyi Maria, karena Malaikat tidak mengucapkan “salam Maria,” melainkan “salam penuh rahmat.” Dan akan menjadi jelas bahwa nama ini—Maria—cocok dengan pernyataan Malaikat, menurut interpretasi [Gereja].


Artikel 1: Salam Maria penuh rahmat, Tuhan sertamu

Bisa dikatakan, mengenai bagian pertama ini, bahwa sejak dahulu kala penampakan para Malaikat kepada manusia merupakan sebuah peristiwa yang sangat besar. Oleh sebab itu, manusia menunjukkan hormatnya kepada para malaikat dan memuji mereka, karena para Malaikat layak menerima pujian yang sangat besar. Karenanya, tertulis—sebagai pujian bagi Abraham—bahwa ia menerima para Malaikat dengan ramah dan menunjukkan hormatnya kepada mereka. Akan tetapi, belum pernah terdengar bahwa ada Malaikat yang memberi hormat kepada manusia, sampai saat ketika Malaikat memberi salam kepada Perawan yang bahagia, mengatakan dengan penuh hormat salam. Masuk akal apabila sejak dahulu kala Malaikat tidak memberi hormat kepada manusia, melainkan manusialah yang memberi hormat kepada Malaikat, karena Malaikat lebih besar daripada manusia dalam tiga hal.
  • Pertama, dalam martabat: sudah sewajarnya demikian, karena Malaikat memiliki kodrat spiritual—Mazmur 103:4 berbuyi, “yang membuat angin sebagai suruhan-suruhan-Mu”. Sebaliknya manusia, secara kodrati, dapat musnah; karenanya, Abraham berkata (Kejadian 18:27), “aku telah memberanikan diri berkata kepada Tuhan, walaupun aku debu dan abu”. Tidaklah layak bahwa makhluk [ciptaan] spiritual yang tidak dapat musnah menunjukkan hormat kepada manusia yang jelasnya merupakan makhluk yang dapat musnah.
  • Kedua, dalam kedekatannya kepada Allah. Malaikat adalah sahabat Allah yang melayani-Nya—Daniel 7:10 berbunyi, “seribu kali beribu-ribu melayani Dia, dan selaksa kali berlaksa-laksa berdiri di hadapan-Nya”. Sebaliknya, hampir dapat dikatakan bahwa manusia adalah orang asing yang terpisahkan dari Allah akibat dosa—Mazmur 55:8 berbunyi, “aku akan lari jauh-jauh”. Oleh karena itu, sudah selayaknya manusia menghormati Malaikat, yang adalah makhluk yang dekat dan pelayan raja.
  • Ketiga, [Malaikat] unggul oleh sebab kepenuhan terang rahmat ilahi [yang ia miliki]: sungguh para Malaikat mengambil bagian secara penuh dalam terang ilahi—Ayub 25:3 berbunyi, “Dapatkah dihitung pasukan-Nya? Dan siapakah yang tidak disinari terang-Nya?” Oleh karena itu, [Malaikat] selalu menampakkan dirinya dengan terang. Sebaliknya, manusia—meski mengambil bagian dalam terang rahmat yang sama—masih terus berada dalam kegelapan. Dengan demikian, sesungguhnya tidaklah pantas bahwa [Malaikat] menunjukkan hormat kepada manusia, sampai ditemukan seseorang dengan kodrat manusia yang melebihi para Malaikat dalam tiga hal tersebut. Dan ialah Sang Perawan yang Terpuji. Karenanya, untuk menunjukkan bahwa dalam tiga hal tersebut Sang Perawan melebihinya, Malaikat ingin memberikan hormat kepadanya: karenanya, Malaikat berkata, salam. Oleh sebab itu, Sang Perawan yang Terpuji melebihi Malaikat dalam tiga hal tersebut. Pertama, kepenuhan rahmat yang ada dalam Perawan yang Terpuji lebih besar dari rahmat yang ada dalam Malaikat manapun juga; untuk menjelaskan hal ini, Malaikat menunjukkan hormat kepadanya dengan berkata penuh rahmat, dan dengan demikian seakan-akan berkata, “saya menunjukkan hormat kepadamu, karena engkau melebihiku dalam kepenuhan rahmat.”


Dikatakan bahwa Sang Perawan yang Terpuji dipenuhi dengan rahmat dalam tiga hal.

(1). Pertama, berkaitan dengan jiwanya, yang memiliki segala kepenuhan rahmat. 

Karena rahmat Allah diberikan dengan dua tujuan, yakni, untuk berbuat baik dan menghindari kejahatan; dan Sang Perawan yang Terpuji memiliki rahmat yang sangat sempurna dalam dua hal tersebut. Oleh sebab itu, setelah Kristus, [Sang Perawan] menghindari semua dosa lebih baik dari orang kudus manapun juga. Karena terdapat dosa asal—dan darinya ia dimurnikan dalam kandungan;[1] dan ia juga dibebaskan dari dosa berat dan ringan. Oleh sebab itu, Kidung Agung 4:7 berbunyi, “Engkau cantik sekali, manisku, tak ada cacat cela padamu.” Agustinus, dalam Mengenai kodrat dan rahmat, [berkata]: “kecuali Santa Perawan Maria, apabila semua santo dan santa berada di sini [dan] ditanyakan kepada mereka apakah ada seorang di antara mereka yang tidak berdosa, semua akan berseru dengan satu suara: ‘Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita.’ Santa Perawan [Maria] merupakan sebuah pengecualian; maksud saya, [mengenai Santa Perawan Maria,] demi kehormatan Tuhan, saya tidak ingin mempertanyakan sama sekali hal-hal yang berkaitan dengan dosa. Kita tahu bahwa terdapat rahmat yang lebih besar dalam [Santa Perawan] untuk mengalahkan segala dosa sampai-sampai ia layak mengandung dan melahirkan Ia yang jelasnya tidak memiliki dosa sama sekali.” Akan tetapi, Kristus melebihi Sang Perawan yang Terpuji dalam hal ini, karena Kristus dikandung dan dilahirkan tanpa dosa asal, sedangkan Sang Perawan yang Terpuji dikandung dalam dosa asal, tetapi dilahirkan tanpanya. Ia mempraktikkan semua kebajikan, sedangkan para kudus lainnya mempraktikkan kebajikan-kebajikan tertentu: orang kudus yang ini rendah hati, yang itu murni, yang lain berbelas kasih. Dengan demikian, mereka memberikan dirinya sebagai teladan dalam kebajikan-kebajikan tertentu, seperti Beato Nikolas yang memberikan teladan dalam belas-kasihan, dan sebagainya.

Namun, Sang Perawan yang Terpuji adalah teladan dalam semua kebajikan: di dalam dirinya kamu menemukan teladan dalam kerendahan-hati—Lukas 1:38, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan”, dan setelahnya, dalam ayat 48: “Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya”; [teladan] dalam kemurnian—“karena aku belum bersuami”, ayat 34; dan, jelasnya, [teladan] dalam segala kebajikan. Dengan demikian :
  • Pertama, Sang Perawan yang Terpuji dipenuhi dengan rahmat baik untuk berbuat baik maupun untuk menghindari kejahatan.]
  • Kedua, Sang Perawan yang Terpuji dipenuhi dengan rahmat berkaitan dengan kelimpahan jiwanya yang melebihi daging atau tubuhnya. Adalah baik bahwa para kudus memiliki rahmat yang sangat besar sehingga mereka dapat menguduskan jiwa mereka; akan tetapi, jiwa Sang Perawan yang Terpuji dipenuhi dengan rahmat sedemikian rupa sehingga rahmat tersebut mengalir ke dalam dagingnya, supaya ia dapat mengandung Putra Allah. Oleh karena itu, Hugo dari Santo Victor berkata, “karena di dalam hatinya berkobar secara khusus cinta Roh Kudus, ia melakukan hal-hal yang menakjubkan di dalam kedagingannya, sampai-sampai darinya lahir Allah dan manusia.” Lukas 1:35 berbunyi, “sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah”.
  • Ketiga, dalam kelimpahan [rahmatnya] yang memenuhi semua orang. Adalah sebuah kebesaran bahwa seorang kudus memiliki rahmat yang begitu besar sehingga rahmat tersebut cukup bagi keselamatan orang banyak; akan tetapi, adalah sebuah kebesaran yang tak terbandingkan ketika [seseorang] memiliki [rahmat] yang sedemikian besarnya sehingga [rahmat tersebut] cukup bagi keselamatan seluruh manusia di bumi: dan hal ini terwujud dalam diri Kristus dan dalam diri Perawan yang terpuji. Karena itu, dalam segala bahaya kamu dapat memperoleh keselamatan dari Sang Perawan yang Mulia. Oleh sebab itu, Kidung Agung 4:4 berbunyi, “Seribu perisai (dengan kata lain, obat melawan bahaya) tergantung padanya”. Selain itu, dalam semua karya kebajikan, kamu dapat memohon bantuan dari Sang Perawan; dan karenanya [Sang Perawan] berkata (Sirakh 24:18), “in me omnis spes vitae et virtutis [di dalam diriku terdapat segala pengharapan akan hidup dan kebajikan]”

Demikianlah [Santa Perawan Maria] dipenuhi dengan rahmat, dan melebihi para Malaikat dalam kepenuhan rahmatnya; dan oleh sebab itu layaklah ia dipanggil Maria, yang berarti bersinar dengan sendirinya—seperti yang dikatakan Yesaya 58:11, “Tuhan akan … memuaskan hatimu di tanah yang kering”—dan penerang bagi orang lain, bagi seluruh dunia; dan oleh karena itu [Maria] serupa dengan matahari dan bulan.


(2). Kedua, [Maria] melebihi para Malaikat dalam kedekatannya dengan Allah. 

Oleh sebab itu Malaikat berkata kepadanya, “Tuhan sertamu“; seakan-akan ia berkata: saya menunjukkan hormat kepadamu karena engkau lebih dekat kepada Allah daripadaku, karena Tuhan sertamu. [Ketika mengatakan Tuhan, Malaikat bermaksud mengatakan] Bapa serta Putra—sesuatu yang tidak dimiliki Malaikat maupun makhluk ciptaan manapun juga. Lukas 1:35 berbunyi, “anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.” Allah Putra [berada] dalam rahim. Yesaya 12:6 berbunyi, “Berserulah dan bersorak-sorailah, hai penduduk Sion, sebab Yang Mahakudus, Allah Israel, agung di tengah-tengahmu!” Tidaklah sama relasi Tuhan dengan Perawan yang Terpuji dan relasi-Nya dengan Malaikat; bagi [Perawan Maria] Ia adalah Putra, bagi Malaikat Ia adalah Tuhan. [Bagi] Allah Roh Kudus, [Maria] adalah bagaikan bait; oleh sebab itu dikatakan “bait Tuhan, tempat suci bagi Roh Kudus”, karena [Maria] mengandung dari Roh Kudus (Lukas 1:35): “Roh Kudus akan turun atasmu”. Dengan demikian, Perawan yang Terpuji lebih dekat dengan Allah daripada Malaikat: karena Allah Bapa, Allah Putra, Allah Roh Kudus—dengan kata lain, segenap Allah Tritunggal—bersertanya. Dan tentang Maria dilambungkan nyanyian yang berbunyi: “tempat peristirahatan bagi segenap Allah Tritunggal.” Sapaan “Tuhan sertamu” adalah perkataan yang paling mulia yang dapat ditujukan kepada seseorang. Pantaslah bahwa Malaikat menghormati Sang Perawan yang Terpuji, karena ia adalah Bunda Tuhan, dan karenanya adalah nyonya. Karenanya, ia secara tepat diberi nama Maria, yang dalam bahasa Siria berarti nyonya.


(3). Ketiga, [Maria] melebihi para Malaikat dalam kemurnian, karena Perawan yang Terpuji tidak hanya murni, namun juga memperolehkan kemurnian bagi sesamanya. 

Ia sangatlah murni dalam kaitan dengan dosa, karena Sang Perawan tidak jatuh dalam dosa ringan maupun dosa berat. Demikian pula dalam kaitan dengan hukuman. Kepada manusia dijatuhkan tiga kutukan akibat dosa. [Kutukan] yang pertama diberikan kepada perempuan, yang akan mengandung dengan noda, menjalani masa kehamilannya dengan penuh kesulitan, dan melahirkan dalam kesakitan. Namun Perawan yang Terpuji kebal terhadap hal ini, karena ia mengandung tanpa noda, menjalani masa kehamilannya dengan nyaman, dan melahirkan Sang Juruselamat dengan penuh sukacita. Yesaya 35:2 berbunyi, “ia akan berbunga lebat, akan bersorak-sorak, ya bersorak-sorak dan bersorak-sorai”. [Kutukan] yang kedua diberikan kepada laki-laki, yang harus memperoleh roti dengan keringat di wajahnya. Perawan yang Terpuji kebal terhadap hal ini; seperti yang dikatakan sang Rasul (1 Korintus 7:[32]): para perawan tidak terbebani oleh perkara dunia ini, dan mereka memusatkan perhatiannya hanya pada Allah. [Kutukan] yang ketiga berlaku bagi laki-laki dan perempuan, yakni mereka akan kembali menjadi debu. Dan Perawan yang Terpuji kebal terhadap hal ini, karena [ia] diangkat ke surga dengan tubuhnya. Kita percaya bahwa setelah kematiannya, [Maria] dibangkitkan dan diangkat ke surga. Mazmur [132]:8 berbunyi, “Bangunlah, ya TUHAN, dan pergilah ke tempat perhentian-Mu, Engkau serta tabut kekuatan-Mu!”


Artikel 2: Terpujilah engkau di antara wanita

Dengan demikian, [Maria] kebal terhadap segala kutukan, dan oleh sebab itu [ia] terpuji di antara wanita: ialah satu-satunya yang menjauhkan kutukan, membawa berkat, dan membuka pintu Firdaus; dan oleh sebab itu pantaslah diberikan kepadanya nama Maria, yang berarti bintang laut; karena bagaikan para pelaut diarahkan menuju pelabuhan oleh bintang laut, demikian pula orang-orang Kristen diarahkan oleh Maria menuju kemuliaan.


Artikel 3: Terpujilah buah tubuhmu

Terkadang seorang yang berdosa mencari di sebuah tempat suatu hal yang tidak dapat ditemukan di sana, namun orang yang benar menemukannya. Amsal 13:22 berbunyi, “kekayaan orang berdosa disimpan bagi orang benar”. Karenanya, Hawa mencari buah, dan dalam buah tersebut ia tidak menemukan segala hal yang ia inginkan; [sebaliknya,] Perawan yang terpuji menemukan segala hal yang diinginkan Hawa dalam buahnya. Hawa menginginkan tiga hal dalam buahnya.

  • Pertama, [ia mencari] hal yang dijanjikan secara palsu oleh Iblis, yakni mereka [Adam dan Hawa] akan tahu tentang yang baik dan yang jahat, seperti dewa-dewa. “[K]amu (kata si pembohong) akan menjadi seperti Allah,” seperti yang dikatakan dalam Kejadian 3:5. [Si Iblis] berbohong, karena ia adalah pembohong dan bapa segala kebohongan. Oleh sebab itu, Hawa, karena ia memakan buah tersebut, tidak menjadikan dirinya serupa dengan Allah, melainkan tidak serupa, karena dengan berdosa ia menjauhkan dirinya dari Allah keselamatannya dan diusir dari Firdaus. Akan tetapi, hal inilah yang ditemukan oleh Perawan yang Terpuji dan semua orang Kristen dalam buah tubuhnya: karena melalui Kristus kita dipersatukan dan dijadikan serupa dengan Allah. 1 Yohanes 3:2 berbunyi, “apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya”.
  • Kedua, dalam buahnya Hawa mendambakan kenikmatan, karena [buah tersebut] lezat untuk dimakan; akan tetapi hal tersebut tidak ditemukannya, karena langsung setelah memakannya ia sadar bahwa ia telanjang, dan ia menjadi gelisah. Namun, dalam buah Sang Perawan kita menemukan kelembutan dan keselamatan. Yohanes 6:[54] [berbunyi], “Barangsiapa makan daging-Ku …, ia mempunyai hidup yang kekal”.
  • Ketiga, buah Hawa tampak indah; akan tetapi lebih indah lagi buah Sang Perawan—para Malaikat pun rindu memandang-Nya. Mazmur [45]:3 berbunyi, “Engkau yang terelok di antara anak-anak manusia,” karena Ia adalah cahaya kemuliaan Bapa. Dengan demikian, Hawa tidak dapat menemukan dalam buahnya apa yang tidak dapat ditemukan oleh seorang pendosa dalam dosanya. Oleh sebab itu, kita harus mencari apa yang kita rindukan dalam buah sang Perawan. Buah ini dipuji oleh Allah, karena Allah memenuhi-Nya dengan segala rahmat yang dicurahkan kepada kita ketika bersembah sujud kepada-Nya—Efesus 1:3 berbunyi, “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga”. [Buah ini dipuji] oleh para Malaikat—Wahyu 7:12 berbunyi, “puji-pujian dan kemuliaan, dan hikmat dan syukur, dan hormat dan kekuasaan dan kekuatan bagi Allah kita”. [Buah ini dipuji] oleh para manusia—sang rasul [menulis dalam] Filipi 2:11, “segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa”; Mazmur [118]:26 [berbunyi], “Diberkatilah dia yang datang dalam nama Tuhan”. Dengan demikian, Sang Perawan adalah seseorang yang terpuji; akan tetapi lebih terpuji lagi buahnya.


Teks asli Expositio Salutationis angelicae



Prooemium

In salutatione ista continentur tria. Unam partem fecit Angelus, scilicet ave gratia plena, dominus tecum, benedicta tu in mulieribus. Aliam partem fecit Elisabeth, mater Ioannis Baptistae, scilicet benedictus fructus ventris tui. Tertiam partem addidit Ecclesia, scilicet Maria: nam Angelus non dixit, ave Maria, sed ave, gratia plena. Et hoc nomen, scilicet Maria, secundum suam interpretationem convenit dictis Angeli, sicut patebit.


Articulus 1: Ave Maria gratia plena, dominus tecum

Est ergo circa primum considerandum, quod antiquitus erat valde magnum quod Angeli apparerent hominibus; vel quod homines facerent eis reverentiam, habebant pro maxima laude. Unde et ad laudem Abrahae scribitur, quod recepit Angelos hospitio, et quod exhibuit eis reverentiam. Quod autem Angelus faceret homini reverentiam, nunquam fuit auditum, nisi postquam salutavit beatam virginem, reverenter dicens, ave. Quod autem antiquitus non reverebatur hominem Angelus, sed homo Angelum, ratio est, quia Angelus erat maior homine; et hoc quantum ad tria.

Primo quantum ad dignitatem: ratio est, Angelus est naturae spiritualis. Psal. CIII, 4: qui facit Angelos suos spiritus; homo vero est naturae corruptibilis: unde dicebat Abraham (Gen. XVIII, 27): loquar ad dominum meum, cum sim pulvis et cinis. Non ergo erat decens ut spiritualis et incorruptibilis creatura reverentiam exhiberet corruptibili, scilicet homini.

Secundo quantum ad familiaritatem ad Deum. Nam Angelus est Deo familiaris, utpote assistens. Dan. VII, 10: millia millium ministrabant ei, et decies millies centena millia assistebant ei. Homo vero est quasi extraneus, et elongatus a Deo per peccatum. Psal. LIV, 8: elongavi fugiens. Ideo conveniens est ut homo revereatur Angelum, utpote propinquum et familiarem regis.

Tertio praeeminebat propter plenitudinem splendoris gratiae divinae: Angeli enim participant ipsum lumen divinum in summa plenitudine. Iob. XXV, 3: nunquid est numerus militum eius, et super quem non surget lumen eius? Et ideo semper apparet cum lumine. Sed homines, etsi aliquid participent de ipso lumine gratiae, parum tamen, et in obscuritate quadam. Non ergo decens erat ut homini reverentiam exhiberet, quousque aliquis inveniretur in humana natura qui in his tribus excederet Angelos. Et haec fuit beata virgo. Et ideo ad designandum quod in his tribus excedebat eum, voluit ei Angelus reverentiam exhibere: unde dixit, ave. Unde beata virgo excessit Angelos in iis tribus. Et primo in plenitudine gratiae, quae magis est in beata virgine quam in aliquo Angelo; et ideo ad insinuandum hoc, Angelus ei reverentiam exhibuit, dicens, gratia plena, quasi diceret: ideo exhibeo tibi reverentiam, quia me excellis in plenitudine gratiae.

Dicitur autem beata virgo plena gratia quantum ad tria. Primo quantum ad animam, in qua habuit omnem plenitudinem gratiae. Nam gratia Dei datur ad duo: scilicet ad bonum operandum, et ad vitandum malum; et quantum ad ista duo perfectissimam gratiam habuit beata virgo. Nam ipsa omne peccatum vitavit magis quam aliquis sanctus post Christum. Peccatum enim aut est originale, et de isto fuit mundata in utero; aut mortale aut veniale, et de istis libera fuit. Unde Cant. IV, 7: tota pulchra es, amica mea, et macula non est in te. Augustinus in libro de natura et gratia: excepta sancta virgine Maria, si omnes sancti et sanctae cum hic viverent, interrogati fuissent utrum sine peccato essent, omnes una voce clamassent: si dixerimus quia peccatum non habemus, ipsi nos seducimus, et veritas in nobis non est. Excepta, inquam, hac sancta virgine, de qua propter honorem domini, cum de peccato agitur, nullam prorsus volo quaestionem habere. Scimus enim quod ei plus gratiae collatum fuerit ad peccatum ex omni parte vincendum quae illum concipere et parere meruit quem constat nullum habuisse peccatum. Sed Christus excellit beatam virginem in hoc quod sine originali conceptus et natus est. Beata autem virgo in originali est concepta, sed non nata. Ipsa etiam omnium virtutum opera exercuit, alii autem sancti specialia quaedam: quia alius humilis, alius castus, alius misericors; et ideo ipsi dantur in exemplum specialium virtutum, sicut beatus Nicolaus in exemplum misericordiae et cetera.

Sed beata virgo in exemplum omnium virtutum: quia in ea reperis exemplum humilitatis: Luc. I, 38: ecce ancilla domini, et post, vers. 48: respexit humilitatem ancillae suae, castitatis, quoniam virum non cognosco, vers. 34, et omnium virtutum; ut satis patet. Sic ergo plena est gratia beata virgo et quantum ad boni operationem, et quantum ad mali vitationem.

Secundo plena fuit gratia quantum ad redundantiam animae ad carnem vel corpus. Nam magnum est in sanctis habere tantum de gratia quod sanctificet animam; sed anima beatae virginis ita fuit plena quod ex ea refudit gratiam in carnem, ut de ipsa conciperet filium Dei. Et ideo dicit Hugo de s. Victore: quia in corde eius amor spiritus sancti singulariter ardebat, ideo in carne eius mirabilia faciebat, intantum quod de ea nasceretur Deus et homo. Luc. I, 35: quod enim nascetur ex te sanctum, vocabitur filius Dei.

Tertio quantum ad refusionem in omnes homines. Magnum enim est in quolibet sancto, quando habet tantum de gratia quod sufficit ad salutem multorum; sed quando haberet tantum quod sufficeret ad salutem omnium hominum de mundo, hoc esset maximum: et hoc est in Christo, et in beata virgine. Nam in omni periculo potes salutem obtinere ab ipsa virgine gloriosa. Unde Cant. IV, 4: mille clypei, (idest remedia contra pericula), pendent ex ea. Item in omni opere virtutis potes eam habere in adiutorium; et ideo dicit ipsa, Eccli. XXIV, 25: in me omnis spes vitae et virtutis.

Sic ergo plena est gratia, et excedit Angelos in plenitudine gratiae; et propter hoc convenienter vocatur Maria quae interpretatur illuminata in se; unde Isai. LVIII, 11: implebit splendoribus animam tuam; et illuminatrix in alios, quantum ad totum mundum; et ideo assimilatur soli et lunae.

Secundo excellit Angelos in familiaritate divina. Et ideo hoc designans Angelus dixit: dominus tecum; quasi dicat: ideo exhibeo tibi reverentiam, quia tu familiarior es Deo quam ego, nam dominus est tecum. Dominus, inquit, pater cum eodem filio; quod nullus Angelus, nec aliqua creatura habuit. Luc. I, XXXV: quod enim nascetur ex te sanctum, vocabitur filius Dei. Dominus filius in utero. Isai. XII, 6: exulta et lauda habitatio Sion, quia magnus in medio tui sanctus Israel. Aliter est ergo dominus cum beata virgine quam cum Angelo; quia cum ea ut filius, cum Angelo ut dominus. Dominus spiritus sanctus, sicut in templo; unde dicitur: templum domini, sacrarium spiritus sancti, quia concepit ex spiritu sancto: Luc. I, 35: spiritus sanctus superveniet in te. Sic ergo familiarior cum Deo est beata virgo quam Angelus: quia cum ipsa dominus pater, dominus filius, dominus spiritus sanctus, scilicet tota Trinitas. Et ideo cantatur de ea: totius Trinitatis nobile triclinium. Hoc autem verbum, dominus tecum, est nobilius verbum quod sibi dici possit. Merito ergo Angelus reveretur beatam virginem, quia mater domini, et ideo domina est. Unde convenit ei hoc nomen Maria, quod Syra lingua interpretatur domina.

Tertio excedit Angelos quantum ad puritatem: quia beata virgo non solum erat pura in se, sed etiam procuravit puritatem aliis. Ipsa enim purissima fuit et quantum ad culpam, quia ipsa virgo nec mortale nec veniale peccatum incurrit. Item quantum ad poenam. Tres enim maledictiones datae sunt hominibus propter peccatum. Prima data est mulieri, scilicet quod cum corruptione conciperet, cum gravamine portaret, et in dolore pareret. Sed ab hac immunis fuit beata virgo: quia sine corruptione concepit, in solatio portavit, et in gaudio peperit salvatorem. Isai. XXXV, 2: germinans germinabit exultabunda et laudans. Secunda data est homini, scilicet quod in sudore vultus vesceretur pane suo. Ab hac immunis fuit beata virgo: quia, ut dicit apostolus, I Cor. VII, virgines solutae sunt a cura huius mundi, et soli Deo vacant. Tertia fuit communis viris et mulieribus, scilicet ut in pulverem reverterentur. Et ab hac immunis fuit beata virgo, quia cum corpore assumpta est in caelum. Credimus enim quod post mortem resuscitata fuerit, et portata in caelum. Psal. CXXXI, 8: surge, domine, in requiem tuam; tu, et arca sanctificationis tuae.


Articulus 3: Benedictus fructus ventris tui

Peccator aliquando quaerit in aliquo quod non potest consequi, sed consequitur illud iustus. Prov. XIII, 22: custoditur iusto substantia peccatoris. Sic Eva quaesivit fructum, et in illo non invenit omnia quae desideravit; beata autem virgo in fructu suo invenit omnia quae desideravit Eva. Nam Eva in fructu suo tria desideravit. Primo id quod falso promisit ei Diabolus, scilicet quod essent sicut dii, scientes bonum et malum. Eritis (inquit ille mendax) sicut dii, sicut dicitur Gen. III, 5. Et mentitus est, quia mendax est, et pater eius. Nam Eva propter esum fructus non est facta similis Deo, sed dissimilis: quia peccando recessit a Deo salutari suo, unde et expulsa est de Paradiso. Sed hoc invenit beata virgo et omnes Christiani in fructu ventris sui: quia per Christum coniungimur et assimilamur Deo. I Ioan. III, 2: cum apparuerit, similes ei erimus, quoniam videbimus eum sicuti est.

Secundo in fructu suo Eva desideravit delectationem, quia bonus ad edendum; sed non invenit, quia statim cognovit se nudam, et habuit dolorem. Sed in fructu virginis suavitatem invenimus et salutem. Ioan. VI, 55: qui manducat meam carnem, habet vitam aeternam.

Tertio fructus Evae erat pulcher aspectu; sed pulchrior fructus virginis, in quem desiderant Angeli prospicere. Psal. XLIV, 3: speciosus forma prae filiis hominum: et hoc est, quia est splendor paternae gloriae. Non ergo potuit invenire Eva in fructu suo quod nec quilibet peccator in peccatis. Et ideo quae desideramus, quaeramus in fructu virginis. Est autem hic fructus benedictus a Deo, quia sic replevit eum omni gratia quod pervenit ad nos exhibendo ei reverentiam: Ephes. I, 3: benedictus Deus et pater domini nostri Iesu Christi, qui benedixit nos in omni benedictione spirituali in Christo: ab Angelis: Apoc. VII, 12: benedictio et claritas et sapientia et gratiarum actio, honor et virtus et fortitudo Deo nostro; ab hominibus: apostolus, Phil. II, 11: omnis lingua confiteatur, quia dominus Iesus Christus in gloria est Dei patris. Psal. CXVII, 26: benedictus qui venit in nomine domini. Sic ergo est virgo benedicta; sed et magis benedictus fructus eius.

[1] [Teks halaman ketiga, baris ketujuh.] St. Tomas berkata bahwa Maria dibersihkan dari dosa asal dalam rahim, ketimbang dikandung tanpa dosa asal. Ia menulis jauh sebelum dogma Maria dikandung tanpa noda dosa ditetapkan pada tahun 1854 dan, berbeda dari Duns Scotus, ia tidak menganggap bahwa hal tersebut adalah kebenaran iman.

Selasa, 03 Februari 2015

Sejarah Misa Kudus Dari Masa ke Masa.


Misa adalah perayaan ekaristi dalam ritus liturgi Barat dari Gereja Katolik Roma, tradisi Anglo-Katolik dalam Gereja Anglikan, dan beberapa Gereja Lutheran. Di negara-negara Baltik dan Skandinavia, ibadah ekaristi Gereja Lutheran juga disebut "Misa".

Istilah Misa berasal dari kata bahasa Latin kuno missa yang secara harafiah berarti pergi berpencar atau diutus. Kata ini dipakai dalam rumusan pengutusan dalam bagian akhir Perayaan Ekaristi yang berbunyi "Ite, missa est" (Pergilah, tugas perutusan telah diberikan) yang dalam Tata Perayaan Ekaristi di Indonesia dipakai rumusan kata-kata "Marilah pergi. Kita diutus."

Perayaan Ekaristi dalam Gereja-Gereja Timur, termasuk Gereja-Gereja Timur yang berada dalam persekutuan penuh dengan Tahta Suci Roma menggunakan istilah lain, misalnya Liturgi Suci, Qurbana Kudus, dan Badarak. Denominasi Barat yang tidak berada dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik Roma, seperti Kekristenan Calvinis, biasanya lebih suka menggunakan istilah lain.

Menurut Lima Perintah Gereja umat Katolik diwajibkan mengikuti misa pada hari Minggu dan hari raya lain yang disetarakan dengan hari Minggu. Di luar hari-hari itu juga diselenggarakan misa - yang oleh umat Katolik biasa dinamakan misa harian - namun umat Katolik tidak diwajibkan untuk ikut serta.


Misa: ibadat yang tertinggi

Paus Pius XII dalam surat ensikliknya tentang Liturgi Suci, Mediator Dei (1947) mendefinisikan liturgi sebagai, “ibadat publik yang dilakukan oleh Penebus kita sebagai Kepala Gereja kepada Allah Bapa dan juga ibadat yang dilakukan oleh komunitas umat beriman kepada Pendirinya [yaitu Kristus], dan melalui Dia kepada Bapa. Singkatnya, liturgi adalah ibadat penyembahan yang dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Kristus secara keseluruhan, yaitu Kepala dan anggota-anggota-Nya” (Mediator Dei, 20). Definisi ini terpenuhi dalam tingkat yang tertinggi dalam perayaan Ekaristi/ Misa kudus. Sebab dalam Misa Kudus, kurban Kristus yang satu dan sama itu oleh kuasa Roh Kudus, dihadirkan kembali oleh Gereja, untuk keselamatan umat manusia. Maka perayaan Misa adalah doa Gereja yang sempurna (par excellence), yaitu doa Kristus yang dipersembahkan oleh Gereja kepada Allah.


Perjamuan Terakhir: penggenapan perjamuan Paska bangsa Israel.

Asal Misa kudus adalah dari Perjamuan Terakhir, yaitu saat Tuhan Yesus menyerahkan kepada para Rasul-Nya misteri Tubuh dan Darah-Nya dalam perjamuan kudus, sebagai persiapan akan kurban Tubuh-Nya dan Darah-Nya yang tertumpah di kayu salib di Golgota. “Inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku. …. Inilah cawan perjanjian baru oleh darah-Ku yang ditumpahkan bagimu…” (lih. Luk 22:19). Kurban Kristus menjadi kurban yang menyempurnakan makna kurban anak domba Paska dalam Perjanjian Lama. Darah anak domba yang dibubuhkan di ambang pintu menyelamatkan bangsa Israel dari tulah yang dibawa oleh malaikat maut. Darah Kristus Sang Anak Domba Allah yang tertumpah di kayu salib, menyelamatkan umat manusia dari kuasa dosa dan maut. Pencatatan akan perayaan perjamuan sebagai peringatan kurban Kristus ini, ditulis dalam Injil, maupun oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus:

“Sebab apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya; Ia memecah-mecahkannya dan berkata: “Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!” Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, lalu berkata: “Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!” Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang. Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya.” (1 Kor 11:23-29)

Dari sini diketahui bahwa sejak awal, telah disebutkan perkataan konsekrasi, yaitu perkataan Sabda yang mengubah roti menjadi Tubuh Kristus dan cawan berisi anggur, menjadi Darah-Nya. Demikian pula, ucapan syukur ataupun berkat sebelum konsekrasi, mengingatkan kita akan apa yang diperbuat oleh Kristus sendiri dalam Perjamuan Terakhir (Mat 26:26; Mrk 14:22; Luk 22:17) dan juga sewaktu menampakkan Diri kepada dua orang murid-Nya dalam perjalanan ke Emaus (lih. Luk 24:13-35). Saat itu, Yesus menjelaskan kepada mereka tentang kitab-kitab para nabi, sebelum Ia mengambil roti, mengucap berkat, memecahkannya dan membagikannya kepada mereka. Kedua bagian ini, yaitu pembacaan Kitab Suci, dan pemecahan roti, menjadi cikal bakal liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi, dalam perayaan Misa Kudus yang dirayakan oleh Gereja Katolik sampai saat ini.


St. Yustinus (w 165)

St. Yustinus Martir adalah seorang Bapa Gereja di abad awal yang menulis tentang pengajaran iman Kristiani. Ia mengajar di Efesus sampai tahun 135. Maka diperkirakan ia mempelajari tentang iman Kristen dari para murid Rasul Yohanes yang hidup di Efesus. Buku St. Yustinus yang terkenal antara lain adalah First Apology (150) yang di dalamnya memuat ajaran tentang Ekaristi dan liturgi. Dalam bab 61-67 St. Yustinus menuliskan secara ringkas tentang tata cara penyembahan Kristiani, dimulai dengan liturgi Baptisan. Ia menulis demikian:

“Tetapi kami, setelah kami membaptisnya, yaitu ia yang telah menjadi percaya dan taat kepada ajaran kami, kami membawanya ke tempat di mana mereka yang disebut jemaat dikumpulkan, supaya kami bersama dapat mempersembahkan doa- doa khusuk untuk kami maupun untuk mereka yang dibaptis, dan semua orang di mana- mana, supaya kami dianggap layak; sekarang bahwa kami telah belajar tentang kebenaran, dengan perbuatan- perbuatan kami menjadi para warga yang baik dan pelaksana perintah- perintah Tuhan, supaya kami dapat diselamatkan dengan keselamatan kekal. Setelah doa- doa tersebut selesai, kami menghormati soeorang dengan yang lainnya… Lalu, dibawalah kepada pemimpin jemaat, roti dan piala anggur yang dicampur dengan air; dan ia mengambil itu, memberi pujian dan kemuliaan kepada Bapa alam semesta, melalui nama Allah Putera dan Roh Kudus, dan mempersembahkan ucapan syukur yang cukup panjang karena kami dianggap layak untuk menerima semua ini dari tangan-Nya. Dan ketika ia [pemimpin jemaat] telah selesai dengan doa dan ucapan syukur, semua orang yang hadir mengucapkan persetujuan mereka dengan mengatakan, Amin. Perkataan Amin adalah jawaban di dalam bahasa Ibrani yang artinya, “terjadilah demikian”. Dan ketika pemimpin telah mengucapkan terima kasih, dan semua orang telah menyatakan persetujuan mereka, mereka yang kami panggil “diakon” memberikan kepada semua yang hadir untuk dapat mengambil bagian roti dan anggur yang dicampur dengan air…. Dan makanan ini kami kenal dengan sebutan Ekaristi, dan tak seorangpun boleh mengambil bagian di dalamnya, selain ia yang percaya bahwa hal- hal yang kami ajarkan adalah benar dan ia yang telah dibaptis untuk penghapusan dosa- dosa, dan untuk kelahiran kembali, dan ia yang hidup sesuai dengan ajaran Kristus. Sebab bukanlah seperti roti dan minuman biasalah yang kami terima, tetapi, seperti Yesus Kristus Penyelamat kita, yang telah menjelma menjadi daging oleh Sabda Allah, mempunyai daging dan darah untuk penyelamatan kita, demikianlah juga, kami diajarkan bahwa makanan yang telah diberkati oleh doa dari Sabda-Nya dan dari perubahannya (transmutation) tubuh dan darah kita dikuatkan, adalah daging/tubuh dan darah Yesus yang telah menjelma menjadi daging. Sebab para rasul, dalam ajaran-ajaran Yesus yang mereka susun yang disebut Injil, telah menurunkan kepada kita apa yang telah diajarkan kepada mereka; yaitu bahwa Yesus mengambil roti, dan ketika Ia telah mengucap syukur, berkata, “Lakukanlah ini sebagai peringatan akan Daku, inilah Tubuh-Ku: Dan lalu dengan cara yang sama, setelah mengambil piala dan mengucap syukur, Ia berkata, “Inilah Darah-Ku”, dan memberikannya kepada mereka….” (First Apology, ch. 65-66)

Lalu St. Yustinus menyimpulkan tentang tata cara penyembahan Kristiani dengan menyebutkan secara khusus tentang pengudusan hari Minggu sebagai Hari Tuhan dengan Misa Kudus, sebagai berikut:

“Dan selanjutnya kami sehati sepikir dalam hal-hal ini, dan mereka yang berkecukupan membantu yang berkekurangan… Dan pada hari yang disebut Minggu, semua yang hidup di kota maupun di desa berkumpul bersama di satu tempat, dan ajaran-ajaran para rasul atau tulisan- tulisan dari para nabi dibacakan, sepanjang waktu mengijinkan; lalu ketika pembaca telah berhenti, pemimpin ibadah mengucapkan kata- kata pengajaran dan mendorong agar dilakukannya hal- hal yang baik tersebut. Lalu kami semua berdiri dan berdoa, dan seperti dikatakan sebelumnya, ketika doa selesai, roti dan anggur dan air dibawa, dan pemimpin selanjutnya mempersembahkan doa- doa dan ucapan syukur… dan umat menyetujuinya, dengan mengatakan Amin, dan lalu diadakan pembagian kepada masing- masing umat, dan partisipasi atas apa yang tadi telah diberkati, dan kepada mereka yang tidak hadir, bagiannya akan diberikan oleh diakon. Dan mereka yang mampu dan berkehendak, memberikan (persembahan) yang dianggap layak menurut kemampuan mereka, dan apa yang dikumpulkan oleh pemimpin, ditujukan untuk menolong para yatim piatu dan para janda dan mereka yang, karena sakit maupun sebab lainnya, hidup berkekurangan, dan mereka yang ada dalam penjara dan orang asing di antara kami, pendeknya, ia (pemimpin) mengatur [pertolongan bagi] semua yang berkekurangan. Tetapi hari Minggu adalah hari di mana kami mengadakan ibadah bersama, sebab hari itu adalah hari yang pertama, yaitu pada saat Tuhan, setelah mengadakan pengubahan dalam kegelapan dan materia, telah menciptakan dunia; dan Yesus Kristus Penyelamat kita pada hari yang sama telah bangkit dari mati. Sebab Ia telah disalibkan pada hari sebelum hari Saturnus (Sabtu); dan pada hari setelah hari Saturnus, yaitu hari Minggu, setelah menampakkan diri kepada para rasul dan murid-Nya, Ia mengajarkan kepada mereka hal- hal ini…..” (First Apology, ch. 67)

Demikianlah, sudah sejak awal, jemaat berkumpul, lalu dibacakanlah bacaan-bacaan dari Kitab Suci, dari Perjanjian Lama (kitab para nabi) dan bacaan dari kitab-kitab para Rasul atau Injil, homili dan doa-doa, persembahan roti dan anggur yang dicampur air, dengan rumusan konsekrasi, kemudian Komuni dibagikan dan para diakon diberi tugas untuk mengantar Komuni kepada jemaat yang absen. Juga disebutkan di sana, peran pemimpin perayaan, yaitu bahwa pemimpinlah yang mengucapkan doa syukur [sehubungan dengan persembahan roti dan anggur itu], dan umat menjawab, Amin. Perayaan tersebut diadakan pada hari Minggu, untuk mengenangkan kebangkitan Tuhan Yesus.


St. Hippolytus (235)

St. Yustinus tidak memberikan rumusan ucapan syukur yang didoakan oleh pemimpin ibadat. Seiring dengan waktu, terbentuklah doa ‘anaphora‘, yang artinya ‘mengangkat tinggi/ mempersembahkan’, dan untuk ini kita mengacu kepada doa yang disusun oleh St. Hippolytus. Dalam traktatnya, The Apostolic Tradition, dituliskan demikian:

“Tuhan bersamamu”, dan biarlah semua menjawab: “Dan bersama roh-mu”. “Marilah mengarahkan hati kepada Tuhan”: “Sudah kami arahkan kepada Allah”. “Marilah bersyukur kepada Tuhan”. “Sudah layak dan sepantasnya.” Dan biarlah ia melanjutkan: Kami bersyukur kepada-Mu, ya Allah, melalui Putera-Mu yang terkasih, Yesus Kristus, yang di zaman akhir ini telah Kau-utus kepada kami, Penyelamat dan Penebus dan Utusan kehendak-Mu; yang adalah Sabda-Mu yang tak terpisahkan, yang melalui-Nya Engkau telah menciptakan segala sesuatu dan yang di dalam-Nya Engkau berkenan; yang telah Engkau utus dari surga ke dalam rahim Sang Perawan, dan yang, dengan dikandung, menjelma menjadi daging dan ditunjukkan menjadi Putera-Mu, dilahirkan dari Roh Kudus dan oleh seorang Perawan; yang untuk menggenapi kehendak-Mu dan mempersiapkan bagi-Mu bangsa yang kudus, telah merentangkan tangan-Nya saat Ia menderita supaya Ia dapat melepaskan dari penderitaan, mereka yang telah percaya kepada-Mu.

Ia yang ketika dikhianati sampai kepada menderita dengan rela supaya Ia dapat menghalau kematian dan memutuskan ikatan iblis dan menghancurkan neraka dan menerangi orang-orang benar dan mendirikan perjanjian dan menyatakan kebangkitan, mengambil roti, mengucap syukur kepada-Mu dan berkata: “Terimalah dan makanlah, inilah Tubuh-Ku yang dipecahkan bagimu”. Demikian pula, [mengambil] piala itu, dan berkata: “Inilah Darah-Ku yang ditumpahkan bagimu: lakukanlah ini sebagai kenangan akan Aku.”

Maka, dengan mengenangkan wafat dan kebangkitan-Nya, kami mempersembahkan kepada-Mu roti dan piala ini, mengucap syukur kepada-Mu karena Engkau menganggap kami layak untuk menghadap-Mu dan berbakti kepada-Mu. Dan kami mohon semoga Engkau mengutus Roh Kudus atas kurban Gereja-Mu yang kudus; untuk mempersatukan mereka bersama dalam kesatuan, agar Engkau memberi kepada semua orang kudus yang mengambil bagian dalamnya supaya mereka dapat dipenuhi oleh Roh Kudus untuk menguatkan iman mereka dalam kebenaran, sehingga kami dapat memuji dan memuliakan Engkau melalui Putera-Mu, Yesus Kristus, yang melalui-Nya kemuliaan dan hormat bagi-Mu, Bapa, dan Putera dan Roh Kudus, dalam Gereja-Mu yang kudus, sekarang dan selama-lamanya. Amin.”

Membaca teks ini, kita tidak akan mengalami kesulitan untuk mengenali dalam anafora ini bentuk yang sederhana dan murni dari doa syukur agung dalam Misa Kudus yang ada pada kita sekarang, hanya saja tanpa doa Kudus (Sanctus) dan Mementos (doa bagi yang jemaat yang masih hidup dan yang telah wafat). Dalam doa ini juga sudah ada doa Prefasi, ucapan syukur, atas Inkarnasi Putera Allah, sengsara-Nya, dan buah pengorbanan-Nya, lalu doa Perjamuan Terakhir, dan pernyataan Gereja untuk berlaku taat melakukan perintah-Nya untuk mengenangkan Dia, baik wafat dan kebangkitan-Nya, dalam mempersembahkan roti dan anggur yang dikonsekrasikan. Gereja kemudian memohon Roh Kudus turun atas persembahan itu, agar imannya dikuatkan, dan pujian yang tak berakhir dapat dipersembahkan melalui Kristus kepada Allah Trinitas. Hampir semua yang ada pada teks Misa kita sekarang, telah dikatakan di sini. Betapa kita patut kagum dan bersyukur, akan kesungguhan Gereja untuk melestarikan doa-doa yang merupakan ungkapan iman dalam perayaan Ekaristi.


De Sacramentis (abad ke-4)

Setelah Edict Milan (313) berakhirlah masa penganiayaan Gereja di abad-abad awal. Maka Gereja berkembang pesat, termasuk juga rumusan ibadatnya, termasuk doa-doa untuk Gereja, dan juga rumusan anafora itu sendiri. Liturgi di Gereja Timur dan Barat berkembang; dan mulai digunakan banyak rumusan dalam tahun liturgi. Liturgi Latin mulai lebih banyak dikenal daripada Yunani, dan doa-doa penghantar dalam Misa mulai diatur secara sistematik, dan kanon Misa mulai terbentuk seperti sekarang. Menjelang akhir abad ke-4, St. Ambrosius dari Milan, merumuskan doa-doa ini dalam tulisan ajarannya kepada mereka yang baru dibaptis, De Sacramentis, yang kemudian dilengkapi oleh Paus Gelasius (492-496). Sejak abad ini, banyak gedung-gedung gereja yang megah didirikan. Prosesi perarakan dalam ibadat diadakan, demikian juga dengan pendarasan lagu-lagu chanting dan litani, paduan suara, pengukupan, penggunaan bel dan benda-benda lain untuk ibadat, sikap penghormatan dalam Ekaristi, bahkan sampai kepada pengaturan busana liturgis.


De Sacramentaries (abad ke 5-9)

Doa yang didaraskan oleh imam yang diturunkan sampai kepada kita, ditulis dalam buku yang disebut sacramentaries/ sacramentorium, tiga di antaranya adalah Leonine, Gelasian dan Gregorian.
  1. Leonin Sakramentari (540): sejumlah teksnya berasal dari St. Leo (440-461). Kita hanya mempunyai satu manuskrip ini dari abad ke-7, namun sayang tidak lengkap, karena tidak mencakup teks Misa dari masa Natal sampai pertengahan April. Hampir 200 rumusan dari teks misa kita berasal dari teks sakramentari ini.
  2. Gelasian Sakramentari: Urutan umum dan rumusan tertentunya dihubungkan dengan tulisan Gelasius (492-496). Ini merupakan teks resmi dan yang sampai kepada kita berasal dari manuskrip di awal abad ke-8. Di sini disampaikan teks Misa dari masa Natal dan Paska, perayaan para Santo/santa, dan Misa pada hari Minggu dan canon untuk Misa votif.
  3. Gregorian Sakramentari: diperoleh dari salinan sakramentari yang dikirim oleh Paus Adrian kepada Charlemagne pada tahun 785/786. Ini adalah karya St. Gregorius, dan manuskrip yang sampai kepada kita sekarang berasal dari abad ke-9. Teks awalnya dirancang untuk untuk Misa Paus, sehingga tidak memasukkan Misa Minggu biasa. Di samping sakramentari, juga pada masa ini ditulis leksionari bagi surat-surat para Rasul dan Injil dan antifonari. Kemudian berkembanglah kebiasaan membacakan dari leksionari ini. Pada Abad Pertengahan teks ini dikompilasi menjadi Missale plenarium, yang menjadi cikal bakal terbentuknya Misale Romawi, yang merupakan gabungan dari sakramentari, leksionari dan antifonari.


The Ordines Romani (abad ke 7-14)

Ordines Romani menjabarkan urutan dari Misa Paus dan teks-teks liturgis. Teks ini berasal dari abad ke 7 sampai ke 14. Yang terpenting dari teks ini adalah Ordo Romanus I (dari abad ke-7), yang menjabarkan Misa Romawi pada masa St. Gregorius, fase yang penting dalam evolusi liturgi. Kata “Misa” yang menandai ibadat dan doa ini, berasal dari kata Latin Missa, yang artinya diutus/ dibubarkan. Pada bagian awal/ persiapan, para katekumen diutus [umumnya mereka melanjutkan proses katekumenat di luar perayaan Misa, sementara umat yang lain melanjutkan perayaan]. Setelah perayaan kurban, semua yang hadir diutus.


Misa Paus di zaman Paus Gregorius (awal abad ke-7)

Paus Gregorius adalah tokoh penting yang berpengaruh bagi sejarah penyembahan ilahi dalam Gereja. Karyanya yang terkenal adalah Ordo Romanus I. Urutan-urutan dalam Misa pada saat itu, sangatlah mirip dengan urutan yang ada sekarang. Prosesi pembuka diikuti dengan Kyrie (Tuhan kasihanilah kami) saat Paus menuju kursi selebran, yang terletak di ujung akhir altar. Ia berdoa menghadap ke timur. Ia menutup Kyrie, dan melanjutkan dengan doa Gloria (Kemuliaan), dan kemudian menutup dengan doa. Setelah ritus pembuka ini, kemudian teks Kitab Suci dibacakan. Sub-diakon akan membaca Surat para Rasul, di ambo, yang diikuti dengan teks Kitab Suci yang dinyanyikan berulang (chant), dengan elemen meditasi. Injil dibacakan dengan agung. Diakon meminta berkat Paus, mencium Kitab Suci dan membaca di ambo, yang didahului dengan dua orang pembawa lilin. Bacaan ini diikuti homili. Setelahnya Paus mengajak umat berdoa, sementara akolit dan diakon membentangkan kain di altar. Persembahan diantar ke altar, saat itu Mazmur persembahan dinyanyikan. Paus kemudian mencuci tangan dan kemudian menuju altar untuk mengkonsekrasikan roti dan anggur. Doa konsekrasi didaraskan sebagai peringatan akan perjamuan terakhir yang membawa buah penebusan, ditutup dengan doksologi. Semua doa ini dikenal dengan sebutan canon, karena sifatnya tidak berubah-ubah. Setelah itu doa Bapa Kami didaraskan, dan dimulailah persiapan untuk Komuni. Paus Gregorius menetapkan penempatan doa Bapa Kami, yang didoakan setelah canon. Kemudian Paus memberikan ciuman kudus kepada para pembantunya, dan kepada umat sebagai pernyataan kesatuan dan kasih Kristiani, sebelum menerima Tubuh dan Darah Kristus. Setelah itu tibalah saat pemecahan Hosti, yang dilakukan oleh Paus, dan kemudian juga oleh Uskup, imam dan diakon. Ritus ini dilakukan dalam keheningan. Di abad berikutnya, di zaman Paus Sergius, saat ini diiringi dengan lagu Agnus Dei (Anak Domba Allah). Lalu tibalah saat penerimaan Komuni. Dimulai dari Paus yang mengambil pecahan Hosti dan anggur yang telah dikonsekrasikan. Lalu Paus membagikan Komuni (dalam rupa hosti kudus) kepada para Uskup, imam, diakon dan diakon memberikan kepada mereka Darah Kristus dalam piala kudus. Paus kemudian membagikan Komuni kepada sejumlah umat, ataupun wakil umat, dan para Uskup,  imam dan diakon kepada semua umat yang lain. Ekaristi diterima dalam rupa hosti dan anggur; namun pada masa ini juga sudah diterapkan penerimaan Komuni dalam satu rupa saja. Setelah penerimaan Komuni selesai, Paus kembali ke altar dan mendoakan doa ucapan syukur. Diakon kemudian mengutus jemaat dengan ungkapan Ite missa est. Paus kemudian keluar dalam prosesi sambil memberkati kaum tertahbis maupun umat yang hadir. Demikianlah, mudah bagi kita untuk menangkap kemiripan Misa yang kita rayakan saat ini dengan Misa yang dilakukan di awal abad ke-7, di zaman St. Gregorius ini.


Misa di zaman Abad Pertengahan

Di Abad Pertengahan, terjadi perkembangan iman Kristiani di Eropa. Prosesi religius umum terjadi di mana-mana, perayaan para orang kudus, ziarah ke tempat-tempat suci dan lahirnya banyak ordo religius. Bersamaan dengan itu berkembanglah arsitektur gereja-gereja megah dan katedral yang menjulang tinggi, yang umum dikenal dengan arsitektur Gothic. Kemegahan struktur bangunan yang tinggi memang secara mengagumkan menggambarkan keagungan gereja sebagai rumah Tuhan. Namun di sisi lain, bentuk ruang yang tercipta menimbulkan kesan tinggi dan memanjang sedemikian, sehingga seolah memisahkan imam dan umat. Panti imam, altar dan tabernakel nampak jauh terletak di ujung akhir bangunan, dan terdapat semacam pemisah antara ruang umat dan imam. Demikian juga, umum dibuat partisi besi yang memisahkan paduan suara dengan umat. Entah apakah hal-hal ini membawa pengaruh yang besar kepada umat, namun nyatanya, pada masa ini keikutsertaan umat dalam perayaan Ekaristi semakin berkurang. Misa diadakan dalam bahasa Latin, meskipun masyarakat umum setempat menggunakan bahasa lokal sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Untuk perayaan Misa bagi jumlah jemaat yang kecil, digunakan altar kecil di sisi samping gereja, namun imam tetap merayakannya dalam bahasa Latin. Adanya gap antara umat dan perayaan Ekaristi membawa pengaruh pada umat, yang menjadi rentan terhadap ajaran sesat. Berengarius dari Tour mengajarkan bahwa Yesus tidak sungguh hadir dalam Ekaristi, dan Ekaristi hanya simbol kehadiran-Nya saja. Konsili Lateran IV (1215) mengecam ajaran ini, dan menegaskan dan merumuskan kehadiran Kristus yang nyata dalam Ekaristi, dengan memperkenalkan istilah Trans-substansiasi yang terjadi pada saat konsekrasi, di mana oleh kuasa Roh Kudus, roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Oleh karena itu, di masa ini juga berkembang Adorasi Sakramen Mahakudus, di mana umat diajak untuk menghormati Kristus yang hadir dalam rupa Hosti yang sudah dikonsekrasikan itu.


Misa St. Pius V (abad 16)

Konsili Trente (1545) adalah Konsili yang dimaksudkan untuk menanggapi berbagai ajaran yang menyimpang seiring dengan pemisahan diri Martin Luther dari Gereja Katolik (1517). Konsili Trente juga dimaksudkan untuk mengadakan pembaharuan secara liturgi. Misale yang ada pada kita sekarang adalah karya komisi yang ditunjuk oleh Paus Pius IV, yang diselesaikan oleh Paus Pius V, sesuai dengan arahan Konsili Trente. Misale Paus V dipublikasikan dan dijadikan wajib pada bulan 14 Juli 1570. Dasarnya adalah Misale Kuria Romawi yang disebarkan oleh kaum Fransiskan. Modifikasi yang dilakukan oleh Paus Klemens VII dan Urbanus VIII, dan Pius X, itu tidak berkenaan dengan teks Misa yang tetap/canon, tetapi pada penyesuaian kalender dan tambahan perayaan-perayaan baru dan modifikasi rubrik. Dengan dikeluarkannya Misale Paus V ini, dapat dicapai keseragaman penyelenggaraan Misa di manapun. Di masa ini para imam Jesuit memperkenalkan arsitektur Baroque, di mana ruang gereja tidak lagi menjadi super tinggi, dan pemisahan antara ruang paduan suara dan umat ditiadakan. Jarak antara altar dan umat diperpendek, dan hanya altar rail saja yang masih dipertahankan. Altar ditempatkan rapat ke dinding, yang dihias dari bawah sampai ke langit-langit. Tabernakel diletakkan di altar, dan di atasnya dibuat sebuah ruang untuk pentahtaan bagi Adorasi sakramen Mahakudus. Lagu-lagu liturgi berkembang saat ini, seperti dari Palestrina, Haydn dan Mozart. Sayangnya, lagu-lagu tersebut tidak dengan mudah dapat dinyanyikan oleh umat, sehingga lebih sering Misa yang diadakan adalah Misa tanpa lagu, dan umat menghadirinya dalam keheningan. Namun demikian, bagian-bagian Misa telah dengan jelas terlihat yang masih dipertahankan sampai saat ini, yaitu:
  1. Pembuka: Pujian Confiteor: Pernyataan tobat Kyrie: Tuhan kasihanilah Gloria: Kemuliaan Collect: Doa permohonan
  2. Kemudian seolah Tuhan menanggapi doa-doa kita dengan pengajaran yang disampaikan-Nya melalui Sabda-Nya:
  3. Bacaan surat-surat para Rasul/ kitab Nabi Pendarasan Mazmur Bacaan Injil Homili Credo/ Syahadat
  4. Setelah ini adalah persiapan Gereja dalam mempersembahkan kurban Kristus:
  5. Persiapan persembahan: roti dan anggur dibawa ke altar dan dipersembahkan dalam ritus dan doa. Konsekrasi: persembahan kita diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus, doa canon diucapkan. Persiapan Komuni dan Komuni: Doa Bapa Kami, pemecahan Hosti, salam damai, doa sebelum Komuni. Pada saat Komuni, kita menerima kembali persembahan kita, yang telah diubah oleh kuasa Tuhan, dan dengannya kita menerima hidup ilahi.
  6. Setelah penerimaan Komuni, didoakan doa sesudah Komuni, pengutusan, berkat dan penutup.

Perayaan Misa di era Vatikan II

Dokumen pertama yang disetujui oleh Konsili Vatikan II (1962-1965) adalah Konstitusi tentang Liturgi suci. Namun sekitar seabad sebelum dokumen dikeluarkan sudah terjadi gerakan untuk memperbarui liturgi dalam Gereja. Kaum Benediktin menghidupkan kembali lagu-lagu Gregorian dari abad ke 6/7, di mana semua umat saat itu dapat turut berpartisipasi dalam menyanyikannya. Paus Pius X (1903-1914) juga telah mendorong dinyanyikannya kembali lagu-lagu Gregorian, dan menganjurkan Misa Kudus dan Komuni setiap hari, dan memajukan usia penerimaan Komuni bagi anak-anak menjadi sekitar 7 tahun. Paus Pius XII dalam Mediator Dei (1947) juga memberi perhatian yang serupa terhadap pembaharuan liturgi. Maka pembaharuan liturgi yang ditetapkan dalam Konsili Vatikan II bukan merupakan hasil pemikiran tiba-tiba, tetapi merupakan hasil dari pemikiran para pemimpin Gereja dalam sekitar seabad sebelumnya. Tak mengherankan, ide pembaharuan liturgi ini mendapat dukungan penuh dari para bapa Konsili (2.147 suara mendukung dan hanya 4 suara menentang). Beberapa perubahan terjadi, seperti diperbolehkannya penggunaan bahasa setempat dalam perayaan Misa, sehingga Misa tidak hanya diadakan dalam bahasa Latin. Umat juga didorong untuk berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi dengan turut menyanyikan lagu-lagu pujian dan turut mengucapkan doa dalam beberapa bagian Misa. Para musisi gerejawi didorong untuk menciptakan lagu-lagu liturgis yang agung namun sedapat mungkin dapat dinyanyikan oleh umat. Umat dilibatkan untuk turut menghantarkan persembahan. Umat diperbolehkan menyambut Ekaristi dengan tangan atau dengan mulut, dengan berdiri, atau berlutut. Namun apapun perubahan itu, tidaklah mengubah bagian- bagian esensial dari Misa Kudus, yang berawal mula dari Perjamuan Terakhir Kristus dan para rasul-Nya, yang kemudian bertumbuh seiring dengan pertumbuhan Gereja. Berikut ini adalah tinjauan sekilas terhadap bagian-bagian Misa Kudus dan latar belakang sejarahnya.


Beberapa detail tata cara pelaksanaan Misa Kudus dan latar belakang sejarahnya

Perayaan Misa Kudus diawali dengan prosesi masuk imam selebran menuju altar, diiringi para petugas liturgi.  Telah disebutkan pada zaman Paus Gregorius, Paus menuju altar dan tengkurap dalam doa hening, sebelum menuju ke kursi selebran. Cara ini masih dipertahankan dalam perayaan Jumat Agung. Sejak abad ke-14, selebran membuka Misa dengan Tanda Salib, yang mengingatkan kepada Baptisan, sehingga dengan tanda ini, Baptisan dan Ekaristi dihubungkan, di mana ikatan ini diperkuat dengan pemercikan air suci pada perayaan Misa hari Minggu. Pemercikan diiringi lagu Asperges me, atau dalam masa Paskah Vidi aquam. Kemudian Mazmur tobat (Judica me) didaraskan, atau Confiteor. Diawali dengan imam, lalu para pembantunya, mengakui dosa mereka dan meminta doa satu sama lain. Versi panjang ini berasal dari Abad Pertengahan.

Selebran utama mendekati altar dan mencium altar dengan hormat, sebagai penghormatan kepada relikwi para martir/ orang kudus yang diletakkan di dalam altar batu; dan juga terutama penghormatan kepada Kristus sendiri yang dilambangkan oleh altar itu. Ciuman ini berarti ungkapan kasih dan hormat Gereja kepada Kristus, menghormati kesatuan yang dihasilkan oleh kurban-Nya. Tradisi ini umum dilakukan sejak abad ke-11, demikian juga tradisi memberikan ukupan kepada salib dan altar. Tradisi menyanyikan Introit, yaitu Mazmur dengan ulangan antifon, untuk mengiringi prosesi imam menuju altar, ada sejak abad ke-5. Hal ini dipertahankan terutama untuk perayaan-perayaan besar, seperti pada waktu Rabu Abu, Minggu Palma dan Kamis Putih. Gereja memiliki banyak contoh lagu introit, seperti yang dinyanyikan di Minggu pertama Adven, Minggu Gaudete, Natal, Paska, Kenaikan Yesus ke Surga, dan Pentakosta.

Tradisi mendaraskan Kyrie berasal dari Gereja Timur. Awalnya dalam bentuk litani, yaitu rangkaian permohonan yang ditanggapi dengan: Tuhan kasihanilah kami. Pada awalnya jumlah permohonan tidak dibatasi. Awalnya Paus memberi tanda kepada koor saatnya untuk berhenti bernyanyi, saat ia telah sampai ke kursinya. Pada awalnya doa ini mengacu kepada Kristus, Sang Kyrios. Namun sejak Abad Pertengahan, doa ini ditujukan kepada Allah Trinitas. Doa Kyrie, ini menunjukkan kerinduan Gereja akan kedatangan Kristus, di sini dan pada saat ini, dalam perayaan Ekaristi dan dalam berbagai cara dan sarana rahmat-Nya. Lagu Kyrie, Gloria, Credo, Sanctus Agnus Dei dinyanyikan bersahut-sahutan antara umat dan koor.

Gloria, adalah doa pujian kepada Allah Trinitas. Dimulai dari doa kemuliaan yang dinyanyikan para malaikat di Betlehem, lalu dilanjutkan dengan pujian kepada Allah Bapa, dan Putera Tunggal-Nya, dan Roh Kudus. Gereja awal menyanyikan Gloria hanya di Misa Malam Natal. Paus Symmachus mulai memasukkan Gloria, pada misa pontifikal dan perayaan martir. Namun sejak abad ke-11, Gloria dinyanyikan di semua Misa hari Minggu, kecuali pada masa tobat, yaitu di masa Adven dan Prapaska.

Collect, berasal dari ad collectam, adalah doa yang dipanjatkan oleh imam selebran, bagi umat. Maksud adanya doa ini adalah untuk memohon kepada Tuhan dengan pengantaraan Putera-Nya dan atas kuasa Roh Kudus. Doa ini merupakan ungkapan iman Gereja, sehingga diungkapkan keyakinan sebagaimana ada dalam dogma, seperti kesempurnaan Tuhan, kejatuhan manusia dan penyelamatan oleh Tuhan, misteri Kristus, dst. Doa diakhiri dengan permohonan akan pengantaraan Kristus, sebab melalui Dia segala rahmat Allah mengalir kepada Gereja. Doa di  dalam nama Kristus, ini merupakan penggenapan Yoh 14:14. Doa ini merupakan akhir bagian pembuka, yang menghantar kepada pembacaan Sabda Tuhan.

Dalam Misa Romawi kuno, terdapat tiga bagian bacaan: satu dari Perjanjian Lama, satu dari Perjanjian Baru dan bacaan terakhir dari Injil. Bacaan dibacakan di ambo, dengan pembaca menghadap ke umat. Pada masa itu semua bacaan dibacakan dalam bahasa Latin. Di antara bacaan, didaraskan Mazmur yang dinyanyikan, bukan sebagai pengiring prosesi, namun sebagai bagian dari pembacaan Sabda. Lagu Alleluia -artinya terpujilah Yahwe- dinyanyikan untuk mempersiapkan kita bagi sukacita Injil. Sampai zaman Paus Gregorius, Alleluia hanya dinyanyikan pada masa Paska. Paus Gregoriuslah yang meluaskan pendarasan Alleluia pada Misa di masa biasa, di luar masa Prapaska. Bacaan Injil merupakan puncak dari Liturgi Sabda. Karena itulah Kitab Injil dibawa di tempat pertama saat prosesi masuk, dan kitab Injil yang melambangkan Sang Sabda kemudian diletakkan di altar. Sesaat sebelum pembacaan Injil, diakon berlutut di hadapan imam untuk memperoleh berkat dari Allah untuk membacakan Injil. Kemudian diiringi oleh petugas pembawa ukupan ataupun lilin, diakon diantar ke ambo, untuk mendaraskan Injil. Semua umat berdiri, untuk menghormati Injil. Injil umumnya merupakan inti pengajaran pada hari tersebut.

Homili yang mengikuti pembacaan Injil, adalah salah satu bagian tertua dari liturgi. Homili ini mengacu kepada apa yang dilakukan oleh Kristus sendiri setelah membaca Kitab Yesaya di sinagoga di Nazareth (lih. Luk 4:16-22). Walaupun di abad-abad pertama homili relatif langka, namun kita memiliki banyak homili dari Paus St. Leo, Gregorius, dan juga dari St. Agustinus. Homili merupakan khotbah sederhana, yang merupakan penjelasan dari salah satu pelajaran dari Misa Kudus pada hari itu, yang dikaitkan dengan keadaan/ kebutuhan umat beriman.

Credo/ Syahadat adalah tanggapan terhadap bacaan Injil. Syahadat yang ada pada kita sekarang merupakan ungkapan iman yang diucapkan pada saat Baptisan. Syahadat Panjang, atau yang dikenal dengan Syahadat Nicea, berasal dari abad ke-4, yaitu hasil Konsili Nicea (325) dan Konstantinopel (391), yang kemudian ditentukan sebagai pernyataan iman Gereja, di Konsili Kalsedon (451). Syahadat ini awalnya dimasukkan ke dalam Misa dalam liturgi Gereja Timur. Di abad ke 6, Gereja Barat di Spanyol memasukkan Syahadat dalam Misa, sebelum pendarasan doa Bapa Kami. Gereja Roma mengadopsi tradisi ini di tahun 1014. Sikap menunduk pada saat mengucapkan “yang dikandung dari Roh Kudus…..” berasal dari kebiasaan pada abad ke-11 ini. Pernyataan iman dalam Syahadat ini merupakan akhir Liturgi Sabda, yang menghantar menuju persembahan kurban.

Setelah Syahadat diungkapkan doa umat untuk berbagai kebutuhan Gereja. Doa umat meriah pada Jumat Agung menjadi gambaran untuk bentuk doa umat ini. St. Yustinus di abad ke-2 memberikan kesaksian tentang sudah adanya doa umat ini dalam tradisi Gereja awal.

Persembahan roti dan anggur pada mulanya adalah roti biasa, namun secara khusus didedikasikan, berbentuk bundar dan ditandai dengan tanda salib atau mahkota. Di abad ke-9 ketentuan tentang hal ini diperketat, agar menjadi semakin indah dan murni, sesuai dengan maksud aslinya. Ketentuan akhirnya memutuskan untuk digunakannya roti tak beragi dalam bentuk koin di Gereja Barat. Roti tak beragi mengacu kepada jenis roti yang digunakan oleh Kristus pada saat Perjamuan Terakhir. Sedangkan anggur yang digunakan umumnya adalah anggur merah. Persembahan ini dihantar ke altar melibatkan umat, untuk menyatakan bahwa persembahan ini bukan hanya persembahan imam, tetapi juga persembahan seluruh umat beriman yang hadir. Sebab menurut Baptisan mereka adalah “imam yang rajani” (1 Ptr 2:9). Persembahan roti dan anggur ini kemudian diletakkan di altar. Anggur ini dicampur setetes air, yang melambangkan kita umat-Nya, maka campuran ini, menurut St. Siprianus, menggambarkan kesatuan antara Kristus dan Gereja; dan kesatuan umat Kristiani di dalam Kristus. Memang, kurban dalam perayaan Ekaristi adalah kurban Kristus; maka persembahan apapun yang diberikan oleh umat sekalian menerima maknanya hanya dari kesatuannya dengan Sang Kurban ilahi itu. Maka Tuhan Yesus adalah satu-satunya Kurban dalam kurban Ekaristi itu, namun kita semua tergabung erat dengan Dia, sebab kita adalah anggota-anggota Tubuh-Nya. Maka persembahan seluruh Gereja ini, tidak menambah apapun terhadap nilai pengorbanan Kristus, sebab terdapat jarak yang tak terbatas antara kita dan Dia, namun kita dengan erat disatukan dengan Dia, di mana Ia berkenan untuk menghubungkan kita dengan Diri-Nya. Selain itu anggur dan air tersebut juga menggambarkan darah dan air yang keluar dari lambung Kristus, ketika lambung-Nya itu ditusuk dengan tombak oleh serdadu yang memastikan kematian-Nya di kayu salib (lih. Yoh 19:34).

Selanjutnya, doa konsekrasi merupakan bagian Misa Kudus yang paling prinsip, yang hampir tidak pernah berubah, yang dikenal juga dengan sebutan canon actionis. Bagian utamanya adalah narasi Perjamuan Terakhir, yang berakhir pada doksologi sebelum doa Bapa Kami. Diawali dengan anafora dan Kudus (Sanctus), doa Konsekrasi ini kemudian diikuti dengan tambahan doa untuk Gereja yang masih berziarah di dunia maupun yang telah beralih dari dunia ini. Adanya anafora (teks dialog, Tuhan bersamamu…), sudah disebutkan dalam tulisan St. Hippolytus. Anafora yang disambung dengan embolisme, (Sungguh layak dan sepantasnya…. ) mengantar kepada pujian Kudus (Sanctus), sebagaimana ditemukan dalam Apostolic Constitutions dan tulisan Serapion, Uskup Thmuis, Mesir di abad ke-4. Teks Kudus, (Sanctus) sendiri berasal dari teks Misa Paus Sixtus II (119-128). Sedangkan penyusun teks canon Romawi diperkirakan adalah Paus Leo Agung (440-461), atau bahkan sebelumnya, Paus Damasus (366-384). Namun demikian, manuskrip kuno yang memuat teks canon seperti yang ada sekarang, dengan sedikit variasinya, berasal dari abad ke-7.

Teks canon konsekrasi ini telah lama diucapkan dengan lantang. Baru pada pertengahan abad ke-8, teks diucapkan dengan suara yang rendah, dan di abad ke-9 menurut Ordo Romanus II, teks canon ini diucapkan dalam hati imam dalam keheningan. Secara umum, terdapat kecenderungan untuk memberikan penghormatan tertinggi terhadap perkataan Sabda pada canon ini, dan suatu misteri tertentu memang menjadi bagian khusus bagi imam yang merayakan Ekaristi tersebut. Doa Konsekrasi ini diawali dengan permohonan kepada Allah untuk menguduskan dan menerima persembahan roti dan anggur, dan mengubahnya menjadi Tubuh dan Darah, Putera-Nya Yesus Kristus. Teks ini berasal dari De Sacramentis, di abad ke-4. Selanjutnya, teks Konsekrasi yang diawali dengan…..”Pada malam sebelum sengsara-Nya…..” dan seterusnya, juga sudah ada dalam De Sacramentis, namun asal usulnya adalah dari Tradisi Para Rasul di abad pertama, sebagaimana yang kemudian dituliskan dalam Injil, dan Surat Rasul Paulus. Pengangkatan hosti dan piala berisi anggur setelah Konsekrasi dimaksudkan untuk menekankan pentingnya saat kurban Kristus itu, untuk disembah oleh umat. Paus Pius X mengajak umat untuk memandang Hosti dan piala yang telah dikonsekrasikan itu dan menyembahnya. Sedangkan sikap imam yang sujud menyembah setelah konsekrasi, ditentukan oleh Paus Pius V. Dering bel dimaksudkan juga untuk menandai momen yang kudus ini. Di berbagai gereja kuno di Eropa, momen ini ditandai dengan dibunyikannya lonceng gereja, sehingga orang yang karena satu dan lain hal tidak dapat mengikuti perayaan Ekaristi, dengan mendengar bunyi lonceng ini, dapat mendaraskan doa iman untuk turut menghormati saat yang istimewa ini. Yaitu saat Allah menghadirkan kembali kurban yang satu dan sama itu, dengan mengubah roti dan anggur, menjadi Tubuh dan Darah Putera-Nya, Yesus Kristus.

Penghormatan akan Tubuh dan Darah Kristus ini diikuti oleh Anamnese, untuk mengenang wafat, kebangkitan dan kedatangan-Nya kembali, dan dengan demikian menggenapi (1 Kor 11:26). Doa bagi Bapa Paus, Uskup dan para pengajar iman, juga doa bagi semua umat yang hadir, merupakan tambahan doa yang melengkapi doa konsekrasi. Dalam doa tambahan ini juga disebutkan penghormatan kepada para kudus, terutama Bunda Maria, yang disebut sebagai “Bunda Tuhan kita Yesus Kristus”, dan juga para Rasul. Demikian juga, disebutkan permohonan doa untuk jiwa-jiwa orang-orang yang telah meninggal dunia, agar beroleh istirahat kekal di dalam Kristus. Teks permohonan ini berasal dari teks-teks kuno sejak abad ke-4, walaupun dimasukkannya ke dalam teks dalam setiap Misa Kudus, baru terjadi di abad ke-8. Sebelumnya teks permohonan ini hanya diucapkan pada Misa untuk mendoakan arwah. Namun tradisi mendoakan arwah telah ada sejak zaman Gereja perdana, saat jemaat mendoakan jiwa-jiwa sesama jemaat yang telah mendahului mereka.

Selanjutnya, pengangkatan hosti dan piala anggur yang disertai doksologi, adalah doa pujian tertinggi kepada Allah Trinitas, yang mengakhiri doa konsekrasi. Doa ini diambil dari Surat Rasul Paulus (lih. Rm 11:36). Terhadap pujian tertinggi ini umat menjawab: Amin, sebagai ungkapan iman umat atas misteri kudus yang baru saja terjadi di altar-Nya. Aklamasi Amin, di akhir doa konsekrasi ini, telah disebutkan dalam tulisan St. Yustinus Martir di abad ke-2.

Pendarasan doa Bapa Kami dalam Misa Kudus, ditemukan sejak abad ke-4, atau bahkan abad ke-3, di gereja-gereja yang merayakan Ekaristi setiap hari. Pada Bapa Gereja menghubungkan permohonan untuk  “daily bread” dengan Ekaristi, walaupun secara literal berarti roti/ rejeki sehari-hari. Tertullian menyebut doa Bapa Kami sebagai rangkuman Injil. Doa ini menyatukan kita dengan Roh Kristus sebelum kita mengambil bagian di dalam Tubuh-Nya. Berikutnya adalah Salam Damai (Pax Domini), pemecahan hosti, dan dicampurkannya ke dalam anggur yang telah dikonsekrasikan, sebagaimana telah disebutkan dalam teks Misa di zaman Paus Gregorius.

Di abad ke-8, lagu Anak Domba Allah (Agnus Dei) dinyanyikan pada saat ini. Pencampuran antara Hosti dan anggur ini menunjukkan kesatuan sakramen, dan bahwa konsekrasi kedua materia itu tidak memisahkan antara keduanya. Pencampuran ini juga melambangkan kebangkitan Kristus, di mana Tubuh dan Jiwa-Nya bersatu kembali. Selanjutnya, doa menjelang penerimaan Komuni, “Ya Tuhan saya tidak pantas, Engkau datang pada saya….” berasal dari perkataan sang centurion dalam Injil (lih. Mat 8:8). Permohonan ini mengungkapkan kesadaran kita akan ketidaklayakan kita untuk menerima Kristus, namun juga menyatakan iman kita bahwa Tuhan akan memberikan kesembuhan kepada jiwa kita.

Berikutnya adalah penerimaan Komuni Kudus. Komuni dapat diterima dengan tangan ataupun dengan mulut. Penerimaan dengan tangan mengambil dasar dari tulisan St. Sirilus dari Yerusalem (315-386), “Umat menerima Komuni dengan tangan kanan mendukung tangan kiri, dengan telapak yang membentuk cekungan; dan pada saat Tubuh Kristus diberikan, umat menjawab, Amen.” (Mystagogical Catecheses 5,21). Sedangkan penerimaan Komuni dengan mulut mengambil dasar dari:

Paus St. Leo Agung (440-461) mengajarkan Yohanes bab 6 dengan mengatakan, “Seseorang menerima di mulut apa yang dipercayainya dengan iman.” Ini kemungkinan juga berhubungan dengan teks doa kuno sejak abad ke-4, Quod ore sumpsimus, “Semoga apa yang telah kami terima dengan mulut kami, kami miliki dengan kemurnian hati, dan semoga karunia saat ini menjadi bagi kami obat kekekalan.”
Paus St. Gregorius Agung (590-604), dalam dialognya (Roman 3, c.3) menyebutkan bagaimana Paus St. Agapito melakukan mukjizat pada misa kudus, saat ia memberikan Ekaristi di mulut seseorang. Hal ini juga dikatakan oleh Yohanes Diakon.
Konsili Rouen (650): “Jangan memberikan Ekaristi di tangan orang awam, melainkan di mulut.”
Konsili Trullo (692) melarang pemberian Ekaristi di tangan.
St. Thomas Aquinas (1225-1274) menekankan pentingnya sakramen Tahbisan suci untuk menyentuh dan membagikan Komuni suci.
Dengan mengimani bahwa Kristus hadir seutuhnya baik dalam rupa hosti saja maupun anggur saja, maka sejak abad ke-12 Gereja umumnya memberikan Komuni satu rupa, yaitu dalam rupa Hosti. Setelah penerimaan Komuni, masing-masing umat berdoa secara pribadi dalam keheningan, dan kemudian dilanjutkan dengan doa syukur setelah Komuni oleh imam. Setelah imam mendoakan umat umat, umat diutus, Ite, missa est. Imam memberi berkat penutup dan berakhirlah perayaan Ekaristi. Umat dapat melanjutkan dengan doa syukur secara pribadi dalam keheningan, atas Komuni kudus yang baru saja diterima.


Perayaan Misa: perayaan iman yang hidup dan bertumbuh

Dari catatan di atas dapat dilihat perayaan Misa memiliki dasar yang kuat karena berasal dari ajaran Kristus dan para rasul itu sendiri. Tak mengherankan, jika seseorang mempelajari sejarah Gereja untuk menemukan ibadat seperti apa yang  sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Kristus sendiri, ia akan sampai kepada fakta bahwa ibadat itu adalah perayaan Misa atau yang juga disebut perayaan  Ekaristi Kudus. Selain itu sejarah mencatat bahwa sejak Perjamuan Terakhir memang perayaan Ekaristi mengalami perubahan di sepanjang kehidupan Gereja. Namun secara mendasar, intinya tidak berubah. Yang berubah adalah detail pelaksanaannya, berdasarkan keputusan otoritas Gereja, demi menjadikan perayaan Ekaristi menjadi semakin hidup dan dekat menyatu dengan umat. Tanpa mengesampingkan kesakralannya, Gereja memperbaharui liturgi agar umat dapat semakin menghayatinya dan menjadikannya sumber dan puncak kehidupan mereka sebagai umat Kristiani. Untuk hal ini kita perlu bersyukur kepada Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus.

Sumber Utama: Francois Amiot, History of the Mass, Twentieth Century Encyclopedia of Catholicism, vol. 110, (New York: Hawthorn Publishers, 1959)

Penulis : Ingrid Listiati, Ingrid Listiati telah menyelesaikan program studi S2 di bidang teologi di Universitas Ave Maria - Institute for Pastoral Theology, Amerika Serikat.
Dikutip dari : http://katolisitas.org.

Anda perlu baca juga :

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...