Rabu, 03 Desember 2014

Bagaimana Umat Katolik Menyikapi TEORI EVOLUSI dan Apakah TEORI EVOLUSI Bertentangan Dengan Iman?


Pertama-tama kita harus memegang bahwa karena iman dan akal itu sama-sama berasal dari Allah, maka kita percaya bahwa seharusnya tidak ada pertentangan antara iman dan akal (reason) dan science yang menjadi hasil dari akal tersebut untuk mencapai kebenaran, asalkan pencarian kebenaran tersebut dilakukan dengan tulus tanpa memasukkan ide-ide pribadi yang kemudian dianggap sebagai kebenaran.

Teori Evolusi yang kita kenal sebenarnya merupakan suatu hipotesa, yang masih memerlukan pembuktian lebih lanjut, agar dapat dikatakan sebagai kebenaran. Sementara ini, bukti ilmiah belum dapat dikatakan mendukung hipotesa tersebut.  

Ada dua inti besar teori Evolusi- yang dikenal sebagai "Macroevolution/ evolusi makro"yang dipelopori oleh Darwin:
  1. Semua mahluk hidup berasal dari mahluk sederhana yang terdiri dari satu sel atau lebih, yang terbentuk secara kebetulan.
  2. Species baru terbentuk dari species lain melalui seleksi alam, dengan melibatkan kemungkinan variasi, di mana variasi tersebut dapat bertahan dan berkembang biak. Dalam abad ke-20, hal ini diperjelas dengan memberi penekanan pada kemungkinan mutasi sebagai cara pembentukan variasi. Posisi ini dikenal sebagai Neo- Darwinism.

Sebelum kita membahas lebih lanjut, kita melihat bahwa di sini terdapat 2 jenis evolusi, yaitu Evolusi makro, dan evolusi mikro. Evolusi makro membicarakan evolusi melewati batas-batas species, di mana species secara berangsur-angsur berubah menjadi species yang lain. Sedangkan evolusi mikro adalah evolusi yang berada di dalam batas satu species. Mikro evolution adalah suatu realita yang dapat kita amati secara langsung pada alam, jadi tidak perlu dipermasalahkan. Umumnya, evolusi mikro ini berhubungan dengan adaptasi dengan lingkungan baru, dan berupa pengurangan organ dan bukan penambahan dan penyesuaian.

Teori evolusi yang kita kenal umunya adalah evolusi makro. Ini bertentangan dengan iman, karena definisinya, teori Evolusi makro merujuk pada asumsi bahwa tidak ada campur tangan Tuhan (sebagai Divine Intelligence) sebagai pencipta umat manusia.

Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa terdapat beberapa problem mengenai teori Evolusi makro, baik dari segi filosofi maupun ilmu pengetahuan, dan akal sehat kita sesungguhnya dapat menilai mana yang benar:


A. Problem Evolusi makro dari sudut pandang filosofi:

  1. Teori Darwin berpendapat bahwa dari mahluk yang lebih rendah dapat dengan sendirinya naik/ membentuk mahluk yang lebih tinggi, yang disebabkan oleh kebetulan semata-mata, (dan bukan disebabkan karena campur tangan ‘Sesuatu’ yang lebih tinggi derajatnya). Ini bertentangan dengan prinsip utama akal sehat: sesuatu/ seseorang tidak dapat memberikan sesuatu yang tidak dimilikinya.
  2. Teori Darwin tidak berdasarkan fakta konkrit bahwa species tertentu memiliki ciri khusus yang tidak dipunyai oleh species lain; sebab teori ini beranggapan bahwa semua species seolah-olah tidak punya ciri tertentu dan dapat berubah menjadi species yang lain, seperti tikus menjadi kucing, kucing menjadi anjing, dst. Hal ini tentu tidak terjadi dalam kenyataan.
  3. Teori ini mengajarkan bahwa kemungkinan variasi terjadi karena ‘kesalahan’/ hanya kebetulan; dan ini seperti mengatakan bahwa musik disebabkan oleh ‘keributan’ semata-mata.
  4. Teori Darwin tidak dapat menjelaskan perbandingan paralel antara hasil karya manusia dan satu sel mahluk hidup. Karena akal sehat dapat melihat secara objektif bahwa hasil karya manusia/ teknologi betapapun bagus dan rumitnya tidak memiliki kehidupan sedangkan mahluk satu sel memiliki kerumitan tertentu yang dapat menyebabkan ia hidup dan berkembang. Maka jika teknologi tersebut (yang lebih rendah jika dibandingkan dengan mahluk satu sel) dihasilkan oleh mahluk dengan akal yang tinggi (yaitu manusia), maka betapa hal itu harus lebih nyata dalam hal penciptaan mahluk satu sel tersebut, yang seyogyanya diciptakan oleh mahluk yang jauh lebih tinggi dari manusia.
  5. Evolusi tidak dapat menjelaskan keberadaan keindahan alam di dunia. Jika segala sesuatu adalah hasil kebetulan yang murni, maka hal itu tidak dapat menjelaskan bagaimana kebetulan itu bisa menghasilkan keindahan yang ditimbulkan oleh keteraturan/ ‘order’. Dari pengalaman sehari-hari, kita mengetahui tidak mungkin terdapat kebetulan-kebetulan murni yang bisa menghasilkan keteraturan dan keindahan.
  6. Teori Darwin tidak membuktikan bahwa Tuhan Sang Pencipta tidak ada, melainkan teori ini mengambil asumsi ketidak-adaan Tuhan sebagai titik tolak. Bahwa kemudian dikatakan bahwa pembuktian ‘kebetulan secara ilmiah’ tersebut menunjukkan demikian, itu hanya merupakan demonstrasi untuk mengulangi suatu pernyataan yang diasumsikan sebagai kebenaran.



B. Problem Evolusi makro dari segi Ilmu Pengetahuan:

  1. Kenyataannya, species mahluk hidup sudah jelas memiliki keterbatasan ciri-ciri yang secara genetik tidak dapat berubah. Sampai saat ini tidak ada bukti nyata tentang pembentukan species baru dari species lain menurut seleksi alam.  Jikapun ada, maka mahluk persilangan ini tidak mempunyai kemampuan untuk berkembang biak. Contoh: ‘mule’ , persilangan antara kuda dan keledai, tidak dapat berkembang biak/ steril.
  2. Hasil penemuan fosil tidak menunjukkan perubahan yang berangsur secara terus menerus pada species yang satu dan yang lain. Yang ditemukan adalah bentuk yang stabil untuk jangka waktu yang lama, dan tidak ditemukan fosil species perantara  yang menghubungkan satu species dengan yang lain. Jika benar ada mahluk antara kera dengan manusia, tentu fosil mahluk antara kera dan manusia harus banyak ditemukan, namun sampai saat ini tidak demikian, sehingga dikatakan bahwa terdapat ‘missing links’ antara fosil kera dan fosil manusia. Betapa ini menunjukkan bahwa mahluk penghubungnya tidak ditemukan karena memang tidak ada! Sekalipun jika klaim missing links tersebut benar-benar dianggap otentik, tetaplah menjadi suatu pertanyaan, mengapa temuan fosil-fosil itu relatif sangat sedikit/jarang, sebab jika teori ini memang benar, maka seharusnya fosil peralihan tersebut harus dengan mudah ditemukan, sebab perubahan tersebut, jika dikatakan terjadi melalui seleksi alam maka perubahannya secara gradual dan memakan waktu yang lama, sehingga fosilnya seharusnya relatif mudah ditemukan, seperti penemuan fosil kera dan fosil manusia, kedua species yang konon dihubungkan oleh "the missing links" tersebut.
  3. Mutasi menunjukkan adanya pengurangan organ ataupun modifikasi organ yang sudah ada, karena kebetulan dan tidak essensial, seperti perubahan warna, bentuk, dst. Namun mutasi tidak dapat menjelaskan sesuatu yang tadinya tidak ada jadi ada. Jadi prinsipnya ‘indifferent/regressive’ dan bukan ‘progressive’.
  4. Darwin sendiri mengamati dengan teliti evolusi mikro, namun masalahnya dia menjadikannya sebagai rumusan untuk evolusi makro, walaupun sesungguhnya tidak dapat menjawab bagaimana sesuatu yang lebih sederhana membentuk sesuatu yang lebih rumit. Tidak usah jauh-jauh bicara soal keseluruhan tubuh; sebab bagaimana perkembangan dari satu sel menjadi organ mata atau telinga (pada janin/ embrio ) (yang walaupun kecil tapi kompleksitasnya cukup tinggi) saja belum dapat dibuktikan.
  5. Perhitungan matematika, yaitu teori probabilitas menunjukkan bahwa kemungkinan perubahan dari mahluk sederhana (1 sel atau lebih) menjadi mahluk yang kompleks adalah sangat kecil dan seluruh sejarah manusia tidak cukup untuk merealisasikan perubahan itu. Mungkin alibi ini termasuk yang paling mungkin dari pandangan ilmiah untuk membuktikan bahwa evolusi makro itu tidak mungkin terjadi. Salah satu tokoh evolusi seperti  Jacques Monod (1910-1976) sendiri mengakui bahwa kemungkinan evolusi dari mahluk bersel satu adalah "hampir nol" dan kemungkinan terjadi hanya sekali (Jacques Monod, Chance and Necessity, NY, Alfred A. Knopf, 1971, p.114-145). Monod seorang ahli biologi, menyuarakan pendapat dalam hal biologis, namun hal ini tidak sejalan dengan kemungkinan secara matematika, yaitu bagaimana satu kemungkinan yang langka tersebut dapat terjadi, dan dapat menjadi dasar perkembangan manusia dalam kurun waktu sejarah manusia yang terbatas. Menurut statistik, hal ini tidak mungkin.
  6. Seandainya benar, maka diperlukan waktu yang sangat panjang untuk realisasi kemungkinan mutasi/ ‘kebetulan’ ini. Keterbatasan waktu sejarah manusia yang menunjukkan paling lama sekitar 10.000- 15.000 tahun tidak memberikan jawaban untuk kemungkinan teori ini. George Salet menulis, "…ilmu pengetahuan menemukan fungsi DNA, duplikasinya dan perkembangannya memberi dasar bagi spekulasi matematika bahwa, … periode geologis harus dikalikan dengan 10 diikuti dengan ber-ratus atau ber-ribu-ribu nol, untuk memberikan waktu bagi terbentuknya sebuah organ baru, walaupun organ yang paling sederhana sekalipun." (diterjemahkan dari George Salet, "Hasard et certitude. Le transformisme devant la biologie actualle, Paris, 1972, p. x)
  7. Ilmu pengetahuan mengakui kompleksitas mahluk hidup ber-sel satu, dan tidak dapat menjelaskan bagaimana asal usul kehidupan. Dalam hal ini tokoh evolusi menawarkan penyelesaian dengan teori ‘blind chance’, tetapi seperti Monod sendiri mengakui, hal ini masih problematik, dan lebih tepat disebut sebagai ‘teka-teki’. (Ibid., p. 143)



Kenyataan di atas sesungguhnya dapat membantu kita untuk melihat hal Evolusi tersebut secara lebih objektif. Kini, mari kita lihat pandangan Gereja mengenai hal evolusi ini, yang dapat saya rumuskan dalam beberapa point:
  1. Kita percaya bahwa jiwa manusia diciptakan secara langsung oleh Allah, dari yang tadinya tidak ada jadi ada. Jiwa ini dihembuskan kedalam embrio manusia yang terbentuk dari hubungan suami istri. Jadi jiwa manusia bukan berasal dari produk evolusi. Dalam surat ensiklik Humani Generis (1950), Paus Pius XII menolak ide evolusi total (yang menyangkut tubuh dan jiwa) manusia dari kera (primate). Dalam Humani Generis 36, Paus Pius XII mengajarkan bahwa meskipun dalam hal asal usul tubuh manusia, masih dapat diselidiki apakah terjadi dari proses evolusi, namun yang harus dipegang adalah: semua jiwa manusia adalah diciptakan langsung oleh Tuhan. Namun demikian mengenai evolusi tubuh manusia itu sendiri, masih harus diadakan penyelidikan yang cermat, dan tidak begitu saja disimpulkan bahwa manusia yang terbentuk dari 'pre-existing matter' tersebut sebagai sesuatu yang definitif.
  2. Jadi ide evolusi total ini sama sekali bukan hipotesa bagi orang katolik. Namun demikian, para ilmuwan dapat terus menyelidiki hipotesa bahwa tubuh manusia dapat diambil dari kehidupan yang sudah ada (ancestral primate), walaupun juga dengan sikap hati-hati, "great moderation and caution". Tetapi ia harus memegang bahwa semua manusia diturunkan dari satu pasang manusia (monogenism), bukan dari banyak evolusi paralel (polygenism) seperti pada hipotesa tertentu, sebab semua manusia diturunkan dari Adam dan Hawa. Dan hal ini sesuai dengan konsep "dosa asal" yang diturunkan oleh manusia pertama.
  3. Mengenai penciptaan tubuh manusia dari materi yang sudah ada sebenarnya tidak bertentangan dengan sabda Tuhan yang menciptakan tubuh Adam dari tanah/ debu, yang kemudian dihembusi oleh kehidupan, yang menjadi jiwa manusia (Kejadian 2:7). Namun hal ini tidak bertentangan dengan penciptaan manusia seturut gambaran Allah, sebab yang dimaksudkan di sini adalah manusia sebagai mahluk rohani yang berakal dan memiliki kehendak bebas.
  4. Jadi diperbolehkan jika orang berpikir bahwa kemungkinan tubuh kera dapat berkembang mendekati tubuh manusia dan pada titik tertentu (di tengah jalan), Tuhan menghembusi jiwa manusia ke dalam tubuh manusia itu yang kemudian terus berevolusi (evolusi mikro) sampai menjadi manusia yang kita ketahui sekarang. St. Thomas Aquinas I, q.76, a.5, menyebutkan bahwa teori  yang menyebutkan bahwa manusia adalah hasil evolusi dari kera (evolusi makro), harus kita tolak. Tubuh Adam haruslah merupakan hasil dari campur tangan Tuhan untuk mengubah materi apapun yang sudah ada (pre-existing matter) dan menjadikannya layak sebagai tubuh yang dapat menerima jiwa manusia. Campur tangan ini mungkin saja luput dari pengamatan ilmiah, seperti yang diakui sendiri oleh Monod, saat mengatakan bahwa asal usul hidup manusia adalah suatu teka-teki.
  5. Tidak mungkin bahwa dalam satu tubuh dapat terdapat dua macam jiwa, yang satu adalah rational (manusia) dan yang kedua, irrational (kera), sebab terdapat perbedaan yang teramat besar, yang tidak terjembatani antara jiwa kera dan jiwa manusia. Lagipula tubuh kera bersifat spesifik yang diadaptasikan dengan lingkungan hidup yang tertentu. Jadi tidak mungkin bahwa tubuh manusia merupakan hasil dari perubahan-perubahan ‘kebetulan’ dari tubuh kera.
  6. Kemungkinan yang lebih masuk akal adalah, jika manusia diciptakan melalui ‘pre-existing matter’ seperti dari tubuh kera sekalipun, terdapat campur tangan Tuhan untuk mengubah tubuh tersebut menjadi tubuh manusia, yang tidak merupakan kelanjutan dari tubuh kera tersebut, seperti halnya terdapat campur tangan Tuhan untuk menghembuskan jiwa manusia ke dalam tubuh manusia itu, yang bukan merupakan kelanjutan dari jiwa kera. Inilah yang secara ilmiah dikenal sebagai ‘lompatan genetik’, namun bedanya, ilmuwan mengatakan itu disebabkan karena kebetulan semata, sedangkan oleh Gereja dikatakan sebagai sesuatu yang disebabkan oleh campur tangan Tuhan.
  7. Cardinal Schonborn dalam artikel di New York Times tgl 7 Juli 2005 menjelaskan bahwa pengamatan pada mahluk hidup yang telah menunjukkan ciri-ciri yang final menyebabkan kita terkagum dan mengarahkan pandangan kepada Sang Pencipta.  Membicarakan bahwa alam semesta yang kompleks dan terdiri dari mahluk-mahluk yang ciri-cirinya sudah final ini, sebagai suatu hasil ‘kebetulan’, sama saja dengan ‘menyerah’ untuk menyelidiki dunia lebih lanjut. Ini sama saja dengan mengatakan bahwa akibat terjadi tanpa sebab. Ini tentu saja seperti membuang pemikiran akal manusia yang selalu mencari solusi dari masalah."
  8. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa, akal sehat manusia pasti dapat memperoleh jawaban untuk pertanyaan yang menyangkut asal usul manusia. Keberadaan Tuhan Pencipta dapat diketahui secara pasti melalui karya-karya ciptaan-Nya, dengan terang akal budi manusia.. KGK no 295 mengatakan, "Kita percaya bahwa Allah menciptakan dunia menurut kebijaksanaan-Nya. Dunia bukan merupakan hasil dari kebutuhan apapun juga, ataupun takdir yang buta atau kebetulan."



Uraian di atas adalah merupakan prinsip dasar mengapa kita sebagai orang Katolik tidak dapat menerima teori Evolusi makro ala Darwin, sebab prinsip ajaran Gereja adalah manusia diciptakan bukan sebagai hasil kebetulan, tetapi karena sungguh diinginkan oleh Allah. 

Sedangkan mengenai evolusi mikro di dalam batas species, kita semua dapat menerimanya, sesuai dengan penjelasan di atas. Prinsipnya, jikapun ada evolusi, tidak mungkin melangkahi batas penyelenggaraan Allah. Allah-lah yang menciptakan manusia, yaitu jiwa dan tubuh. Jiwa manusia diciptakan dari ketiadaan, (out of nothing) dan tubuh dari materi yang sudah ada (pre-existing matter) namun Allah mempersiapkan tubuh itu agar layak menerima jiwa manusia.  Kesatuan tubuh dan jiwa manusia tersebut diciptakan sesuai dengan gambaran Allah.

Selanjutnya, hal analisa mineral dan outer space hanya merupakan metoda ilmiah, yang hasilnya juga tidak dapat menjawab misteri asal-usul kehidupan.

Jadi dalam hal ini kita melihat benang merah antara science dan iman. Di samping pertimbangan akal sehat pada hasil penelitian evolusi, pada akhirnya diperlukan kerendahan hati untuk menerima apa yang diajarkan oleh Gereja. Gereja tidak menentang science, namun juga tidak dapat menyatakan hipotesa ilmiah sebagai kebenaran, karena statusnya masih hipotesa dan belum sepenuhnya dapat dibuktikan.

Penulis : Stefanus Tay dan Ingrid 
Sumber : http://katolisitas.org/, 3 Januari 2013 2011, dengan pengeditan susunan tulisan oleh : Yohanes Gitoyo.

Kebenaran Sejarah dalam Kitab Kejadian, Kisah Penciptaan Alam Semesta dan Adam Bukanlah Dongeng !


Paus Benediktus XVI Ekshortasi Apostoliknya Verbum Domini, mengajarkan demikian : 
"... Harus diingat bahwa pertama- tama dan yang utama, bahwa wahyu Kitab Suci berakar dalam sejarah..." 
(Verbum Domini, 42). 

Artinya kita sebagai umat Kristiani mengacu kepada prinsip bahwa Kitab Suci adalah kitab yang menyampaikan kebenaran yang sungguh terjadi dalam sejarah manusia. Dengan demikian, secara umum kita menerima bahwa apa yang disampaikan di dalam Kitab Suci adalah fakta yang sungguh terjadi secara historis, kecuali jika didukung oleh bukti- bukti/ argumen yang kuat yang membuktikan bahwa para penulis kitab bermaksud untuk menyampaikan perumpamaan atau alegori, ataupun arti lain yang berlainan dengan arti literal/ arti historis.

Secara khusus, Pontifical Biblical Commission di tahun 1909 mengajarkan bahwa ketiga bab pertama dalam Kitab Kejadian juga mempunyai nilai historis, artinya sungguh terjadi sehingga bukanlah hanya dongeng. Demikian terjemahan dalam Bahasa Indonesia :

Tentang Sifat Historis dari ketiga Bab Pertama di Kitab Kejadian
Komisi Kitab Suci Pontifikal, 30 Juni, 1909, (AAS 1 [1909] 567ff; EB 332ff; Dz 2121ff)
diterjemahkan oleh Ingrid Listiati- katolisitas.org

I: Do the various exegetical systems excogitated and defended under the guise of science to exclude the literal historical sense of the first three chapters of Genesis rest on a solid foundation?
Answer: In the negative.

I. Apakah bermacam sistem eksegesis /telaah tekstual Kitab Suci yang mempelajari dan mempertahankan [argumen]dalam bentuk ilmu pengetahuan untuk mengabaikan arti literal historis dalam tiga bab pertama Kitab Kejadian, mempunyai dasar yang kuat?
Jawab: Tidak.


II: Notwithstanding the historical character and form of Genesis, the special connection of the first three chapters with one another and with the following chapters, the manifold testimonies of the Scriptures both of the Old and of the New Testaments, the almost unanimous opinion of the holy Fathers and the traditional view which the people of Israel also has handed on and the Church has always held, may it be taught that: the aforesaid three chapters of Genesis Contain not accounts of actual events, accounts, that is, which correspond to objective reality and historical truth, but, either fables derived from the mythologies and cosmogonies of ancient peoples and accommodated by the sacred writer to monotheistic doctrine after the expurgation of any polytheistic error; or allegories and symbols without any foundation in objective reality proposed under the form of history to inculcate religious and philosophical truths; or finally legends in part historical and in part fictitious freely composed with a view to instruction and edification?
Answer: In the negative to both parts.


II. Meskipun adanya sifat dan bentuk historis dari Kitab Kejadian, hubungan khusus di antara ketiga bab pertama (antara satu bab dan ke dua bab lainnya dan sebaliknya), dan dengan bab- bab berikutnya, banyaknya kesaksian dalam Kitab Suci baik Perjanjian Lama maupun Baru, pendapat para Bapa Gereja yang hampir sepakat dan pandangan tradisional yang telah dilestarikan oleh bangsa Israel dan yang selalu diyakini oleh Gereja, bolehkah diajarkan bahwa: 
(1) ketiga bab pertama Kitab Kejadian menceritakan bukan kejadian nyata yang sesuai dengan kenyataan obyektif dan kebenaran sejarah, tetapi entah dongeng yang diperoleh dari mitos dan kosmogoni dari bangsa- bangsa kuno dan diakomodasikan oleh pengarang suci menjadi ajaran monotheistik setelah dibersihkan dari kesalahan politheisme; atau perumpamaan, alegoris dan simbol- simbol tanpa dasar apapun dalam realita obyektif, yang disampaikan dalam bentuk sejarah untuk menanamkan kebenaran- kebenaran religius dan filosofis; atau 
(2) akhirnya [merupakan]legenda- legenda yang separuh historis dan separuh lagi fiksi yang disusun dengan bebas dengan pandangan untuk instruksi dan pengajaran?
Jawab: Tidak untuk keduanya[1]


III: In particular may the literal historical sense be called in doubt in the case of facts narrated in the same chapters which touch the foundations of the Christian religion: as are, among others, the creation of all things by God in the beginning of time; the special creation of man; the formation of the first woman from the first man; the unity of the human race; the original felicity of our first parents in the state of justice, integrity, and immortality; the command given by God to man to test his obedience; the transgression of the divine command at the instigation of the devil under the form of a serpent; the degradation of our first parents from that primeval state of innocence; and the promise of a future Redeemer?
Answer: In the negative.

III: Secara khusus, bolehkah meragukan arti historis literal dalam kasus kejadian- kejadian yang dikisahkan di bab- bab yang sama yang berkenaan dengan pondasi agama Kristiani: seperti antara lain, penciptaan segala sesuatu oleh Tuhan pada awal mula; penciptaan manusia secara khusus; pembentukan wanita pertama dari pria pertama; kesatuan seluruh umat manusia; kebaikan asal mula dari orang tua pertama (Adam dan Hawa) dalam tingkat keadilan, integritas, dan tidak dapat mati; perintah Tuhan diberikan untuk menguji ketaatannya; pelanggaran terhadap perintah ilahi karena bujukan setan dalam rupa ular, penurunan tingkat orang tua pertama (Adam dan Hawa) dari keadaan awalnya yang tidak berdosa; dan janji akan Sang Penebus di masa mendatang?
Jawab: Tidak


IV: In the interpretation of those passages in these chapters which the Fathers and Doctors understood in different manners without proposing anything certain and definite, is it lawful, without prejudice to the judgement of the Church and with attention to the analogy of faith, to follow and defend the opinion that commends itself to each one?
Answer: In the affirmative.

IV. Di dalam interpretasi perikop- perikop itu di dalam bab- bab ini di mana para Bapa Gereja dan Pujangga Gereja memahaminya dengan cara yang berbeda- beda tanpa merumuskan sesuatu yang tertentu dan definitif, apakah diperbolehkan, tanpa terpengaruh pandangan Gereja dan dengan perhatian kepada analogi iman, untuk mengikuti dan mempertahankan pendapat yang mempercayakan diri sendiri kepada masing- masing [interpretasi tersebut]?
Jawab: Ya.


V: Must each and every word and phrase occurring in the aforesaid chapters always and necessarily be understood in its literal sense, so that it is never lawful to deviate from it, even when it appears obvious that the diction is employed in an applied sense, either metaphorical or anthropomorphical, and either reason forbids the retention or necessity imposes the abandonment of the literal sense?
Answer: In the negative.

V. Apakah setiap kata dan frasa yang ada di bab- bab tersebut selalu dan harus dimengerti dalam arti literal, sehingga tidak pernah bolehlah bergeser sedikitpun darinya, bahkan ketika itu nampak jelas bahwa gaya bahasa digunakan di dalam artian yang berkenaan dengan, entah metaforik (perumpamaan) ataupun antropomorfis (pembandingan dengan keadaan manusiawi) dan entah akal sehat melarang pengingatan atau kebutuhan menekankan pengabaian arti literal?
Jawaban: Tidak


VI: Provided that the literal and historical sense is presupposed, may certain passages in the same chapters, in the light of the example of the holy Fathers and of the Church itself, be wisely and profitably interpreted in an allegorical and prophetic sense?
Answer: In the affirmative.

VI. Asalkan arti literal dan historis diasumsikan terlebih dahulu, bolehkah perikop- perikop tertentu di dalam bab- bab yang sama, dengan terang contoh dari para Bapa Gereja yang suci dan dari Gereja sendiri, diinterpretasikan dengan bijak dan berguna, sebagai arti alegoris (perumpamaan) dan profetis (nubuat)?
Jawab: Ya, boleh.


VII: As it was not the mind of the sacred author in the composition of the first chapter of Genesis to give scientific teaching about the internal Constitution of visible things and the entire order of creation, but rather to communicate to his people a popular notion in accord with the current speech of the time and suited to the understanding and capacity of men, must the exactness of scientific language be always meticulously sought for in the interpretation of these matters?
Answer: In the negative.

VII. Oleh karena bukan maksud dari para pengarang suci dalam penyusunan bab pertama Kitab Kejadian untuk memberikan pengajaran ilmiah tentang Konsititusi/ penciptaan benda- benda yang kelihatan dan keseluruhan keteraturan penciptaan, tetapi lebih kepada menyampaikan kepada bangsanya gambaran popular sesuai dengan gaya bahasa pada saat itu dan cocok dengan pemahaman dan kemampuan manusia, haruskah ketepatan bahasa ilmu pengetahuan selalu dengan teliti dicari di dalam interpretasi hal- hal ini?
Jawab: Tidak


VIII : In the designation and distinction of the six days mentioned in the first chapter of Genesis may the word Yom (day) be taken either in the literal sense for the natural day or in an applied sense for a certain space of time, and may this question be the subject of free discussion among exegetes?
Answer: In the affirmative.


VIII. Dalam penentuan dan pembedaan enam hari yang disebutkan di dalam bab pertama kitab Kejadian, bolehkah kata Yom (hari) diartikan entah dalam arti literal sebagai hari yang natural atau di dalam arti untuk dikenakan kepada sejumlah rentang waktu, dan bolehkan pertanyaan ini menjadi subyek diskusi bebas di antara para ahli Kitab Suci?
Jawab: Ya, boleh


Umat Kristiani mengimani bahwa Kitab Suci ditulis oleh pengarang kitab atas ilham Roh Kudus; artinya tidak harus ia sendiri mengalami atau menjadi saksi kejadian tersebut, sebab Roh Kudus-lah yang mengilhami dia untuk mencatat segala sesuatu yang terjadi sesuai dengan faktanya, seperti yang dikehendaki oleh Allah. 

Dengan prinsip ini tidak harus Adam dan Hawa atau para saksinya (sekitar 4000-an BC) yang mengarang Kitab Kejadian; dan Tradisi Gereja mengajarkan kepada kita bahwa kelima kitab Musa (Pentateuch) yaitu Kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan dikarang oleh Nabi Musa, yang hidup sampai sekitar 1406 BC; namun pengeditan naskah Pentateuch diselesaikan sekitar tahun 550 BC.

Dengan demikian, kisah Adam dan Hawa juga terjadi seperti adanya, yaitu bahwa ada sepasang manusia yang diciptakan Allah, dengan jiwa manusia yang diciptakan langsung oleh Allah. Kitab Suci mengatakan bahwa tubuh manusia dibentuk dari material yang sudah ada (debu tanah) namun jiwanya langsung dihembuskan oleh Tuhan. 

Dengan demikian, seandainya dapat dibuktikan bahwa ada mahluk lain yang konon menyerupai manusia (tapi bukan manusia) dan berevolusi menjadi semakin mirip dengan manusia, yang ada sebelum manusia Adam dan Hawa, hal itu tetap tidak menyalahi interpretasi dari Kitab Kejadian (dalam hal ini jika perikop tersebut diartikan secara allegoris. 

Namun untuk mengatakan demikian, tentu harus ada buktinya terlebih dahulu secara ilmiah bahwa memang terjadi proses evolusi tersebut.  Kitab Kejadian mencatat tubuh manusia diciptakan dari materi yang sudah ada -dalam hal ini debu tanah, namun pada saat penciptaan Adam dan Hawa, Allah mengubah materi/ tubuh yang sudah ada tersebut menjadi tubuh yang layak untuk menerima jiwa manusia. Sedangkan jiwa manusia diciptakan langsung oleh Tuhan dari ketiadaan. Lebih lanjut tentang teori evolusi dan iman, silakan klik.

Kitab Suci mencatat bahwa Adam dan Hawa mempunyai lebih dari 2 anak (Kain dan Habel). Adam dan Hawa mempunyai anak laki- laki lain yang bernama Set (Kej 4:25), dan selanjutnya ia memperanakkan anak-anak laki- laki dan perempuan (lih. Kej 5:4) namun tidak disebutkan jumlahnya dan nama- namanya. 



Selanjutnya ada prinsip- prinsip lain yang perlu diketahui, yaitu:

1. Gereja Katolik percaya bahwa seluruh umat manusia diturunkan dari Adam dan Hawa, “Magisterium Gereja Katolik mengajarkan tentang dosa asal, yang berasal dari dosa yang dilakukan oleh seorang Adam [manusia pertama], dan yang diturunkan kepada semua orang….” (Paus Pius XII, Humani Generis 37). Artinya, Gereja Katolik mengajarkan monogenism dan menolak polygenism; sebab kita percaya bahwa semua manusia diturunkan dari sepasang manusia pertama, yaitu Adam dan Hawa. 

Kitab Suci mengajarkan bahwa semua manusia diturunkan dari Adam:
"Dari satu orang saja Ia [Tuhan] telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi ….." (Kis 17:26)

Hal ini penting, sehubungan dengan kebenaran yang lain, bahwa oleh satu orang manusia (Adam) seluruh umat manusia jatuh dalam dosa, dan oleh satu orang manusia yang lain (Kristus) seluruh umat manusia diselamatkan dari dosa. Hal ini jelas diajarkan oleh Rasul Paulus dalam perikop Adam dan Kristus, Rom 5:21-21.


2. Oleh karena itu, konsekuensinya, maka memang pada masa- masa awal sejarah manusia, terjadi ‘intermarry‘/ perkawinan sesama saudara atau incest. Walaupun memang kemudian, setelah jumlah manusia sudah mulai banyak, perkawinan sesama saudara tersebut dilarang oleh Tuhan (Im 18:6-18), demi kebaikan manusia itu sendiri. Ilmu pengetahuan pada saat ini menyatakan alasannya mengapa hal tersebut dapat menimbulkan/ mempunyai resiko besar akan ketidaknormalan pada keturunan pasangan dari perkawinan antar saudara tersebut.

3. Sedangkan bagaimana dari Adam dan Hawa dapat diturunkan berbagai macam ras dan bangsa dengan ciri khas yang berbeda, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

Sedangkan tentang gaya bahasa/sastra (literary genre) kesebelas bab pertama dalam Kitab Kejadian, menurut surat dari Sekretaris Komisi Kitab Suci kepada Kardinal Suhard. Uskup Agung Paris, tanggal 16 Januari, 1948, mengatakan:

"......Masalah tentang bentuk- bentuk sastra dari kesebelas bab kitab Kejadian adalah lebih samar danrumit. Bentuk gaya bahasa/ sastra ini tidak persis sesuai dengan katagori klasik, dan tidak dapat dinilai menurut sastra Yunani-Latin ataupun sastra modern. Maka historisitas (nilai sejarah) dari bab-bab ini tidak dapat disangkal ataupun dengan mudah diafirmasi, tanpa penerapan norma-norma sastra yang tidak cocok dengan klasifikasi sastra di mana mereka digolongkan. Maka, jika diterima bahwa dalam bab-bab ini sejarah dalam pengertian klasik dan nodern tidak ditemukan, maka juga perlu diakui bahwa ilmu pengetahuan modern juga tidak memberikan solusi positif kepada semua masalah di bab-bab ini.... 

Jika seseorang menentang dengan sikap apriori bahwa penjabaran di bab-bab tersebut tidak mengandung sejarah dalam pengertian modern, ia akan dengan mudahnya beranggapan bahwa bab-bab ini sama sekali tidak benar secara historis, meskipun kenyataannya bab-bab ini menghubungkan dengan cara yang sederhana dan figuratif, yang sesuai dengan kemampuan orang-orang yang kurang berpendidikan/mempunyai pengetahuan, kebenaran-kebenaran fundamental yang mengacu kepada urusan keadaan jiwa dan tubuh, dan menggambarkan dengan cara popular tentang asal usul umat manusia dan asal usul sebuah bangsa terpilih ...."

Dengan demikian Gereja Katolik mengajarkan bahwa hal-hal yang tertulis dalam kesebelas bab pertama dalam kitab Kejadian adalah hal yang benar secara historis (sebagai suatu kejadian yang sungguh terjadi). Bahwa penuturannya tidak sesuai dengan cara penuturan sastra klasik dan sastra modern, tidaklah membatalkan inti yang mau disampaikan, ataupun membuat pemaparannya menjadi hanya kisah dongeng (fable). 

Dengan kata lain, inti yang tertulis dalam kitab Kejadian tersebut tetaplah benar, walaupun disampaikan dengan gaya penuturan figuratif.

Penulis : Stefanus Tay dan Ingrid 
Sumber : http://katolisitas.org/, 8 September 2011, dengan pengeditan susunan tulisan oleh : Yohanes Gitoyo..

Menyusuri Jejak Sejarah Manusia Sebelum Kemunculan Adam, "Manusia Pertama di dunia".

Ilustrasi Adam dan Hawa diusir dari Taman Eden/ Firdaus

Pra-Adam telah menjadi perdebatan berkelanjutan tanpa ada titik penyelesaian, baik dikalangan sejarawan maupun penyaduran teks-teks kuno dan kitab terdahulu. Saat ini, sejarawan banyak yang meyakini bahwa ada makhluk seperti manusia yang hidup di zaman Pra Adam, kontroversi ini terus berlanjut dengan berbagai hipotesis siapa sebenarnya makhluk hidup di Bumi yang menjadi pemimpin sebelum Adam. 

Hipotesis Pra-Adamite atau Preadamism adalah keyakinan bahwa manusia ada sebelum Adam, asumsi yang bertentangan dengan keyakinan menggambarkan Adam sebagai manusia pertama seperti yang dinyatakan dalam Alkitab dan Alquran. Preadamism berbeda dari keyakinan Ibrahim secara konvensional, bahwa Adam adalah manusia pertama. Dan sejarah Preadamism mungkin sudah ada sejak kemunculan Pagan awal.


Dalam bahasan ini, beberapa bukti berupa karya tulis Hugh Ross, Dr John R W Stott, Isaac De La Peyrere, memberi bukti secara arkeologis ataupun sisi ilmiah yang disertai dengan dalil yang tertulis dalam literatur Kristen dan Islam. Beberapa pernyataan mereka cukup mengejutkan, bahwa sebelum Adam diturunkan kepermukaan Bumi telah ada generasi-generasi yang sama sekali mirip dengan manusia. Kalangan ilmuwan menyebutnya Hominid, tetapi ada pula yang memberi penjelasan bahwa Chain (Kain, Qabil) salah satu keturunan Adam menikahi manusia Pra Adam, begitupula dengan penduduk kotanya.


Menelusuri Manusia Pra Adam.

Hugh Ross menyarankan, bahwa mungkin makhluk yang mirip dengan manusia sebelum turunnya Adam adalah bipedal yang menggunakan peralatan batu menjelajahi bumi selama ratusan ribu hingga jutaan tahun lalu. Ross memang tidak mempercayai evolusi biologis, meskipun dirinya menerima evolusi kosmik dan geologi dan waktu evolusi. Dia mempercayai urutan umum yang sama tentang peristiwa dan urutan yang sama evolusionis, meskipun pada dasarnya dia mepercayai bahwa Tuhan menciptakan Adam dari tanah. 


Tetapi, beberapa fosil manusia yang ditemukan justru menunjukkan kehidupan lebih awal dari silsilah Adam, sehingga dia mendalilkan adanya makhluk dengan karakteristik mirip manusia yang punah sebelum Adam dan Hawa turun ke Bumi. Dunia tak lain merupakan tempat kematian, kekerasan dan kerusakan selama jutaan tahun hingga Rose menyatakan, langkah demi langkah pendekatan untuk penciptaan primata bipedal yang bisa kita lihat dalam catatan fosil baru-baru ini mungkin cukup mencerminkan pemahaman Allah tentang kesulitan bentuk kehidupan lain akan bertemu dalam beradaptasi dengan manusia.

Pada tahun 1655, Prancis Isaac La Peyrere menerbitkan teori yang mengatakan bahwa tidak hanya Adam, sebelumnya juga ada makhluk yang sama berasal dari Pra-Adam. Dia bukan diciptakan Allah dari tanah, begitupula istri Chain (Kain, Qabil) dan penduduk kotanya berasal dari pra-Adam. 

Pada abad ke-18 dan ke-19, orang-orang berkulit putih dan berkulit hitam tampak jelas dibedakan, minoritas Kristen berpikir bahwa Tuhan telah menciptakan orang-orang berkulit hitam terpisah dari Adam, sehingga mereka meyakini bahwa ras ini keturunan pra-Adam. Pra-Adamisme berupa polygenism atau beberapa kreasi dari berbagai ras, pendukung gagasan ini sering berpikir bahwa orang-orang berkulit hitam merupakan kelompok makhluk rendah yang dapat diperlakukan sebagai budak. Sehingga teori Pra Adam menjadi pembenaran ilmiah untuk menyebarluaskan perbudakan dan pertahanan rasisme.


Pada abad ke-20 muncul teori Darwin dan penemuan lanjutan dari fosil manusia purba, banyak ilmuwan dan sejarawan mengadopsi evolusi teistik. Mereka beranggapan usia makhluk ini relatif muda daripada Adam, tetapi mereka mengatakan bahwa fosil manusia itu berasal dari makhluk yang mirip dengan manusia pra-Adam. John RW Stott mengatakan, Adam dan Hawa merupakan sejarah tidak bertentangan dengan keyakinan, bahwa beberapa bentuk pra Adam yang disebut Hominid tampaknya telah berada di Bumi selama ribuan tahun sebelumnya. Teori-teori manusia Pra Adam telah digunakan beberapa orang Kristen untuk menyelaraskan ilmu pengetahuan dan Alkitab. Pra-Adamism juga bertentangan dengan kitab suci yang menceritakan tentang Hawa, bahwa Tuhan menciptakannya dari salah satu tulang rusuk Adam dan bukan dari beberapa makhluk yang sudah ada.

Antropolog Marvin Lubenow menjelaskan beberapa bukti yang bersifat perbuatan dosa diduga terjadi pada masa pra-Adam. Catatan fosil manusia, termasuk contoh kanibalisme dan cedera akibat kekerasan, dan berbagai penyakit termasuk sifilis. Menurutnya kebanyakan manusia pra-Adam tampaknya terbiasa dengan pola hidup kekerasan dan tanpa norma berdasarkan tingkat bukti fosil.

Ross meyakini bahwa suku Aborigin dan Indian Amerika hidup sekitar 80,000 hingga 100,000 tahun yang lalu. Tetapi dia menyebutkan batas waktu Adam dan Hawa sekitar 10,000 hingga 25,000 tahun lalu, berarti suku Aborigin dan Indian bukan keturunan Adam dan Hawa. 

Ross pernah mengatakan, sekitar 2 hingga 4 juta tahun yang lalu Allah mulai menciptakan mamalia seperti manusia atau hominid. Makhluk-makhluk ini berdiri dengan dua kaki, memiliki otak besar, dan menggunakan alat. Beberapa diantaranya mengubur mayat dan melukis pada dinding gua. Tetapi mereka sangat berbeda, mereka tidak mempunyai semangat, tidak mempunyai hati nurani, tidak menyembah Allah atau mendirikan praktek keagamaan. Dan semua makhluk ini punah, kemudian sekitar 10 hingga 25 ribu tahun yang lalu, Allah menggantinya dengan Adam dan Hawa.


Manusia Pra Adam Dalam Literatur Islam

Berdasarkan riwayat terdahulu telah menyebutkan bahwa sebelum turunnya Adam ada beberapa generasi yang mirip dengan manusia, mereka disebut insan atau bangsa Nisnas. Allamah Thabathabai mengatakan: 


Dalam sejarah Yahudi disebutkan, usia jenis manusia semenjak diciptakan hingga kini tidak lebih dari 7000 tahun. Tetapi ilmuan Geologi meyakini bahwa usia manusia lebih dari jutaan tahun berdasarkan fosil yang merupakan peninggalan peninggalan manusia. Tidak ada dalil yang menetapkan bahwa fosil ini adalah nenek moyang manusia saat ini, dan juga tidak ada dalil yang bisa menolak kemungkinan bahwa mereka berhubungan dengan salah satu periode Pra-Adam.

Disisi lain, penyusun Tafsir Ayyasyi meriwayatkan dari Hisyam bin Salim dan Hisyam bin Salim dari Imam Shadiq As yang bersabda: 
Apabila malaikat tidak melihat makhluk bumi sebelumnya yang menumpahkan darah, dari mana asal mereka, lantas berkata; "Apakah Engkau akan menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah?"

Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi. Yakni suatu kaum yang akan menggantikan satu kaum lainnya, kurun demi kurun, dan generasi demi generasi, sebagaimana firman-Nya "Dia-lah yang menjadikan kamu sebagai khalifah di bumi" (Al-An'aam 165) 

Syaikh Shaduq dalam al-Khishal meriwayatkan Imam Baqir as bersabda:
Allah swt semenjak menciptakan bumi, menciptakan tujuh alam yang di dalamnya kemudian punah, dimana tidak satupun alam itu berasal dari generasi Adam Bapak Manusia, dan Allah senantiasa menciptakan mereka dimuka bumi dan mengadakan generasi demi generasi, alam demi alam muncul, hingga akhirnya Dia menciptakan Adam Bapak Manusia dan keturunannya berasal darinya.


Syaikh Shaduq dalam kitab Tauhid mengutip riwayat dari Imam Shadiq As bersabda: 
Kalian mengira bahwa Allah tidak menciptakan manusia lain selain kalian. Bahkan Dia menciptakan ribuan Adam dimana kalian adalah generasi Adam terakhir...

Al-Khisa,l diriwayatkan dari Imam Shadiq as bersabda:
Allah menciptakan dua belas ribu alam yang masing-masing lebih besar dari tujuh petala langit dan tujuh petala bumi. Tiada satu pun dari penghuni satu alam pernah berpikir bahwa Allah menciptakan alam lainya selain alam (yang ia huni)

Dari bukti literatur Kristen dan Islam, setidaknya memberi gambaran kepada kita bahwa Adam dijadikan Allah sebagai khalifah atau pemimpin dipermukaan Bumi. 

Untuk siapa memimpin, apakah Adam diturunkan untuk memimpin generasi sebelumnya yang lebih banyak berbuat dosa, saling membunuh dan membuat kerusakan, dan memberikan peringatan kepada mereka?

Sumber : http://forum.viva.co.id/, Selasa, 2 Desember 2014 12:30 WIB.

Anda perlu baca juga :

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...